Jumat, 10 Juni 2011

jurnal


Krisis Identitas dan Legitimas di alam Pendidikan Jasmani
                                   
OLEH  Sarah Agustina
                    Universitas Negeri Medan

Abstrak  
Apa yang disebut sebagai kebangkrutan identitas dalam pendidikan jasmani baik disadari maupun tidak telah terjadi selama ini. Sebagai mata pelajaran, sebagi profesi, sebagi nilai, dan sebagi bidang studi, pendidkan jasmani tidak muncul sebagai identitas yang diperhitungkan. Justru sebagai situasi-situasi tertentu seringkali dianggap remeh padahal pendidikan itu sangat berarti oleh siapa pun walaupun demikian pendidikan jasmani memiliki potensi untu menjadi usaha pendidikan nasional. Oleh sebab itu, tulisan ini berusaha untuk memetakan status pendidikan jasmani saat ini dalam level yang lebih basis. Tulisan ini diawali oleh introduksi mengapa pemikirin ini harus dimunculkan sebagai wacana baru di indonesia. Tulisan ini dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama mengupas tentang krisis yang dihadapi, terutama krisis identitas. Perbincangannya lebih kearah konteks dimana indonesia menjadi latarnya. Meskipun beberapa bandingan dan sumber berasal dari konteks diluar masyarakat indonesia. Bagian kedua merupakan upaya pencarian legitimasi baru bagi pendidikan jasmani untuk menjadi sesuatu yang harus dipertimbangkan penting. Usaha ini membutuhkan peta konsep pendidikan jasmani yang mempengaruhi cara berpikir terhadap pedidikan jasmani baik bagi komunitasnya langsung maupun mereka yang berada diluarnya.setelah bagian kedua pokok tulisan ini, maka akan diakhiri dengan konklusi dimana intinya perbincangan ini adalah bahwa tulisan ini adalah pemicu awal. Sehingga masih banyak dibutuhkan perbincangan untu mencapai kesempurnaan.
Kata Kunci : Krisis identitas, legitmasi pendidikan jasmani
Pendahuluan
Pendidikan jasmani yang lebih mendalam adalah semangat pemacu tulisan ini. Dominasi penulisan artikel maupun hasil penelitian di jurnal-jurnal pendidikan jasmani dan teknis pendidikan jasmani padahal pendidikan jasmani bukan saja semata-mata peristiwa pengajaran di sekolah tetapi ia memiliki koneksi yang luas terhadap dunia di luar lebih lagi alam teori pendidikan konstruktivis sosial, Menurut azzarito dan Ennis, sebagai komunitas siswa. Menurut konstrutivis sosial, pembelajaran berlangsung melalui interaksi sebaya, siswa terhadap kurikulum dan pengalaman kependidikan yang odentik.
Dengan demikian tulisan ini mencoba membuka beberapa persoalan mendasar pendidikan jasmani. Ada beberapa analisis dari sosiologi dan filsafat sehingga mengharapkan tulisan ini akan melampau perbincangan pendidikan jasmani yang bersifat eknis. Bagian awal tulisan ini merupakan eksplorasi krisis yang dihadapi pendidikan jasmani terutama krisis identitas pendidikan jasmani. Lebih dari 10 tahun yang lalu tepatnya pada bulan Oktober 1991, secara khusus diselenggarakan oleh karya nasional tentang “Australian Physical sedangkan bagian kedua tulisan ini akan mengupas beberapa kemungkinan legitmasi baru atas eksistensis pendidikan jasmani dengan memaparkan peta konsep yang dianut komunitas pendidikan jasmani.Eksplorasis identitas pendidikan jasmani akan menjadi titik pemberangkatan diskusi dalam tulisan ini.
Menurut O ‘Connodran Macdonald, identitas disini dipahami untuk merujuk pada identitas diri (self-identity) merupakan suatu kerangka referensi bagaimana posisi individu dan memahami diri mereka mengikuti suatu tradisi sosiologi daripada psikologi. Kemudian tulisan ini dimulai dari posisi pendidikan jasmani diantara peta politik nasional. Adanya kementrian olahraga dan pemuda sejak Susilo Bambang yudhoyono membawa perubahan peta organisasi pendidikan jasmani. Dimulai saat pemerintahan Gusdur dan kemudian Megawati, peran menteri olahraga digantikan oleh direktorat jendral olahraga. Oleh sebab itu direktorat ini berada di bawah menteri pendidikan nasional dimana pendidikan jasmani mendapat pengelolaan dan perkembangan yang sangat memadai.
Namun setelah olahraga menjadi kementrian maka organisasi yang akan mengelola pendidikan jasmani masih menyisahkan pertanyaan. Nampaknya ada kemungkinannya yang sangat kecil bila masih ada organisasi Selevel direktorat jendral. Yang artinya pengelolaan pendidikan jasmani akan dikembalikan pada posisi yang sama dengan mata pelajaran yang lain. Akibatnya akan terjadi pemotongan anggaran yang sangat besar terhadap pengelolaan pendidikan jasmani. Pendidikan jasmani penerbit jurnal pendidikan jasmani pelatihan konferensif internasional seperti yang dulu pernah dilakukan oleh direktorat jendral olahraga.



Ada beberapa persoalan tentang pendidikan jasmani :
1.      Adanya desauntuk penyelenggarakan mata pelajaran baru semacam informasi teknologi (IT). Hal ini akan membawa pada krisisnya posisi pendidikan jasmani yang bukan dianggap pelajaran”
2.      Skeptisisme outocome pembelajaran pendidikan jasmani. Para pakar pendidikan jasmani diperguruan tinggi terlalu sibuk dengan pernyataan bahwa pendidikan jasmani mampu menjadi alat ampuh dalam membangun karakter bangsa, moral, disiplin dan nilai lainnya.
3. Posisis pendidikan jasmani dalam kurikulum sekolah menjadi rapuh. Sehingga pada gilirannya
4. Krisis identitas profesi pendidikan jasmani tidak terekkan lagi.
Pendidikan jasmani dan Kebutuhan Legitmasi baru
Pendidikan persoalan diatas merupakan pekerjaan rumah bagi mereka yang terlibat dalam pendidikan jasmani membutuhkan legitmasi baru untuk reposisi dan revitalisasi kensitasinya. Langkah pertama yang harus dilakukan dalam mendefenisikan persoalan utama atas persoalan-persoalan permukaan diatas.
Menurut C rum (2003) komunitas pendidikan jasmani tidak secara nyata menerima dan memberikan priroritas dalam kosmologinilai profesionalnya untuk proposisi bahwa fungsi utama seorang guru pendidikan adalah untuk membantu siswa belajar. Banyak guru pendidikan jasmani yang tidak terlalu berkomitmen dan terdorong untuk “mengajar” sebagai suatu yang esensial dari usaha pendidikan jasmani adalah pelatihan dari jasmani yang berasal dari “gymnasum swedia” ini memiliki konsep tubuh merupakan sebuah mesin/instrument yang artinya tubuh adalah suatu kumpulan instrument yang memiliki fungsinya masing-masing dan bekerja untuk suatu keseluruhan sistem. Dalam pandangan tubuh ini perlu direparasi dan ditingkatkan kinerjanya melalui latihan jasmani.
Menurut konsep pendidikan jasmani merupakan mata pelajaran yang berfungsi untuk mengkompensasi mata pelajaran untuk melatih “organisasi” menurut Gleydsed tujuannya adalah untuk meningkatkan daya tahan kardiovaskulaer kekuatan dan daya tahan otot, kelentukan dan sebagainya. Pada dasarnya merujuk pada aktifitas olahraga yang energi. Dengan demikian isi pembelajarannya merupakan latihan-latihan yang diklasifikasikan Menurut efek latihan dan bagian-bagian tubuh. Oleh karena itu bagi siswa, tidak ada tugas pembelajaran tetapi ada tugas latihan sedangkan guru pendidikan jasmani yang memiliki konsep ini akan mengavaluasi “produknya” dengan cara-cara tes kebugaran jasmani (fitnes test).
Kedua cara pandang tentang pendidikan jasmani yang berasal dari konsep pedagogistik (pendidikan melalui-gerak). Asal usul pangembangan ini adalah sekolah Australia dan filsafat philantropisme konsep pedagogistik ini memiliki konsep tubuh dimana tubuh sebagai “entry” kearah pemikiran,karakter dan kepribadian pendidikan jasmani. Menurut konsep ini adalah mata pelajaran berfungsi untuk mendidik atau membentuk individu (bergerak untuk belajar).
 Tujuan ini yang dicapai oleh usaha pendidikan jasmani dalam kerangka konsep ini diformulasikan dalam termonologi gedagogui umum yang abstrak samar-samar dan tidak jelas isi pembelajarannya merupakan akitifitas-aktifitas tradisional seperti permainan, gymnastik dan senam sedangkan prinsip metodi utamanya adalah “formasi fungsional” artinya memberikan kesempatan untuk beraktifitas didalam keteraturan/harmoni yang baik. Cara untuk mengevaluasi pembelajaran dan konsep ini tidak menggunakan evaluasi “produk” seperti dalam konsep bioloistik akan tetapi menggunakan evaluasi. Guru pendidikan jasmani akan berfokus pada evaluasi atmosfer keteraturan,dan orientasi anak dalam pembelajarannya. Meskipun konsep “pelatihan dari jasmani”dan”pendidikan melalui jasmani”.
Ada beberapa hal yang menjadi kesamaan-kesamaan tersebut adalah:
1.Kedua dasar konsep didasarkan atas dualisme tubuh dan jiwa (body and mind) artinya keduanya menganggap bahwa antara tubuh dan jiwa gagasan filsafat Cartesian dengan tasbihnya cogito ergo sum diawal moderdisme Filsof ini kemudian mendasari cara berpikir modern yang membawa dunia pada teknologi dan kapitalisme pandangan ini mereduksi manusia menjadi semata mesin yang mekanistika.
2. Baik didalam konsep biologistik dan  pedagogistik gerak bukan merupakan tujuan tetapi merupakan cara dari tindakan intervensi
3.Dalam dua konsep tersebut gagasan tentang kompensasi merupakan hal yang utama

4.Keduanya juga dicirikan oleh kuatnya retorika dan klaim ‘mewah’ tentang outcome pembelajarannya
5. Konsep-konsep tersebut mengakibatkan praktek-praktek pendidikan jasmani yang bersifat non pengajaran misalnya konsep biologis mengarah pada pendidikan jasmani sebagai pelatihan kebugaran dan konsep
6. Kedua konsep tersebut hanya berorientasi pada satu aspek saja. Misalnya konsep biologis berorientasi pada jasmani saja padahal tidak mungkin kita mendidik jasmani, tetapi kita mendidik manusia,person dan sebaliknya.
Ada tiga macam pertanyaan yang muncuk dikalangan pendidikan jasmani:
1. Apa identitas pendidikan jasmani sebagai maa pelajaran yang memiliki klaim legitmasi disekolah ini?
2. Outcome seperti apakah yang secara layak dapat memenuhi permintaan masyarakat atas pendidikan jasmani?
3. Bagaimana caranya memutus lingkaran setan?
 Untuk menjawab pertanyaan tersebut diatas perlu digunakan tesis tentang pendidikan     jasmani. Menurut C rum (2003) thesis-thesis tersebut:
1.      Di dalam masyarakat modern,partisipasi dialam aktivitas jasmani dan olahraga menyumbang qualitas hidup masyarakat.
2.      Partisipasi yang  tetap bertahan dan menyenangkan menyaratkan seperangkat kompetensi; kemahiran sejumlah perangkat dalam proses pengajaran dan pembelajaran yang terorganisir dengan baik.
3.      Sudah menjadi kenyataan bahwa setiap anak pergi ke sekolah setidaknya untuk 12 tahun dan juga mencakup pertimbangan bahwa sekolah dapat mengelola bagi guru profesional.
Dari tiga thesis itulah legitmasi pendidikan jasmani harus mulai menggarap.
Usaha yang perlu dilakukan adalah mencari konteks di aman pendidikan jasmani diselenggrakan setidaknya.


Ada tiga sub-konteks yang perlu yakni:
1.      Teknologi
2.      Kultur
3.      Demograpi
Dengan konteks ini maka akan dapat dipetakan potensi maupun hambatan penyelengaran. Krisis legitmasi pendidikan jasmani selama ini juga disebabkan oleh kegagalannya mencari kontekstualiatase tersebut. Misalnya, kegagalan megamodir kultur atau budaya kontemporer oleh Gren bahwa banyak retorika dari kalangan pendidikan jasmani dan pemerintah yang berhubungan dengan olahraga di sekolah dan pendidiksn jasmani beberapa tahun belakangan ini telah gagal untuk mempertimbangkan secara memadai.untuk masalah tersebut. pendidikan jasmani harus mampu menjadi alat pembanguna dengan cara sebagai alat pendorong. Oleh sebab itu partisipasi di dalam aktivittas jasmani adalah faktor yang penting untuk meningkatkan kualitas hidup. Sedangkan partisipasi di dalam aktivitas jasmani dan olahraga didasarkan atas pengalamannya.

KESIMPULAN
Pendidikan jasmani disebut sebagai krisis identitas. Krisis ini menjadi persoalan ketika kalangan pendidikan jasmani membiarkan begtu saja. oleh sebab itu krisis identitas akan menggerogoti apa yang menjadi bagunan kekuatan pendidikan jasmani. Krisis ini berawal dari dalam pendidikan jasmani itu sendiri. Dalam kondisi dimana pendidikan jasmani mengalami krisis identitas.






Daftar Pustaka
Azzarito, laura & Chatrine D. Ennis.(2003). A Sense of Connection: Towords Social Constructivist Phisical education. Sport, Education, and Society, Vol 8, No.2. Oktober 2003
Crum Bart (2003). To Teach or Not To Be, That is The Question; Reflections on The Identity Crisis and furure of Phisical Education. Makalah yang disampaikan pada seminar pendidikan jasmani 15 September 2003, di yogyakarta
Fox, Kenneth R, Ashley Cooper & lim McKenna (2004). The School and the Promation of Chiledren’s Health-Enhancing Phisical Activity: perspectives from the unitekd ingdom. Journal of teachinging physical education volume 3, nomor 4,hal 338-358.
Gleyse, J, C pigeassou A. Marcelline, De leseleuc & G. Bui-xuan. (2002). Physical Education as a subject in France (Shcool curriculum, policies and discourse): The body and the metaphors of the Engine-Elements Used in the Analysis of a power and Control System during the Second Industrial Revolution. Sport, Education and Society, Vol 7, No. 1
Green, Kern (2004). Physical Education, lifelong participation and the couch potato society Physical Education and Sport pedagogy, volume 9. No 1, May 2004.
O’Connor, angela and daune Macdonals.(2002). Up close and personal on Physical Education Teacher’s Identity: Is confflict and Issue?. Sport Education and society, Vol 7, No. 1. March 2002.
Setiawan, Caly (2004). Kinerja penelitian di jurusan pendidikan olahraga: Suatu Investigasi penelitian tahun 1994 s/d 2004. Laporan penelitian Siferman, Stephen dan mara manson. (2003). Reseacho and Teachingin Phisycal Education Doctoral Desertations: A Detailed Investigation of focus, Method, and Analysis. Journal of Teachingin Physical Education Volume 2, No. 3, hal 2 BO-29.
Tappe, Marlene K. & Charlane R. Burgeson. (2004). Physical Education: A Cornerstone for Physically Active Lifestyles. Journal of Teaching in Physical Education Volume 3, No. 4, hal 281-299.
Thorpe, Stephen (2003). Crisis Discourse in Physical Education and the laugh of Miche foucault, Sport, Education and Society, Vol 8, No. 2. Oktober 2003    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar