Jumat, 10 Juni 2011

makalah sarah agustina


Oleh : SARAH AGUSTINA
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
Abstrak
Aktifitas pertambangan dianggap seperti uang logam yang memiliki dua sisi yang saling berlawanan, yaitu sebagai sumber kemakmuran sekaligus perusak lingkungan yang sangat potensial. Sebagai sumber kemakmuran, sektor ini menyokong pendapatan negara selama bertahun-tahun. Sebagai perusak lingkungan, pertambangan terbuka (open pit mining) dapat mengubah secara total baik iklim dan tanah akibat seluruh lapisan tanah di atas deposit bahan tambang disingkirkan. Hilangnya vegetasi secara tidak langsung ikut menghilangkan fungsi hutan sebagai pengatur tata air, pengendalian erosi, banjir, penyerap karbon, pemasok oksigen dan pengatur suhu. Salah satu teknik dalam memperbaiki kualitas lingkungan pada kawasan pertambangan adalah dengan teknik bioremediasi.
Bioremediasi merupakan teknik pemanfaatan mikroorganisme untuk mendegradasi, menstabilkan, atau memecah bahan pencemar menjadi bahan yang kurang beracun atau tidak beracun. Dalam makalah ini dikemukakan beberapa hal tentang dampak pertambangan batubara, bioremediasi sebagai alternatif penanganan pencemaran akibat tambang batubara dengan memanfaatkan beberapa mikroorganisme, upaya pencegahan dan penanggulangan terhadap dampak yang ditimbulkan oleh pertambangan batu bara. Diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi bagi kita semua, sehingga akan dapat mengurangi pencemaran akibat aktivitas pertambangan batubara dan memperbaiki kerusakan lingkungan yang telah terjadi di sekitar pertambangan.
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah eksportir batubara terbesar kedua di dunia (setelah Australia, 2006). Menurut Gautama (2007) dalam Anonim (2010) untuk pertambangan mineral, Indonesia merupakan negara penghasil timah peringkat ke-2, tembaga peringkat ke-3, nikel peringkat ke-4, dan emas peringkat ke-8 dunia.
Batubara yang banyak diekspor adalah batubara jenis sub-bituminus yang dapat merepresentasikan produksi batubara Indonesia. Produksi batubara Indonesia meningkat sebesar 11.1% pada tahun 2003 dan jumlah ekspor meningkat sebesar 18.3% di tahun yang sama. Sebagian besar cadangan batubara Indonesia terdapat di Sumatra bagian selatan. Kualitasnya beragam antara batubara kualitas rendah seperti lignit (59%) dan sub-bituminus (27%) serta batubara kualitas tinggi seperti bituminus dan antrasit (14%) (Asthary, 2008).
Sekitar 74% dari batubara Indonesia merupakan hasil penambangan perusahaan swasta. Satu-satunya Badan Usaha Milik Negara (BUMN), PT Tambang Bukit Asam, menghasilkan sekitar 10 Mt (hanya 9% dari total produksi batubara Indonesia pada tahun 2003) dari penambangan terbuka. Bila dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan swasta seperti PT Adaro, PT Kaltim Prima Coal, serta PT Arutmin yang dapat memproduksi batubara hingga di atas 10 Mt pada tahun yang sama. Perusahaan penambangan batubara milik negara kalah produksi oleh perusahaan swasta.
Namun demikian, pertambangan selalu mempunyai dua sisi yang saling berlawanan, yaitu sebagai sumber kemakmuran sekaligus perusak lingkungan yang sangat potensial. Sebagai sumber kemakmuran, sudah tidak diragukan lagi bahwa sektor ini menyokong pendapatan negara selama bertahun-tahun. Sebagai perusak lingkungan, pertambangan terbuka (open pit mining) dapat merubah total iklim dan tanah akibat seluruh lapisan tanah di atas deposit bahan tambang disingkirkan. Selain itu, untuk memperoleh atau melepaskan biji tanbang dari batu-batuan atau pasir seperti dalam pertambangan emas, para penambang pada umumnya menggunakan bahan-bahan kimia berbahaya yang dapat mencemari tanah, air atau sungai dan lingkungan.
Pada pertambangan bawah (underground mining) kerusakan lingkungan umumnya diakibatkan karena adanya limbah (tailing) yang dihasilkan pada proses pemurnian bijih. Baik tambang dalam maupun tambang terbuka menyebabkan terlepasnya unsur-unsur kimia tertentu seperti Fe dan S dari senyawa pirit (Fe2S) menghasilkan air buangan bersifat asam  (Acid Mine Drainage / Acid Rock Drainage) yang dapat hanyut terbawa aliran permukaan pada saat hujan, dan masuk ke lahan pertanian di bagian hilir pertambangan, sehingga menyebabkan kemasamam tanahnya lebih tinggi. Tanah dan air asam tambang tersebut sangat masam dengan pH berkisar antara 2,5 – 3,5 yang berpotensi mencemari lahan pertanian.
1.2 Dampak Pertambangan Batubara
Pertambangan batubara menimbulkan kerusakan lingkungan baik aspek iklim mikro setempat dan tanah. Kerusakan klimatis terjadi akibat hilangnya vegetasi sehingga menghilangkan fungsi hutan sebagai pengatur tata air, pengendalian erosi, banjir, penyerap karbon, pemasok oksigen, pengatur suhu. Lahan bekas tambang batubara juga mengalami kerusakan. Kerapatan tanah makin tinggi, porositas tanah menurun dan drainase tanah, pH turun, kesedian unsur hara makro turun dan kelarutan mikro meningkat. baik, dan mengandung sulfat. Lahan seperti ini tidak bisa ditanami. Bila tergenang air hujan berubah menjadi rawa-rawa.
Salah satu daerah pertambangan batu bara yang cukup besar di Indonesia berada di Provinsi Kalimantan Selatan. Bila dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia, pertambangan batu bara di Provinsi Kalimantan Selatan sangat merusak lingkungan dan lahan pertanian yang ada di provinsi tersebut, terutama pertambangan yang dilakukan secara illegal. Selain menghasilkan asam tambang yang dapat memasamkan tanah, penggalian tanah dan batu-batuan yang menutup lapisan batu bara dilakukan secara tidak terkendali dan penumpukan hasil galian (overburden) tidak mengikuti prosedur yang telah ditetapkan pemerintah. Akibatnya lahan dengan tumpukan tanah dan batu-batuan eks pertambangan sangat sulit untuk ditumbuhi vegetasi.
Sofyan (2009) mengemukakan bahwa beberapa dampak dari pertambangan batubara :
1. Lubang tambang. Pada kawasan pertambangan PT Adaro terdapat beberapa tandon raksasa atau kawah bekas tambang yang menyebabkan bumi menganga sehingga tak mungkin bisa direklamasi
2. Air Asam tambang: mengandung logam berat yang berpotensi menimbulkan dampak lingkungan jangka panjang
3. Tailing: teiling mengandung logam-logam berat dalam kadar yang mengkhawatirkan seperti tembaga, timbal, merkuri, seng, arsen yang berbahaya bagi makhluk hidup.
4. Sludge: limbah cucian batubara yang ditampung dalam bak penampung yang juga   mengandung logam berbahaya seperti boron, selenium dan nikel dll.
5. Polusi udara : akibat dari (debu) flying ashes yang berbahaya bagi kesehatan penduduk dan  menyebabkan infeksi saluran pernapasan. Menurut logika, udara kotor pasti mempengaruhi kerja paru-paru. Peranan polutan ikut andil dalam merangsang penyakit pernafasan seperti influensa, bronchitis dan pneumonia serta penyakit kronis seperti asma dan bronchitis kronis.
Reaksi air asam tambang (Acid Mine Drainage/AMD) berdampak secara langsung terhadap kualitas tanah dan air karena pH menurun sangat tajam. Hasil penelitian Widyati (2006) dalam Widyati (2010) pada lahan bekas tambang batubara PT. Bukit Asam Tbk. menunjukkan pH tanah mencapai 3,2 dan pH air berada pada kisaran 2,8. Menurunnya, pH tanah akan mengganggu keseimbangan unsur hara pada lahan tersebut, unsur hara makro menjadi tidak tersedia karena terikat oleh logam sedangkan unsur hara mikro kelarutannya meningkat (Tan, 1993 dalam Widyati, 2010). Menurut Hards and Higgins (2004) dalam Widyati (2010) turunnya pH secara drastis akan meningkatkan kelarutan logam-logam berat pada lingkungan tersebut.
Dampak yang dirasakan akibat AMD tersebut bagi perusahaan adalah alat-alat yang terbuat dari besi atau baja menjadi sangat cepat terkorosi sehingga menyebabkan inefisiensi baik pada kegiatan pengadaan maupun pemeliharaan alat-alat berat. Terhadap makhluk hidup, AMD dapat mengganggu kehidupan flora dan fauna pada lahan bekas tambang maupun hidupan yang berada di sepanjang aliran sungai yang terkena dampak dari aktivitas pertambangan. Hal ini menyebabkan kegiatan revegetasi lahan bekas tambang menjadi sangat mahal dengan hasil yang kurang memuaskan. Disamping itu, kualitas air yang ada dapat mengganggu kesehatan manusia.
Luas permukaan daratan Indonesia yang telah diijinkan untuk kegiatan pertambangan relatif kecil (1,336 juta ha atau 0,7% dari area daratan total), dan bahkan luas total areal penambangan yang masih aktif dan yang sudah selesai ditambang lebih kecil lagi (36.743 ha, atau 0,019% dari area daratan total) (Anonim, 2006). Sekalipun areal total yang terusik secara nasional relatif kecil, kebanyakan kegiatan penambangan menerapkan teknik penambangan di permukaan (surface mining) yang dengan sendirinya mengakibatkan usikan terhadap lansekap setempat; areal areal vegetasi yang ada dan habitat fauna menjadi rusak, dan pemindahan lapisan atas tanah yang menutupi ‘cadangan mineral menghasilkan’ perubahan yang tegas dalam topografi, hidrologi, dan kestabilan lansekap. Apabila pengelolaan lingkungan tidak efektif, pengaruh lokal (on-site) ini dapat mengakibatkan usikan lanjutan di luar areal penambangan (off-site), yang bersumber dari erosi air dan angin terhadap sisa galian yang belum terstabilkan atau bahan sisa yang berasal dari pengolahan mineral. Pengaruh-pengaruh ini dapat pula meliputi sedimentasi sungai-sungai, dan penurunan kualitas air akibat meningkatnya salinitas, keasaman, dan muatan unsur-unsur beracun dalam air sungai tersebut.
1.3 Definisi Bioremediasi
Bioremediasi merupakan penggunaan mikroorganisme untuk mengurangi polutan di lingkungan. Saat bioremediasi terjadi, enzim-enzim yang diproduksi oleh mikroorganisme memodifikasi polutan beracun dengan mengubah struktur kimia polutan tersebut, sebuah peristiwa yang disebut biotransformasi. Pada banyak kasus, biotransformasi berujung pada biodegradasi, dimana polutan beracun terdegradasi, strukturnya menjadi tidak kompleks, dan akhirnya menjadi metabolit yang tidak berbahaya dan tidak beracun (Wikipedia, 2010).
Menurut Anonim (2010) menyatakan bahwa bioremediasi adalah proses pembersihan pencemaran tanah dengan menggunakan mikroorganisme (jamur, bakteri). Bioremediasi bertujuan untuk memecah atau mendegradasi zat pencemar menjadi bahan yang kurang beracun atau tidak beracun (karbon dioksida dan air).
Bioremediasi pada lahan terkontaminasi logam berat didefinisikan sebagai proses membersihkan (clean up) lahan dari bahan-bahan pencemar (pollutant) secara biologi atau dengan menggunakan organisme hidup, baik mikroorganisme (mikrofauna dan mikroflora) maupun makroorganisme (tumbuhan) (Onrizal, 2005).
Sejak tahun 1900an, orang-orang sudah menggunakan mikroorganisme untuk mengolah air pada saluran air. Saat ini, bioremediasi telah berkembang pada perawatan limbah buangan yang berbahaya (senyawa-senyawa kimia yang sulit untuk didegradasi), yang biasanya dihubungkan dengan kegiatan industri. Yang termasuk dalam polutan-polutan ini antara lain logam-logam berat, petroleum hidrokarbon, dan senyawa-senyawa organik terhalogenasi seperti pestisida, herbisida, dan lain-lain. Banyak aplikasi-aplikasi baru menggunakan mikroorganisme untuk mengurangi polutan yang sedang diujicobakan. Bidang bioremediasi saat ini telah didukung oleh pengetahuan yang lebih baik mengenai bagaimana polutan dapat didegradasi oleh mikroorganisme, identifikasi jenis-jenis mikroba yang baru dan bermanfaat, dan kemampuan untuk meningkatkan bioremediasi melalui teknologi genetik.
 Teknologi genetik molekular sangat penting untuk mengidentifikasi gen-gen yang mengkode enzim yang terkait pada bioremediasi. Karakterisasi dari gen-gen yang bersangkutan dapat meningkatkan pemahaman kita tentang bagaimana mikroba-mikroba memodifikasi polutan beracun menjadi tidak berbahaya.
Strain atau jenis mikroba rekombinan yang diciptakan di laboratorium dapat lebih efisien dalam mengurangi polutan. Mikroorganisme rekombinan yang diciptakan dan pertama kali dipatenkan adalah bakteri “pemakan minyak”. Bakteri ini dapat mengoksidasi senyawa hidrokarbon yang umumnya ditemukan pada minyak bumi.
 Bakteri tersebut tumbuh lebih cepat jika dibandingkan bakteri-bakteri jenis lain yang alami atau bukan yang diciptakan di laboratorium yang telah diujicobakan. Akan tetapi, penemuan tersebut belum berhasil dikomersialkan karena strain rekombinan ini hanya dapat mengurai komponen berbahaya dengan jumlah yang terbatas. Strain inipun belum mampu untuk mendegradasi komponen-komponen molekular yang lebih berat yang cenderung bertahan di lingkungan.
 1.4 Jenis Bioremediasi
Jenis-jenis bioremediasi adalah sebagai berikut:
  • Biostimulasi
Nutrien dan oksigen, dalam bentuk cair atau gas, ditambahkan ke dalam air atau tanah yang tercemar untuk memperkuat pertumbuhan dan aktivitas bakteri remediasi yang telah ada di dalam air atau tanah tersebut.
  • Bioaugmentasi
Mikroorganisme yang dapat membantu membersihkan kontaminan tertentu ditambahkan ke dalam air atau tanah yang tercemar. Cara ini yang paling sering digunakan dalam menghilangkan kontaminasi di suatu tempat. Namun ada beberapa hambatan yang ditemui ketika cara ini digunakan. Sangat sulit untuk mengontrol kondisi situs yang tercemar agar mikroorganisme dapat berkembang dengan optimal. Para ilmuwan belum sepenuhnya mengerti seluruh mekanisme yang terkait dalam bioremediasi, dan mikroorganisme yang dilepaskan ke lingkungan yang asing kemungkinan sulit untuk beradaptasi.
  • Bioremediasi Intrinsik
Bioremediasi jenis ini terjadi secara alami di dalam air atau tanah yang tercemar.
Di masa yang akan datang, mikroorganisme rekombinan dapat menyediakan cara yang efektif untuk mengurangi senyawa-senyawa kimiawi yang berbahaya di lingkungan kita. Bagaimanapun, pendekatan itu membutuhkan penelitian yang hati-hati berkaitan dengan mikroorganisme rekombinan tersebut, apakah efektif dalam mengurangi polutan, dan apakah aman saat mikroorganisme itu dilepaskan ke lingkungan.
II. PENANGANAN MASALAH

2.1 Penanggulangan Acid Mine Drainage/AMD
Sudah banyak teknologi yang ditujukan untuk menanggulangi acid mine drainage (AMD). Teknologi yang diterapkan baik yang berdasarkan prinsip kimia maupun biologi belum memberikan hasil yang dapat mengatasi AMD secara menyeluruh.
Teknik ini yang didasarkan atas prinsip-prinsip kimia, misalnya pengapuran, meskipun memerlukan biaya yang mahal akan tetapi hasilnya hanya dapat meningkatkan pH dan bersifat sementara. Teknik pembuatan saluran anoksik (anoxic lime drain) yang menggabungkan antara prinsip fisika dan kimia juga sangat mahal dan hasilnya belum menggembirakan. Teknik bioremediasi dengan memanfaatkan bakteri pereduksi sulfat memberikan hasil yang cukup menggembirakan. Hasil seleksi Widyati (2007) dalam Widyati (2010) menunjukkan bahwa BPS dapat meningkatkan pH dari 2,8 menjadi 7,1 pada air asam tambang Galian Pit Timur dalam waktu 2 hari dan menurunkan Fe dan Mn dengan efisiensi > 80% dalam waktu 10 hari.
Namun demikian, penelitian-penelitian tersebut dilakukan pada air sedangkan sumber-sumber yang menjadi pangkal terjadinya AMD belum tersentuh. Hal yang sangat penting sesungguhnya adalah upaya pencegahan terbentuknya AMD.
 Bagaimana cara untuk mencegah kontak mineral sulfide dengan oksigen dan menghambat pertumbuhan bakteri pengoksidasi sulfur (BOS) adalah hal yang paling menentukan dalam menangani AMD. Sebagai contoh PT. Bukit Asam Tbk menghambat kontak mineral-oksigen dengan melapisi lahan bekas tambang dengan blue clay setebal 1-2 m sehingga biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan ini per hektar sungguh fantastis. Tetapi proses AMD secara geokimia jauh lebih lambat dibandingkan dengan proses yang dikatalis oleh BOS. Sehingga di PT. Bukit Asam masih terjadi AMD.
Oleh karena itu, pengendalian BOS adalah kunci untuk mengatasi AMD. Bakteri ini tergolong kemo-ototrof, sehingga penambahan bahan organik akan membunuh mikrob tersebut. Bagaimana menyediakan bahan organik pada lahan yang begitu luas? Penanaman lahan yang baik adalah jawaban yang tepat. Bagaimana melakukan penanaman pada lahan yang begitu berat? Jawaban yang tepat juga penambahan bahan organik.
Oleh sebab itu bahan organik dapat berperan sebagai buffer sehingga dapat meningkatkan pH, sebagai sumber unsur hara, dapat meningkatkan water holding capacity, meningkatkan KTK dan dapat mengkelat logam-logam (Stevenson, 1997 dalam Widyati, 2010) yang banyak terdapat pada lahan bekas tambang. Revegetasi pada lahan bekas tambang yang berhasil dengan baik akan memasok bahan organik ke dalam tanah baik melalui produksi serasah maupun eksudat akar.
2.2 Bakteri Thiobacillus Ferrooxidans Sebagai Penanganan Limbah Pertambangan
Batu Bara
Kelompok bahan galian metalliferous antara lain adalah emas, besi, tembaga, timbal, seng, timah, mangan. Sedangkan bahan galian nonmetalliferous terdiri dari batubara, kwarsa, bauksit, trona, borak, asbes, talk, feldspar dan batuan pospat. Bahan galian untuk bahan bangunan dan batuan ornamen termasuk didalamnya slate, marmer, kapur, traprock, travertine, dan granite.
Perkembangan teknologi pengolahan menyebabkan ekstraksi bijih kadar rendah menjadi lebih ekonomis, sehingga semakin luas dan dalam lapisan bumi yang harus di gali. Hal ini menyebabkan kegiatan tambang menimbulkan dampak lingkungan yang sangat besar dan bersifat penting.
Salah satu jenis bahan bakar yang melimpah di dunia adalah batu bara. Pembakaran batu bara merupakan metode pemanfaatan batu bara yang telah sekian lama dilakukan. Masalah yang muncul sebagai akibat pembakaran langsung batu bara adalah emisi gas sulfur dioksida. Sulfur yang terdapat dalam batu bara perlu disingkirkan karena sulfur dapat menyebabkan sejumlah dampak negatif bagi lingkungan.
Energi batubara merupakan jenis energi yang sarat dengan masalah lingkungan, terutama kandungan sulfur sebagai polutan utama. Hal ini disebabkan oleh oksida-oksida belerang yang timbul akibat pembakaran batubara tersebut sehingga mampu menimbulkan hujan asam. Sulfur batubara juga dapat menyebabkan kenaikan suhu global serta gangguan pernafasan. Oksida belerang merupakan hasil pembakaran batubara juga menyebabkan perubahan aroma masakan atau minuman yang dimasak atau dibakar dengan batubara (briket), sehingga menyebabkan menurunnya kualitas makanan atau minuman, serta berbahaya bagi kesehatan (pernafasan).
Penyingkiran sulfur pada batubara dapat dilakukan dengan tiga metode, yaitu fisika, kimiawi, dan biologis. Penyingkiran sulfur secara biologis atau biodesulfurisasi adalah metode penyingkiran sulfur dengan menggunakan mikroba yang paling murah dan paling sederhana. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi biodesulfurisasi batubara, yaitu: temperatur, pH, medium nutrisi, konsentrasi sel, konsentrasi batu bara, ukuran partikel, komposisi medium, kecepatan aerasi COÌ, penambahan partikulat dan surfaktan, serta interaksi dengan mikroorganisme lain.
Cara yang tepat untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan mewujudkan gagasan clean coal combustion melalui desulfurisasi batubara. Alternatif yang paling aman dan ramah terhadap lingkungan untuk desulfurisasi batubara adalah secara mikrobiologi menggunakan bakteri Thiobacillus ferrooxidans dan Thiobacillus thiooxidans. Penggunaan kombinasi kedua bakteri ini ditujukan untuk lebih mengoptimalkan desulfurisasi. Thiobacillus ferooxidans memiliki kemampuan untuk mengoksidasi besi dan sulfur, sedangkan Thiobacillus thiooxidans tidak mampu mengoksidasi sulfur dengan sendirinya, namun tumbuh pada sulfur yang dilepaskan setelah besi teroksidasi.

2.3 Pemanfaatan Bakteri Pereduksi Sulfat dalam Penanganan Air Asam Tambang
Teknologi bioremediasi dapat juga digunakan untuk mengatasi air asam tambang dan logam berat terlarut terutama dari pertambangan batu bara. Teknologi tersebut mengandalkan aktivitas berbagai bakteri pereduksi sulfat diantaranya Desulfotomaculum orientis ICBB 1204, Desulfotomaculum sp ICBB 8815 dan ICBB 8818 yang mengubah sulfat dalam air asam tambang menjadi hidrogen sulfida dan kemudian bereaksi dengan logam berat. Setelah reaksi belangsung pH (keasaman) air asam tambang yang mula-mula berkisar dari 2 – 3 meningkat mendekati netral (6-7). Sementara logam berat yang terdapat air asam tambang mengendap.
Dari hasil penelitian Santosa (2009) selama sembilan (9) tahun diperoleh teknologi yang mampu meningkatkan pH ke netral dan menurunkan konsentrasi berbagai logam berat diantaranya Cr, Pb dan Cd. Teknologi ini efisien, karena hanya membutuhkan biaya 1/10 dari biaya penanganan air asam konvensional.
Menurut Alexander (1977) dalam Anonim (2010a), menyatakan bahwa Bakteri Pereduksi Sulfat (BPS) terdiri dari 2 genus, yaitu Desulfovibrio dan Desulfotomaculum. Desulfovibrio hidup pada kisaran pH 6 sampai netral, sedangkan Desulfotomaculum merupakan kelompok BPS yang termofil (menyukai suhu yang tinggi). Dari hasil penelitian lingkungan tanah bekas tambang batubara setelah diberi perlakuan bioremediasi mempunyai pH sekitar 6 dan suhunya berkisar pada suhu ruangan (25°C – 30°C) tidak termofil (>55°C) sehingga kuat dugaan bahwa BPS yang ditemukan sangat dekat sifat-sifatnya dengan genus Desulfovibrio. Sedangkan menurut Feio et al. (1998) dalam Anonim (2010a), menyatakan bahwa media Postgate yang digunakan merupakan media selektif yang paling cocok untuk mengisolasi BPS dari genus Desulfovibrio.
Kemampuan BPS dalam menurunkan kandungan sulfat sehingga dapat meningkatkan pH tanah bekas tambang batubara ini sangat bermanfaat pada kegiatan rehabilitasi lahan bekas tambang batubara. Peningkatan pH yang dicapai hampir mendekati netral (6,66) sehingga sangat baik untuk mendukung pertumbuhan tanaman revegetasi maupun kehidupan biota lainnya.

2.4 Pemanfaatan Sludge Untuk Memacu Revegetasi Lahan Pasca Tambang Batubara
Pada umumnya, perusahaan tambang menggunakan top (tanah lapisan atas) atau kompos untuk mengembalikan kesuburan tanah. Rata-rata dibutuhkan 5.000 ton per hektar kompos atau top soil. Metode konvensional ini kurang tepat diterapkan pada bekas lahan tambang yang luas. Pemanfaatan sludge limbah industri kertas bisa menjadi alternatif pilihan. Industri kertas menghasilkan 10 persen sludge dari total pulp yang mengandung N dan P (Anonim, 2006a).
Percobaan menunjukkan sludge paper dosis 50 persen dapat memperbaiki sifat-sifat tanah lebih efektif dibandingkan perlakuan top soil. Sludge kertas ini berperan ganda dalam proses bioremediasi tanah bekas tambang batubara yaitu sebagai sumber bahan organik tanah (BOT) dan sumber inokulum bakteri pereduksi sulfat (BPS). Pemberian sludge pada bekas tambang batubara menimbulkan 2 proses yakni perbaikan lingkungan (soil amendment) dan inokulasi mikroba yang efektif.
Pemberian sludge paper 50 persen ke dalam tanah bekas tambang batubara mampu menurunkan ketersediaan Fe tanah 98.8 persen, Mn 48 persen, Zn 78 persen dan Cu 63 persen. BPS mampu mereduksi sulfat menjadi senyawa sulfda-logam yang tidak tersedia.
2.5 Bioremediasi Tanah Tercemar
Pencemaran lingkungan tanah belakangan ini mendapat perhatian yang cukup besar, karena globalisasi perdagangan menerapkan peraturan ekolabel yang ketat. Sumber pencemar tanah umumnya adalah logam berat dan senyawa aromatik beracun yang dihasilkan melalui kegiatan pertambangan dan industri. Senyawa-senyawa ini umumnya bersifat mutagenik dan karsinogenik yang sangat berbahaya bagi kesehatan (Joner dan Leyval, 2001 dalam Madjid, 2009).
Bioremidiasi tanah tercemar logam berat sudah banyak dilakukan dengan menggunakan bakteri pereduksi logam berat sehingga tidak dapat diserap oleh tanaman. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa cendawan memiliki kontribusi yang lebih besar dari bakteri, dan kontribusinya makin meningkat dengan meningkatnya kadar logam berat (Fleibach, et al, 1994 dalam Madjid, 2009)..
Cendawan ektomikoriza dapat meningkatkan toleransi tanaman terhadap logam beracun dengan melalui akumulasi logam-logam dalam hifa ekstramatrik dan “extrahyphae slime” (Aggangan et al, 1997 dalam Madjid, 2009). sehingga mengurangi serapannya ke dalam tanaman inang. Namun demikian, tidak semua mikoriza dapat meningkatkan toleransi tanaman inang terhadap logam beracun, karena masing-masing mikoriza memiliki pengaruh yang berbeda. Pemanfaatan cendawan mikoriza dalam bioremidiasi tanah tercemar, disamping dengan akumulasi bahan tersebut dalam hifa, juga dapat melalui mekanisme pengkomplekan logam tersebut oleh sekresi hifa ekternal.
Polusi logam berat pada ekosistem hutan sangat berpengaruh terhadap kesehatan tanaman hutan khususnya perkembangan dan pertumbuhan bibit tanaman hutan (Khan, 1993 dalam Madjid, 2009). Hal semacam ini sangat sering terjadi disekitar areal pertambangan (tailing dan sekitarnya). Kontaminasi tanah dengan logam berat akan meningkatkan kematian bibit dan menggagalkan prgram reboisasi.
Penelitian Aggangan et al (1997) dalam Madjid (2009) pada tegakan Eucalyptus menunjukkan bahwa Ni lebih berbahaya dari Cr. Gejala keracunan Ni tampak pada konsentrasi 80 umol/l pada tanah yang tidak dinokulasi dengan mikoriza sedangkan tanah yang diinokulasi dengan Pisolithus sp., gejala keracunan terjadi pada konsentrasi 160 umol/l. Isolat Pisolithus yang diambil dari residu pertambangan Ni jauh lebih tahan terhadap kadar Ni yang tinggi dibandingkan dengan Pisolithus yang diambil dari tegakan Eucalyptus yang tidak tercemar logam berat.
Upaya bioremediasi lahan basah yang tercemar oleh limbah industri (polutan organik, sedimen pH tinggi atau rendah pada jalur aliran maupun kolam pengendapan) juga dapat dilakukan dengan memanfaatkan tanaman semi akuatik seperti Phragmites australis. Oliveira et al, 2001 dalam Madjid, 2009) menunjukkan bahwa Phragmites australis dapat berasosiasi dengan cendawan mikoriza melalui pengeringan secara gradual dalam jangka waktu yang pendek.
Hal ini dapat dijadikan strategi pengelolaan lahan terpolusi (phytostabilisation) dengan meningkatkan laju perkembangan spesies mikotropik. Penelitian Joner dan Leyval (2001) dalam Madjid (2009) menunjukkan bahwa perlakuan mikoriza pada tanah yang tercemar oleh polysiklik aromatic hydrocarbon (PAH) dari limbah industri berpengaruh terhadap pertumbuhan clover, tapi tidak terhadap pertumbuhan reygrass. Dengan mikoriza laju penurunan hasil clover karena PAH dapat ditekan. Tapi bila penambahan mikoriza dibarengi dengan penambahan surfaktan, zat yang melarutkan PAH, maka laju penurunan hasil clover meningkat.
Tanaman yang tumbuh pada limbah pertambangan batubara diteliti Rani et al (1991) dalam Madjid (2009) menunjukkan bahwa dari 18 spesies tanaman setempat yang diteliti, 12 diantaranya bermikoriza. Tanaman yang berkembang dengan baik di lahan limbah batubara tersebut, ditemukan adanya “oil droplets” dalam vesikel akar mikoriza. Hal ini menunjukkan bahwa ada mekanisme filtrasi, sehingga bahan beracun tersebut tidak sampai diserap oleh tanaman.
Mikoriza juga dapat melindungi tanaman dari ekses unsur tertentu yang bersifat racun seperti logam berat (Killham, 1994 dalam Madjid dan Novriani : 2009). Mekanisme perlindungan terhadap logam berat dan unsur beracun yang diberikan mikoriza dapat melalui efek filtrasi, menonaktifkan secara kimiawi atau penimbunan unsur tersebut dalam hifa cendawan.
 Khan (1993) dalam Madjid dan Novriani (2009) menyatakan bahwa vesikel arbuskular mikoriza (VAM) dapat terjadi secara alami pada tanaman pioner di lahan buangan limbah industri, tailing tambang batubara, atau lahan terpolusi lainnya. Inokulasi dengan inokulan yang cocok dapat mempercepat usaha penghijauan kembali tanah tercemar unsur toksik.

2.6 Upaya Pencegahan Dan Penanggulangan Terhadap Dampak Yang Ditimbulkan Oleh Pertambangan Batu Bara
Upaya pencegahan dan penanggulangan terhadap dampak yang ditimbulkan oleh penambang batu bara dapat ditempuh dengan beberapa pendekatan, untuk dilakukan tindakan-tindakan tertentu sebagai berikut :
1. Pendekatan teknologi, dengan orientasi teknologi preventif (control/protective) yaitu pengembangan sarana jalan/jalur khusus untuk pengangkutan batu bara sehingga akan mengurangi keruwetan masalah transportasi. Pejalan kaki (pedestrian) akan terhindar dari ruang udara yang kotor. Menggunakan masker debu (dust masker) agar meminimalkan risiko terpapar/terekspose oleh debu batu bara (coal dust).
2. Pendekatan lingkungan yang ditujukan bagi penataan lingkungan sehingga akan terhindar dari kerugian yang ditimbulkan akibat kerusakan lingkungan. Upaya reklamasi dan penghijauan kembali bekas penambangan batu bara dapat mencegah perkembangbiakan nyamuk malaria. Dikhawatirkan bekas lubang/kawah batu bara dapat menjadi tempat perindukan nyamuk (breeding place).
3. Pendekatan administratif yang mengikat semua pihak dalam kegiatan pengusahaan penambangan batu bara tersebut untuk mematuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku (law enforcement)
4. Pendekatan edukatif, kepada masyarakat yang dilakukan serta dikembangkan untuk membina dan memberikan penyuluhan/penerangan terus menerus memotivasi perubahan perilaku dan membangkitkan kesadaran untuk ikut memelihara kelestarian lingkungan. 
III. KESIMPULAN
1. Sofyan (2009) mengemukakan bahwa beberapa dampak dari pertambangan batubara :
a. Lubang tambang.
b. Air Asam tambang
c. Tailing
d. Sludge
e. Polusi udara
2. Bioremediasi pada lahan terkontaminasi logam berat didefinisikan sebagai proses membersihkan (clean up) lahan dari bahan-bahan pencemar (pollutant) secara biologi atau dengan menggunakan organisme hidup, baik mikroorganisme (mikrofauna dan mikroflora) maupun makroorganisme (tumbuhan)
3. Jenis-jenis bioremediasi adalah sebagai berikut:
  • Biostimulasi
  • Bioaugmentasi
  • Bioremediasi Intrinsik
4. Beberapa metode penanganan pencemaran tambang batubara, yaitu :
a.  Penanggulangan Acid Mine Drainage/AMD
c.  Pemanfaatan Bakteri Pereduksi Sulfat dalam Penanganan Air Asam Tambang
d. Pemanfaatan Sludge Untuk Memacu Revegetasi Lahan Pasca Tambang Batubara
e. Bioremediasi Tanah Tercemar
5. Upaya Pencegahan Dan Penanggulangan Terhadap Dampak Yang Ditimbulkan Oleh Pertambangan Batu Bara, yaitu :
a.   Pendekatan teknologi, dengan orientasi teknologi preventif (control/protective)
b. Pendekatan lingkungan yang ditujukan bagi penataan lingkungan sehingga akan  terhindar dari kerugian yang ditimbulkan akibat kerusakan lingkungan.
c. Pendekatan administratif yang mengikat semua pihak dalam kegiatan pengusahaan  penambangan batu bara tersebut untuk mematuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku (law enforcement)
d. Pendekatan edukatif, kepada masyarakat yang dilakukan serta dikembangkan untuk membina dan memberikan penyuluhan/penerangan terus menerus memotivasi perubahan perilaku dan membangkitkan kesadaran untuk ikut memelihara kelestarian lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
 Anonim. 2010. Pemanfaatan Bakteri Pereduksi Sulfat untuk Bioremediasi TanahBekas Tambang Batubara. http://goblog06.blogspot.com/2010/05/pemanfaatan-bakteri-pereduksi-sulfat_02.html. 2 juni 2010
Anonim. 2010. Bahan Perkuliahan Teknik Elektro Unand. Sumber Daya Alam. http://bahanelektro.blogspot.com/2010/02/sda-sumber-daya-alam. 4 juni 2010
Anonim. 2008. Bakteri Thiobacillus Ferrooxidans Sebagai Penanganan Limbah Pertambangan (Batu Bara). http://.bioindustri.blogspot.com/2008/09/bakteri-thiobacillus-ferrooxidans.html. 4 juni 2010

Anonim. 2006a. Limbah Industri Kertas Perbaiki Lahan Tambang Batubara. http://www.ipb.ac.id/Bogor Agricultural University – Limbah Industri Kertas Perbaiki Lahan Tambang Batubara.html. 4 juni 2010

Anonim. 2006.Rehabilitasi Lahan Bekas Tambang Menuju Pemanfaatan Lahan Yang Berkelanjutan : Leaflet Seminar Nasional. http://pkrlt.ugm.ac.id/files/2006%20
LEAFLET%20SEMINAR%20PKRLT.pdf. 3 juni 2010

Arifin, H. 2007. Penambangan Batu Bara Dan Kesehatan Lingkungan. http://komunitassumpit.wordpress.com/2007/06/22/penambangan-batu-bara-dan-kesehatan-lingkungan. 25 maret 2010

Asthary, R. 2008. Pertambangan Batubara : Pro dan Kontra. www.majarimagazine.com/2008/
06/pertambangan-batubara-pro-dan-kontra. 25 maret 2010

Kurnia, U., dkk. 2005. Teknologi Pengendalian Pencemaran Lahan Sawah. www.balittanah.
litbang.deptan.go.id/dokumentasi/buku/tanahsawah/tanahsawah9.pdf. 4 juni 2010

Madjid, A. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah Bahan Ajar Online : Peran dan Prospek Mikoriza.
Fakultas Pertanian Unsri & Program Studi Ilmu Tanaman, Program Pascasarjana, Universitas Sriwijaya. Sumatera Selatan. http://dasar2ilmutanah.blogspot.com. 4 juni 2010

Madjid, A dan Novriani. 2009. Peran dan prospek Mikoriza. http://phospateindo.com/peran-dan-prospek-mikoriza.html. 5 juni 2010

Santosa, D.A,. 2009. Teknologi Bioremediasi Pulihkan Lingkungan Tercemar. www.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/22942/2/2009b1403.pdf. 2 Juni 2010

Sofyan, H. 2009. Dampak Lingkungan Eksploitasi Tambang Batubara.http:///haniyahsofyan.blogspot.com/2009/11/dampak-lingkungan-ekspoitasi-tambang.html. 27 maret 2010

Onrizal. 2005. Restorasi Lahan Terkontaminasi Logam Berat. http://library.usu.ac.id/download/fp/hutan-onrizal6.pdf. 1 juni 2010

Widyati, E. 2010. Acid Mine Drainage – Momok Lahan Bekas Tambang. Lingkungan Pasca Tambang. http://tambang.blogspot.com/2010/05/air-asam-tambang.html. 4 Juni 2010

Wikipedia. 2010. Bioremediasi – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. http://id.wikipedia.org/wiki/Bioremediasi. 4 juni 2010













DAMPAK PENERAPAN METODE SRI
(SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION)
Oleh : Susti Mediana
NPM : E2A010020
ABSTRAK
SRI (System Of Rice Intensification) merupakan salah satu pendekatan dalam praktek budidaya padi yang menekankan pada manajemen pengelolaan tanah, tanaman dan air melalui pemberdayaan kelompok dan kearifan lokal yang berbasis pada kegiatan ramah lingkungan. Hal ini akan sangat mendukung terhadap pemulihan kesehatan tanah dan kesehatan pengguna produknya.  Gagasan SRI pada mulanya dikembangkan di Madagaskar antara tahun 1983-1984.  Pertanian organik pada prinsipnya menitik beratkan prinsip daur ulang hara melalui panen dengan cara mengembalikan sebagian biomasa ke dalam tanah, dan konservasi air, mampu memberikan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode konvensional. 
Di Indonesia gagasan SRI  telah di uji coba dan diterapkan di beberapa kabupaten di Jawa, Sumatera, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan, Sulawesi serta Papua. Penerapan gagasan SRI berdasarkan pada enam komponen penting : (1) Transplantasi bibit muda, (2) Bibit ditanam satu batang, (3) Jarak tanam lebar, (4) Kondisi tanah lembab (irigasi berselang), (5) Hanya menggunakan bahan organic (kompos), dan (6) Melakukan pendangiran/penyiangan.  Hasil penerapan metode SRI menunjukkan bahwa budidaya padi metode SRI telah mampu : (1) meningkatkan hasil dibanding budidaya padi sistem konvensional, (2) Meningkatkan pendapatan, (3) Terjadi efisiensi produksi dan efisiensi usahatani secara finansial, (4) Pangsa harga pasar produk lebih tinggi sebagai beras organik.
Dengan meningkatnya harga pupuk dan pestisida kimia serta semakin rusaknya lingkungan sumber daya akibat pemakaian bahan kimia telah mendorong petani dibeberapa tempat mempraktekkan sistem budidaya padi metode SRI.  Peluang pengembangan SRI ke depan juga didukung oleh tuntutan globalisasi dan kebutuhan yang makin meningkat terhadap budidaya padi ekologis ramah lingkungan, kemudian dengan sistem penyuluhan yang mudah dimengerti, juga terkait dengan kondisi peningkatan semua input produksi serta kebutuhan produk organik.
Kata Kunci : System Of Rice Intensification (SRI), Penerapan, Produktivitas
PENDAHULUAN
Tanah merupakan faktor produksi pertanian yang penting.  Keseimbangan tanah dengan kandungan bahan organik, mikro organisme dan aktivitas biologi serta keberadaan unsur-unsur hara dan nutrisi sangat penting untuk keberlanjutan pertanian kedepan, begitu juga dengan kesehatan manusia mempunyai hubungan langsung dengan kesehatan tanah (Deptan, 2009).
Salah satu permasalahan yang dihadapi banyak petani adalah kesehatan dan kesuburan tanah yang semakin menurun.  Hal ini ditunjukkan dengan gejala-gejala sebagai berikut ; tanah cepat kering, retak-retak bila kurang air, lengket bila diolah, lapisan olah dangkal, asam dan padat, produksi sulit meningkat bahkan cenderung menurun.  Kondisi ini semakin buruk karena penggunaan pupuk an-organik terus meningkat dan penggunaan pestisida untuk mengendalikan organisme pengganggu tumbuhan juga meningkat.  Perilaku usaha tani lebih tertuju pada cara memupuk tanaman, bukan cara memupuk tanah agar tanah menjadi subur, sehingga dapat menyediakan sekaligus memberikan banyak nutrisi pada tanaman.
Saat ini usahatani secara umum belum melibatkan tanah sebagai komponen yang mempengaruhi dan menentukan keputusan pengendalian dalam pengelolaan suatu agroekosistem. Di beberapa tempat masih terjadi pembakaran sisa jerami sebelum pengolahan lahan, sehingga mengakibatkan pencemaran udara dan rotasi unsur hara tidak terjadi.
Semakin bertambahnya jumlah penduduk maka kebutuhan akan beras sebagai sumber pangan nasional makin meningkat.  Namun banyaknya alih fungsi lahan yang terjadi saat ini menjadi persoalan serius yang perlu ditanggulangi. Terjadinya alih fungsi lahan sawah dapat mengganggu produksi pangan, apabila tidak ada solusi dalam mengatasi masalah ini dikhawatirkan akan terjadi krisis pangan.
Tulisan ini bertujuan untuk memberi informasi, pengetahuan serta gambaran mengenai dampak penerapan metode SRI melalui  hasil penelitian (uji coba) yang telah dilaksanakan oleh peneliti di beberapa tempat.  Diharapkan melalui informasi ini dapat merubah perilaku petani khususnya yang belum begitu memahami  konsep SRI dan masih melaksanakan budidaya padi dengan sistem konvensional.  Disamping itu diharapkan tulisan ini dapat dijadikan pedoman dan bahan pembanding dalam pengembangan budidaya padi metode SRI khususnya di provinsi Bengkulu.
PENERAPAN  METODE SRI (SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION)
1. Inovasi Metode SRI
System of Rice Intensification (SRI) adalah teknik budidaya tanaman padi yang mampu meningkatkan produktivitas padi dengan cara mengubah pengelolaan tanaman, tanah, air dan unsur hara, terbukti telah berhasil meningkatkan produktivitas padi sebesar 50% bahkan dibeberapa tempat mencapai lebih dari 100% (Mutakin, 2007).
Metode ini pertama kali ditemukan secara tidak sengaja di Madagaskar antara tahun 1983-1984 oleh seorang pastor Jesuit asal Prancis bernama Fr. Henri de Laulanie, SJ yang lebih dari 30 tahun hidup bersama petani-petani disana.  SRI lahir karena adanya kepedulian terhadap minimnya produktifitas pertanian para petani di Madagaskar.  Oleh penemunya metodologi ini selanjutnya dalam bahasa Prancis danamakan Ie Systme de Riziculture Intensive disingkat SRI.  Dalam bahasa inggris popular dengan nama System Of Rice Intensification disingkat SRI. 
Pada Tahun 1990 dibentuk Association Tefy Saina (ATS), sebuah LSM Malagasy untuk memperkenalkan SRI. Empat tahun kemudian, Cornell International Institution for Food, Agricultulture and Development (CIIFAD), mulai bekerja sama dengan Tefy Saina untuk memperkenalkan SRI di sekitar Ranomafana National Park di Madagaskar Timur, didukung oleh US Agency for International Development.  SRI telah diuji di Cina, India, Indonesia, Filipina, Sri Langka dan Bangladesh dengan hasil yang positif.  SRI menjadi terkenal di dunia melalui upaya dari Norman Uphoff (Director CIIFAD).

Hasil metode SRI sangat memuaskan.  Di Madagaskar pada beberapa tanah tak subur yang produksi normalnya 2 ton/ha, petani yang menggunakan SRI memperoleh hasil panen lebih dari 8 ton/ha, beberapa petani memperoleh 10-15 ton/ha, bahkan ada yang mencapai 20 ton/ha (Mutakin, 2005).  Metode SRI minimal menghasilkan panen dua kali lipat dibandingkan metode yang biasa dipakai petani.
Pada tahun 1987, Uphoff mengadakan presentase SRI di Indonesia yang merupakan kesempatan pertama SRI dilaksanakan di luar Madagaskar.  Di Indonesia sendiri  uji coba pola/teknik SRI pertama dilaksanakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Sukamandi Jawa Barat pada musim kemarau tahun 1999 dengan hasil 6,2 ton/ha dan pada musim hujan tahun 1999/2000 menghasilkan padi rata-rata 8,2 ton/ha (Uphoff, 2002 dan Sato, 2007).  SRI juga telah diterapkan di beberapa kabupaten di Jawa, Sumatera, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur yang sebagian besar dipromosikan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) (Wardana et al, 2005).  Selanjutnya SRI juga telah berkembang di beberapa daerah di Sulawesi, Kalimantan bahkan rencana pengembangan di Irian (Papua).
Usahatani padi sawah organik metode SRI adalah usaha tani padi sawah irigasi secara intensif dan efisien dalam pengelolaan tanah, tanaman dan air yang berbasis kaidah ramah lingkungan (Deptan, 2007 dalam Simarmata, 2007). Dengan meningkatnya harga pupuk dan pestisida kimia serta semakin rusaknya lingkungan sumber daya akibat penggunaan pupuk yang terus menerus dan pemakaian bahan kimia, telah mendorong petani di beberapa tempat mempraktekkan metode System Of Rice Intensification (SRI).
2. Prinsip-Prinsip Budidaya Padi SRI
Secara umum dalam konsep SRI tanaman diperlakukan sebagai organisme hidup sebagaimana mestinya, tidak diperlakukan seperti mesin yang dapat dimanipulasi.  Semua potensi tanaman padi dikembangkan dengan cara memberikan kondisi yang sesuai dengan pertumbuhannya.  Hal ini karena SRI menerapkan konsep sinergi, dimana semua komponen teknologi SRI berinteraksi secara positif dan saling menunjang sehingga hasil secara keseluruhan lebih banyak daripada jumlah masing-masing bagian.  Menurut Berkelaar (2001), Kuswara (2003) dan Wardana et al, (2005) terdapat beberapa komponen penting dalam penerapan SRI yaitu :
1.   Bibit dipindah lapangan (Transplantasi) lebih awal (bibit muda).
2.   Bibit ditanam satu batang per lubang tanam.
3.   Jarak tanam lebar.
4.   Kondisi tanah tetap lembab tapi tidak tergenang air (irigasi berselang)
5.   Menggunakan pupuk dari bahan organik kompos dan mikro organisme local (MOL)
6.   Dilakukan Penyiangan/pendangiran
Hal paling mendasar dalam budidaya SRI adalah menerapkan irigasi intermitten artinya siklus basah kering bergantung pada kondisi lahan, tipe tanah dan ketersediaan air.  Selama kurun waktu penanaman lahan tidak tergenang tetapi macak-macak (basah tapi tidak tergenang).  Cara ini bisa menghemat air 46%.  Selain itu sedikitnya air juga mencegah kerusakan akar tanaman.  Menurut  Simarmata dalam Trubus 2008, Penggenangan air menyebabkan kerusakan jaringan perakaran akibat terbatasnya suplay oksigen.  Semakin tinggi air semakin kecil oksigen terlarut,  dampaknya akar tanaman tidak mampu mengikat oksigen sehingga jaringan perakaran rusak.  Selain itu jika air tergenang menyebabkan musuh alami hama padi tidak dapat hidup sedangkan hama padi dapat hidup dan dapat memunculkan hama padi baru yang berasal dari lingkungan aquatik.
Disamping menghemat air, budidaya intensif itu juga menghemat penggunaan bibit, sebab satu lubang tanam hanya ditanam satu bibit.  Menurut Abdulrachman dalam Trubus (2008),  bahwa dengan menanam satu bibit per lubang berarti menghindari perebutan cahaya atau hara dalam tanah sehingga sistem perakaran dan pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik.  Sebaliknya jika penanaman terdiri atas 9 bibit per lubang kompetisi hara tidak terelakkan.
Dalam intensifikasi digunakan bibit muda umurnya 7 hari pasca semai dan terdiri atas dua daun.  Penggunaan bibit muda berdampak positif karena lebih mudah beradaptasi dan tidak gampang stress, ini dikarenakan perakaran belum panjang maka penanaman pun tidak perlu terlalu dalam cukup 1-2 cm dari permukaan tanah. Untuk menghasilkan bibit muda yang berkualitas petani mempersiapkan sejak penyemaian.  Populasi di persemaian 50 gr/m2 dimaksudkan agar bibit cepat besar, karena tidak terjadi persaingan unsur hara, dengan demikian bibit sudah siap tanam pada umur 7-10 hari.  Transplantasi saat bibit muda dapat mengurangi guncangan dan meningkatkan kemampuan tanaman dalam memproduksi batang dan akar selama pertumbuhan vegetatif, sehingga jumlah anakan/batang yang muncul lebih banyak dalam satu rumpun, dan bulir padi yang dihasilkan oleh malai juga lebih banyak.
Petani intensif menanam bibit muda dengan jarak tanam 40 cm x 30 cm, total populasi dalam satu hektar mencapai 83.000 tanaman, sementara pada sistem konvensional berjarak tanam 20 cm x 20 cm terdiri atas 250 ribu tanaman.  Dengan jarak tanam longgar sinar matahari dapat menembus sela-sela tanaman. tanaman memerlukan sinar matahari untuk melakukan proses fotosintesis sehingga pasokan makanan tercukupi.  Dengan demikian dalam umur 30 hari, dari satu bibit sudah menghasilkan 65 anakan.
SRI menganjurkan pemakaian bahan organik (kompos) dan Mikro Organisme Lokal (MOL) untuk memperbaiki struktur tanah agar padi dapat tumbuh dengan baik dan hara tersuplai kepada tanaman secara baik tanpa menimbulkan efek kimia.  Keterlibatan kompos dan MOL (Mikro organisme lokal) sebagai tim sukses dalam pencapaian produktivitas yang berlipat ganda, karena peran kompos lebih komplek dari pupuk, karena selain sebagai penyuplai nutrisi kompos juga berperan sebagai komponen bioreaktor yang bertugas menjaga pertumbuhan tetap optimal. 
Konsep bioreaktor adalah kunci sukses SRI, bioreaktor yang dibangun oleh MOL dan kompos,  menjamin bahwa padi selama pertumbuhan dari bibit sampai dewasa tidak mengalami hambatan.  Fungsi bioreaktor sangatlah komplek, fungsi yang telah diidentifikasi antara lain sebagai penyuplai nutrisi melalui eksudat, kontrol mikroba sesuai kebutuhan padi, menjaga stabilitas kondisi tanah menuju kondisi ideal bagi pertumbuhan padi bahkan kontrol terhadap penyakit yang dapat menyerang padi (Uphoff  N, 2002).
Pendangiran/penyiangan dianjurkan sejak awal sekitar 10 hari dan diulang 2-3 kali dengan interval 10 hari menggunakan gasrok atau lalandak, selain untuk membersihkan gulma juga dapat memperbaiki struktur tanah dan meningkatkan aerasi tanah.
Penerapan SRI bisa diperuntukkan bagi berbagai varietas padi lain yang pernah ditanam petani, hanya saja diperlukan pikiran yang terbuka untuk menerima metode baru dan kemudian untuk bereksperimen.  Oleh karena itu, kajian SRI menggarisbawahi bagaimana pentingnya integrasi dan interdisiplin yang menggabungkan aspek biofisik dan sosial ekonomi dalam usahatani padi.  Kenyataan tersebut telah membuka stagnasi produksi padi di Madagaskar dan beberapa negara lain di dunia melalui pengurangan biaya produksi dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan.
Penerapan SRI di Indonesia terus berkembang dan dipraktekkan para petani di beberapa kabupaten di pulau Jawa, Sumatera, Bali, NTB, Kalimantan, Sulawesi serta di beberapa lokasi lainnya di tanah air, sekalipun dengan menggunakan pengistilahan yang berbeda.  Di Sumatera Barat SRI berkembang sebagai model tanam padi sebatang, khususnya di Sawahlunto penanaman padi sebatang sebagai teknologi SRI pada tahun 2006 mencapai 175 hektar, meningkat menjadi 280 hektar pada tahun 2007 dan pada tahun 2008 ditergetkan mencapai 450 hektar.  Metode pertanaman padi sebatang diperkenalkan melalui Universitas Andalas atas permintaan petani karena tingkat produksinya tinggi, mencapai 8-8,5 ton/ha (Kompas, 2008).
3. Teknik Budidaya Padi Metode SRI
1.   Persiapan Benih
Benih sebelum disemai diuji dalam larutan air garam.  Larutan air garam yang cukup untuk menguji benih adalah larutan yang apabila dimasukkan telur, maka telur akan terapung.  Benih yang baik untuk dijadikan benih adalah benih yang tenggelam dalam larutan tersebut.  Benih yang telah di uji direndam dalam air biasa selama 24 jam kemudian ditiriskan dan diperam 2 hari, lalu disemaikan pada media tanah dan pupuk organik (1:1) dalam wadah segi empat selama 7 hari. Setelah umur 7-10 hari benih padi sudah siap tanam.
2.      Pengolahan Tanah
Pengolahan dilakukan dua minggu sebelum tanam dengan menggunakan traktor tangan, sampai terbentuk struktur Lumpur, permukaan tanah diratakan untuk mempermudah mengontrol dan mengendalikan air.
3.      Perlakuan Pemupukan
Pemberian pupuk diarahkan pada perbaikan kesehatan tanah dan penambahan unsur hara yang berkurang setelah dilakukan pemanenan.  Kebutuhan pupuk organik pertama setelah menggunakan sistem konvensional adalah 10 ton/ha dan dapat diberikan sampai 2 musim tanam.  Setelah kelihatan kondisi tanah membaik maka pupuk organik bisa berkurang disesuaikan dengan kebutuhan.  Pemberian pupuk organik dilakukan pada tahap pengolahan tanah kedua agar pupuk bisa menyatu dengan tanah.
4.      Penanaman
Benih yang telah disemai lebih kurang berumur 7-10 hari dipindahkan ke lahan yang telah dilakukan pengolahan tanah, dengan jumlah bibit satu batang per lubang tanam, dengan jarak tanam agak lebar yaitu 30 x 40 cm.
5.      Pemeliharaan
Sistem tanam metode SRI tidak membutuhkan genangan air yang terus menerus, cukup dengan kondisi tanah yang basah.  Untuk mencegah hama dan penyakit tidak digunakan bahan kimia, tetapi dilakukan pencegahan dan apabila terjadi gangguan hama/penyakit digunakan pestisida nabati dan atau digunakan pengendalian secara fisik dan mekanik.
4. Budidaya Padi  Metode SRI dan Sistem Konvensional.
Tabel 1. Perbedaan Metode SRI dan Sistem Konvensional
No
Komponen
Metode SRI
Sistem Konvensional
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10
Kebutuhan Benih
Pengujian Benih
Umur di Persemaian
Pengolahan Tanah
Jumlah Tanaman per lubang
Posisi Akar Waktu Tanam
Pengairan
Pemupukan
Penyiangan
Rendemen
5 – 7 kg/ha
Dilakukan pengujian
7 – 10 HSS
3 kali (struktur lumpur dan rata
1 pohon per lubang
Posisi akar horizontal
Disesuaikan dengan kebutuhan
Hanya dengan pupuk organik
Diarahkan pada pengelolaan perakaran
60 – 70 %
30 – 40 kg/ha
Tidak dilakukan
20 – 30 HSS
2-3 kali (struktur Lumpur)
Rata-rata 5 pohon
Tidak teratur
Terus digenangi
Mengutamakan pupuk kimia
Diarahkan pada pemberantasan gulma
50 – 60 %
Sumber : Mutakin, J 2007
Keterangan : HSS = Hari setelah semai
Kebutuhan pupuk organik dan pestisida untuk padi organik metode SRI dapat diperoleh dengan cara mencari dan membuatnya sendiri.  Pembuatan kompos sebagai pupuk dilakukan dengan memanfaatkan kotoran hewan, sisa tumbuhan dan sampah rumah tangga dengan menggunakan aktifator MOL (Mikro organisme Lokal) buatan sendiri, begitu pula dengan pestisida dicari dari tumbuhan berkhasiat sebagai pengendali hama.  Dengan demikian biaya yang dikeluarkan menjadi lebih efisien dan murah.  Penggunaan pupuk organik dari musim pertama ke musim tanam kedua diusahakan sama, namun untuk musim tanam selanjutnya mengalami penurunan rata-rata 25% dari musim sebelumnya.  Sedangkan pada sistem konvensional pemberian pupuk an-organik dari musim ke musim cenderung meningkat, kondisi ini akan lebih sulit bagi petani  untuk dapat meningkatkan produksi apalagi bila dihadapkan pada kelangkaan pupuk saat musim tanam tiba.  Pemupukan dengan bahan organik dapat memperbaki kondisi tanah baik fisik, kimia maupun biologi tanah, sehingga pengolahan tanah untuk metode SRI menjadi lebih mudah dan murah, sedangkan pengolahan tanah yang menggunakan pupuk an organik secara terus menerus kondisi tanah akan semakin kehilangan bahan organik dan kondisi tanah semakin berat, mengakibatkan pengolahan semakin sulit dan biaya akan semakin mahal.
DAMPAK PENERAPAN SRI TERHADAP USAHA TANI
A.  Dampak Terhadap Produktivitas
Melalui teknologi yang digunakan pada budidaya padi organik metode SRI diperoleh hasil yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan sistem konvensional.  Peningkatan produksi/produktivitas pada umumnya terjadi karena jumlah anakan padi lebih banyak.  Melalui paket teknologi yang digunakan pada dasarnya memungkinkan terbentuknya anakan yang lebih banyak daripada sistem konvensional. Jumlah anakan pada metode SRI berkisar 30-40 anakan/rumpun sedangkan pola konvensional berkisar 25-30 anakan/rumpun.  Dengan anakan yang cukup banyak, menyebabkan anakan produktif yang terbentuk juga cukup tinggi sehingga sangat memungkinkan hasil gabah lebih tinggi.  Hampir semua jenis padi yang ditanam memberikan peningkatan produksi terutama bagi petani yang telah melakukan pola SRI lebih dari dua kali tanam.  Berdasarkan hasil penelitian Wardana et al., (2005) di Kabupaten Garut dan Ciamis diperoleh data bahwa hasil padi yang diperoleh dengan metode SRI rata-rata berkisar 5-7 ton/ha, sementara bila diusahakan secara konvensional diperoleh hasil gabah rata-rata antara 4-5 ton/ha.
B.  Dampak Terhadap Penggunaan Saprodi
Secara umum penerapan pola SRI lebih ditekankan pada pola penghematan dalam penggunaan air.  Namun demikian secara bertahap pola SRI telah mendorong pada substitusi penggunaan input produksi usahatani, seperti penggunaan pupuk an organik dan pestisida yang sebelumnya dipergunakan oleh sebagian besar petani. Melalui pemahaman usahatani padi SRI sebagai padi organik dengan mempergunakan pupuk organik, selain bebas residu kimia bagi kesehatan tubuh manusia, juga secara langsung mendukung penyehatan tanah dan lingkungan.
Model SRI mampu menghemat saprodi berupa benih, pupuk dan insektisida.  air irigasi.  Dengan kebutuhan pengairan yang macak-macak saja maka kebutuhan jumlah air per hektar mengalami penurunan sangat drastis.  Hal ini membawa dampak Disamping itu SRI tidak merekomendasikan penggunaan pupuk kimia, sehingga  akan mengurangi biaya tunai petani.  Efisiensi penggunaan input yang signifikan adalah penggunaan pada kemampuan air irigasi dalam mengairi sawah, terutama pada musim kemarau jika pola SRI diterapkan pada skala luas.
C.  Dampak Terhadap Pendapatan Petani
Dampak yang dirasakan dari penerapan teknologi SRI adalah tingginya produksi padi yang dihasilkan jika dibandingkan dengan cara konvensional, makin tinggi produksi maka nilai jual padi juga makin besar, sehingga keuntungan yang diperoleh petani juga lebih besar, dan ini tentunya akan meningkatkan pendapatan petani.  Keuntungan yang lebih besar akan diperoleh petani apabila memproduksi sendiri kompos dan mikro organisme lokal. Keuntungan diperoleh dengan pengurangan antara out put yang dihasilkan dengan biaya produksi/input yang telah dikeluarkan, hal ini berdampak secara langsung terhadap pendapatan tunai usahatani padi.
Tabel 2. Analisa Usaha Tani Cara Konvensional dan Metode SRI setelah musim     tanam kedua dalam 1 ha.
No
Uraian
Cara Konvensional
Metode SRI
A
Komponen input/ha
- Benih (Rp.5000/kg)
- Pupuk
* Organik (Jerami + 3 ton kompos)
* An organik Urea,SP36,KCl(2:1:1)
- Pengolahan Tanah
- Pembuatan persemaian
- Pencabutan benih (babut)
- Penanaman
- Penyulaman
- Penyiangan
- Pengendalian OPT dengan
* Pestisida kimia
* Biopestisida
- Panen
250.000
-
750.000
1.000.000
105.000
100.000
350.000
20.000
750.000
500.000
-
1.000.000
25.000
1.200.000
-
1.000.000
30.000
-
350.000
50.000
1.050.000
-
150.000
2.000.000

Jumlah
4.825.000
5.855.000
B
Komponen Out put
-Produksi padi
-Harga padi Rp. 2.000,-/kg (diprediksi     harga sama)
5 ton
10.000.000
10 ton
20.000.000
C
Keuntungan
5.175.000
14.145.000
Sumber :  Mutakin, J  2007.
Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa secara umum budidaya padi model konvensional memiliki uraian kegiatan  lebih banyak jika dibandingkan dengan metode SRI, namun pada metode SRI diperlukan biaya lebih besar dalam pengadaan bahan organik (pupuk), dan diperlukan tenaga kerja lebih terutama dalam kegiatan pemberantasan gulma dan pemanenan.  Hal ini dapat diminimalisir apabila petani menghasilkan sendiri kompos untuk pupuk organik tersebut, begitu juga dengan tenaga kerja dengan melibatkan anggota keluarga.
Hasil panen metode SRI pada musim pertama tidak jauh berbeda dengan hasil sebelumnya (metode konvensional) dan terus meningkat pada musim berikutnya sejalan dengan meningkatnya bahan organik dan kesehatan tanah.  Beras organik yang dihasilkan dari sistem tanam di musim pertama memiliki harga yang sama dengan beras dari sistem tanam konvensional, harga ini didasarkan atas dugaan bahwa beras tersebut belum tergolong organik, karena pada lahan tersebut masih ada pupuk kimia yang tersisa dari musim tanam sebelumnya.  Untuk musim berikutnya dengan menggunakan metode SRI secara berturut-turut, maka sampai musim ke-3 akan diperoleh beras organik dan memiliki harga yang lebih tinggi dari beras padi sistem konvensional.
KESIMPULAN
1.  Melalui penerapan Metode SRI  diharapkan dapat menanggulangi masalah ketahanan pangan tanpa merusak lingkungan.  Disamping itu Metode SRI mampu memulihkan kesuburan tanah dan mampu memelihara keberlanjutan produktivitas lahan.
2.   Metode SRI tepat diterapkan di Indonesia, karena persoalan lahan yang terus menyempit akibat alih fungsi.  Selain itu terdapat efisiensi penggunaan input benih dan air, serta mendorong penggunaan pupuk organik (efisiensi usahatani).
3.   Dari beberapa hasil penelitian yang telah dilaksanakan pada budidaya padi  dengan Metode SRI sudah terbukti mampu menghasilkan produktivitas padi yang tinggi diatas rata-rata nasional yang pada gilirannya akan memberikan pendapatan yang cukup tinggi bagi petani.
4.   Metode SRI dikenal ramah lingkungan, karena beberapa hal seperti kemampuan memitigasi terjadinya polusi asap akibat berkurangnya pembakaran jerami, sehingga mampu menekan emisi gas CO2 dan emisi gas methan, menekan gas pembusukan, daur ulang limbah, serta mencegah pencemaran lingkungan akibat kontaminasi.  SRI juga menghasilkan produk beras yang cukup sehat sebagai beras organik (Bustanulum, 2007).
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Ir. Urip Santoso, S.IKom.,MSc, PhD. selaku dosen pengasuh mata kuliah Penyajian ilmiah yang telah banyak membantu dalam membimbing dan memberikan informasi mengenai teknik dan cara penulisan yang baik.
2. Bapak Syaiful Anwar, SPd yang telah membantu dalam mencari referensi dan informasi yang berkenaan dengan  tulisan ini.
3. Nasya, Salsa dan Naufal sebagai sumber inspirasi dan motivasi dalam penyelesaian tugas ini.
DAFTAR PUSTAKA
Berkelaar D. 2001. Sistem Intensifikasi Padi (The System Of Rice Intensification-SRI) : Sedikit Dapat Memberi Lebih Banyak, Bulletin ECHO (terjemahan).
Bustanulm, 2007. http:setjen.deptan.go.id/berita/detail.php?id=151 Keynote Speech Menteri Pertanian RI. Jakarta.
Departemen Pertanian, 2009.  Pedoman Teknis Dampak Pengembangan System of Rice Intensification (SRI) Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air (PLA)  Jakarta.
Kuswara dan A. Sutaryat, 2003. Dasar Gagasan dan Praktek Tanam Padi Metode SRI (System of Rice Intensification), Kelompok studi petani (KSP), Ciamis.
Kompas, edisi rabu 16 Januari 2008, Dipopulerkan, Penanaman Padi Sebatang. http://www.kompascetak.com/kompas- cetak/0801/16/sumbagut/4168753.htm.
Mutakin, J. 2005. Kehilangan Hasl Padi Sawah Akibat Kompetisi Gulma Pada Kondisi SRI (System of Rice Intensification). Tesis. Pasca sarjana, Bandung.
Mutakin, J. 2007 Budidaya dan Keunggulan Padi Organik Metode SRI (System of Rice Intensification), Garut.
Santosa E, 2005. Rice organik farming is a programme for strengtenning food security in sustainable rural development, makalah disampaikan pada Seminar Internasional Kamboja ROF.
Sato, S. 2007. SRI Mampu Tingkatkan Produksi Padi Nasional. http:www.kapanlagi.com/h/0000182474.html.
Simarmata, T. 2007. Apa itu System of Rice Intensification (SRI)? http://agribisnis- ganesha.com/?p=29.
Trubus, 2008. Negeri berlimpah Energi dan Pangan (Edisi Khusus). Jakarta
Uphoff  N., 2002. Opportunities For Raising Yields by Changing Management Practices : The Rice Intensification in Madagascar. Agroecological Innovations. Earthscan Publications Ltd. London.
Wardana, P, I. Juliardi, Sumedi, Iwan Setiajie. 2005.  Kajian Perkembangan System Of Rice Intensification (SRI) di Indonesia.  Kerjasama Yayasan Padi Indonesia dengan Badan Litbang Pertanian.  Jakarta.
Wardana, P.I, Sumedi, Iwan Setiaji, 2007. Gagasan dan Implementasi System of Rice Intensification (SRI) dalam kegiatan Budidaya Padi Ekologis (BPE), Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Bogor.


Posted by uwityangyoyo on September 28, 2010
Oleh: AGUS SUSILO (E2A010008)
ABSTRAK
Usaha peternakan ayam broiler mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan karena tingginya permintaan daging dan merupakan usaha yang sangat menguntungkan. Tetapi banyak peternak  masih mengabaikan masalah lingkungan, sehingga  masyarakat banyak yang mengeluhkan keberadaan usaha peternakan tersebut. Selain menimbulkan dampak pencemaran lingkungan seperti polusi udara (bau), banyaknya lalat yang berkeliaran di kandang dan lingkungan sekitarnya, dan  ketakutan masyarakat akan virus Avian Influenza atau flu burung (H5N1). Untuk mengatasi dampak usaha peternakan tersebut dapat dilakukan dengan cara pemberian zeolit pada pakan, penambahan  kapur pada kotoran dan penggunaan mikroba probiotik starbio pada pada pakan sehingga kadar amonia menurun sehingga dapat mengurangi bau yang tidak enak, untuk mengurangi keberadaan  lalat bisa dengan dengan menjaga kebersihan kandang, dan bisa diberantas dengan cara biologis, kimiawi,elektrik dan tehnik. Sedangkan untuk mencegah terjangkitnya virus flu burung bias dilakukan dengan mengurangi kontaminasi dengan unggas, alat dan bahan yang dicurigai tercemar virus, cuci tangan dengan sabun dan sikat, memakai masker, menggunakan pelindung wajah, pakaian pelindung, sarung tangan, dan sepatu boot.
Kata kunci: Broiler, bau, lalat, flu burung
Pendahuluan
Usaha peternakan ayam broiler mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan karena tingginya permintaan masyarakat akan daging. Uasaha peternakan ayam ini juga memberikan keuntungan yang tinggi dan bisa menjadi sumber pendapatan bagi peternak ayam broiler tersebut. Akan tetapi, peternak dalam menjalankan usahanya masih mengabaikan aspek-aspek  AMDAL.
AMDAL merupakan kajian dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, dibuat pada tahap perencanaan dan digunakan untuk pengambilan keputusan. Hal-hal yang dikaji dalam proses AMDAL antara lain: aspek fisik-kimia, ekologi, sosial-ekonomi, sosial budaya dan kesehatan masyarakat sebagai pelengkap studi kelayakan suatu rencana usaha dan atau kesehatan. Secara umum AMDAL bertujuan untuk menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan serta menekan pencemaran sehingga dampak negatifnya kecil (Setyowati, 2008).
Akhir-akhir ini usaha peternakan ayam dituding sebagai usaha yang ikut mencemari lingkungan (Fauziah, 2009). Menurut Setyowati (2008), banyaknya peternakan ayam yang berada di lingkungan masyarakat dirasakan mulai mengganggu oleh warga terutama peternakan ayam yang lokasinya dekat dengan pemukiman penduduk. Masyarakat banyak mengeluhkan dampak buruk dari kegiatan usaha peternakan ayam karena masih banyak peternak yang mengabaikan penanganan limbah dari usahanya. Limbah peternakan yang berupa feses, dan sisa pakan serta air dari pembersihan ternak dan kandang menimbulkan pencemaran lingkungan masyarakat di sekitar lokasi peternakan tersebut.
Dari uraian di atas, yang menjadi permasalahan adalah peternak dalam menjalankan usahanya masih mengabaikan aspek-aspek AMDAL, sehinggga menimbulkan dampak pencemran lingkungan. Untuk itu diperlukan upaya yang tepat untuk dapat mengatasi dampak pencemaran lingkungan dari usaha peternakan ayam broiler sehingga keberadaannya tidak mengganggu masyarakat. Tujuan penulisan ini adalah untuk menelaah dampak yang ditimbulkan dari usaha peternakan ayam boiler.
Dampak Usaha Peternakan Ayam Broiler
Polusi Udara (bau)
Polusi udara (bau) sangat mengganggu masyarakat yang ada di sekitar kandang peternakan ayam. Hal ini dikarenakan kurangnya manajemen dalam pengelolaan limbah dan lalu lintas ayam pasca panen. Sebagai contoh keberadaan Sembilan peternakan ayam yang berada di desa Bandar Jaya, Karang Patri, Sumber Sari, Sumber Reja, Karang Segar, dan desa Karang Harja di Kecamatan Pebayuran Kabupaten Bekasi sangat meresahkan warga karena limbah peternakan ayam tersebut menimbulkan bau yang tidak sedap (Anonimous, 2010).
Bau yang tidak sedap ini berasal dari kandungan gas amonia yang tinggi yang terbentuk dari penumpukan feses yang masih basah dalam kondisi anaerob. Gas amonia mempunyai pengaruh buruk terhadap manusia dan ternak, hal ini dapat di lihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Pengaruh gas amonia pada manusia dan ternak
Kadar ammonia (ppm)
Gejala/pengaruh yang ditimbulkan pada manusia dan ternak
5
Kadar paling rendah yang tercium baunya
6
Mulai timbul iritasi pada mukosa mata dan saluran napas
11
Penurunan produktivitas ayam
25
Kadar maksimum yang dapat ditolerir selama 8 jam
35
Kadar maksimum yang dapat ditolerir selama 10 jam
40
Mulai menyebabkan sakit kepala, mual, hilang nafsu makan pada manusia
50
Penurunan drastis produktivitas ayam dan terjadi pembengkakkan
Fabricious
Sumber: Setiawan (1996)
Ada banyak cara untuk mengatasi permasalahan bau yang ditimbulkan feses ayam broiler antara lain: penggunaan zeolit pada pakan, penambahan kapur pada kotoran dan penggunaan mikroba probiotik starbio pada pakan. Penggunaan zeolit lebih dari 4% dalam pakan, memberikan kemungkinan yang lebih besar dalam menurunkan pembentukan gas amonia, tetapi perlu diperhatikan efek samping dari penggunaan zeolit yang lebih tinggi (Fauziah, 2009). Penambahan kapur 1% dan 3% pada kotoran ayam dapat mengurangi gas amonia. Sedangkan penggunaan mikroba starbio sebanyak 0,025%-0,05% pada pakan dapat menurunkan kadar amonia dilingkungan kandang (Zainuddin et.al.,1994). Untuk menurunkan bau kotoran ayam dan mengurangi kepadatan lalat bisa menggunakan Effective Organisme Sucimanah (2002).
Permasalahan bau juga dapat diatasi dengan memanfaatkan limbah ternak berupa kotoran ayam yang dapat diolah menjadi biogas dan pupuk. Setiap usaha peternakan baik itu berupa sapi, ayam, kambing, kuda maupun babi akan menghasilkan kotoran yang memiliki kandungan unsur hara yang tinggi, sehingga banyak petani menggunakannya sebagai pupuk dasar. Kotoran yang dihasilkan oleh ternak ada dua macam yaitu pupuk kandang segar dan pupuk yang telah membusuk. Pupuk kandang segar adalah kotoran yang dikeluarkan oleh ternak sebagai sisa proses makanan yang disertai urine dan sisa-sisa makanan sedangkan pupuk kandang yang telah membusuk adalah pupuk kandang yang telah disimpan lama sehingga telah mengalami proses pembusukan atau penguraian oleh jasad renik (mikroorganisme) yang ada dalam permukaan tanah Wibowo (2010).
Pupuk kandang sangat bermanfaat bagi para petani karena memiki keunggulan: menambah zat atau unsur hara dalam tanah, mempertinggi kandungan humus di dalam tanah, mampu memperbaiki struktur tanah, dan mendorong atau memacu aktivitas kehidupan jasad renik dalam tanah.
Gasbio adalah campuran beberapa gas, tergolong bahan bakar gas yng merupakan hsil fermentasi dari bahan organik dalam kondisi anaerob, dan gas yang dominan adalah gas metan (CH4) dan gas karbondioksida (CO2). Produksi gas bio dapat digunakan untuk memasak, penerangan, menyetrika dan menjalankan lemari es. Pembentukan gasbio melalui tiga tahap dan pada situasi anaerob yaitu tahap hidrolisis, tahap pengasaman, dan tahap metanogenik. Pada tahap hidrolisis terjadi pelarutan bahan organik dan pencernakan bahan organic yang komplek menjadi sederhana, perubahan bentuk primer menjadi monomer. Pada tahap pengasaman komponen monomer akan menjadi bahan makanan bakteri pembentuk asam, sehingga menghasilakan asam asetat, propionate, format, laktat, alcohol dan sedikit butirat, gas karbondioksida, hydrogen dan amonoak (Anonimus, 2009).
Timbulnya Lalat yang Banyak
Lalat timbul karena kurangnya kebersihan kandang ayam. Lalat adalah jenis serangga yang berasal dari subordo Cyclorrapha ordo Diptera. Lalat ini dapat menimbulkan berbagai masalah seperti mediator perpindahan penyakit dari ayam yang sakit ke ayam yang sehat, mengganggu pekerja kandang, menurunkan produksi, mencairkan feses atau kotoran ayam yang berakibat meningkatnya kadar amonia dalam kandang (Dedy, 2010). Lalat juga meresahkan masyarakat yang tinggal di pemukiman yang dekat dengan peternakan  sehingga menimbulkan protes warga. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk mengurangi keberadaan lalat.
Ada banyak jenis lalat yang ada di permukaan bumi ini, tapi yang paling banyak merugikan manusia adalah jenis lalat rumah (musa domestika), lalat hijau (lucilia), lalat biru (calliphora vumituria), dan lalat latrine (fannia cunicularis). Selain mengganggu pemandangan lalat juga menimbulkan banyak berbagai penyakit misalnya; desentri, diare, thypoid dan colera. Penyebaran bibit dari berbagai penyakit itu hampir sama yaitu dibawa oleh lalat yang berasal dari  sampah, kotoran manusia atau hewan, terutama melalui bulu-bulu badannya, kaki dan bagian tubuh yang lain dari lalat lalu hinggap pada makanan manusia. Umumnya gejala dari penyakit ini adalah perut sakit, gangguan pada usus, demam tinggi, sakit kepala dan berak darah
Menurut Lili (2010), keberadaan lalat dapat diberantas dengan cara biologis, kimiawi, elektrik dan tekhnis. Secara biologis yaitu pemberantasan yang melibatkan makhluk lainnya yang merupakan predator lalat, contohnya kumbang parasit, lebah. Cara biologis lainnya dengan menggunakan hormone serangga sintesis yang dicampurkan ke dalam pakan ternak. Pemberantasan lalat secara kimiawi dengan menggunakan berbagai macam racun serangga yang efektif dalam membunuh lalat. Secara elektrik yaitu dengan menggunakan lampu neon yang memiliki daya tarik pandangan lalat, sehingga lalat yang mendekati lampu akan tersetrum aliran listrik dan mati. Sedangkan secara teknis yaitu menggunakan alat penangkap lalat yang paling sederhana hingga modern. Selain usaha tersebut di atas, menurut Dedy (2010) keberadaan lalat  juga dapat diatasi dengan memelihara kotoran ayam agar tetap kering dan secara mekanik yaitu dengan biosekuriti yang meliputi manajemen kebersihan (pembersihan dan disenfeksi kandang, terutama setelah panen) dan manajemen sampah (pembuangan litter, kotoran dan bangkai ayam).
Kekhawatiran menyebarnya virus flu burung Avian Infuenza (H5N1)
Perijinan pendirian peternakan akan semakin sulit diperoleh, karena takut akan terjangkitnya virus flu burung. Peternak dan masyarakat umum perlu diberikan pengarahan mengenai pedoman, pencegahan, pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan menular Influenza pada unggas. Sehingga dapat diambil tindakan secara dini bila dilaporkan adanya unggas yang mati akibat virus Avian Influenza (AI). Flu Burung (Avian Influenza) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus yang biasanya menjangkiti burung dan manusia (Anonimous,2008).
Menurut Pambudi (2010), gelala-gejala flu burung pada unggas adalah sebagai berikut; terjadi pembengkakan pada jengger, pial dan kelopak mata; warna kebiruan (sianosis)pada jengger dan pial; perdarahandi bawah kulit pada daerah kaki (tungkai, telapak kaki) dan bagian badanyang tidak berbulu sehingga tampak kemerah-merahan; keluar cairan (eksudat) dari hidung yang jernih dan kadang-kadang bercampur dengan darah; perdarahan titik (petechie) pada daerah dada, kaki dan telapak kaki; batuk bersin dan ada suara ngorok; kadang kala unggas mengalami diare; penurunan produksi telur atau berhenti berproduksi; dan penurunan nafsu makan.
Penyebab flu burung pada unggas adalah virus influenza tipe A. Virus ini termasuk family Orthomyxoviridae dari genus influenza. Pada manusia virus flu burung yang mempunyai tingkat kemampuan mematikannya tinggi atau High Pathogenic Avian influenza (HPAI)  H5N1. Penyakit ini diidentifikasi pertama kali di Itali lebih dari 100 tahun yang lalu. Di Indonesia kasus flu burung pada manusia terjadi pada januari 2004. Penyebaran kasus flu burung dapat dilihat pada table 2.
Tabel 2. Penyebaran Kasus Flu burung menurut WHO Sampai Juni 2007
Negara
Jumlah Kasus
Jumlah Kematian
Indonesia
99
79
Vietnam
93
42
Mesir
34
14
Thailand
25
17
Republik Rakyat Cina
25
16
Turki
12
4
Azerbaijan
8
5
Kamboja
7
7
Irak
3
2
Laos
2
2
Nigeria
1
1
Djibouti
1
0
Jumlah
310
189
Secara umum gejala manusia yang terinfeksi flu burung ialah demam tinggi, keluhan pernafasan dan perut, nyeri otot, sakit tenggorokan, batuk dan sesak nafas. Menurut Anonimous (2009), apabila dalam 7 hari terakhir kontak kontak dengan unggas di peternakan terutama jika jika unggas tersebut sakit atau mati, dalam perkembangannya kondisi tubuh sangat cepat menurun drastis, bila tidak segera ditolong korban bisa meninggal karena komplikasi (gagal nafas dan gangguan fungsi tubuh lainnya).
Pengobatan manusia yang terinfeksi flu burung adalah dengan cara pengobatan antiviral yaitu dengan pemberian anti virus dan penurun panas. Di antara anti virus yang dapat dipakai adalah jenis yang menghambat replikasi dari neuramidaseantara lain Oseltamivir (Tamiflu) dan Zanamivir.
Selain usaha pengobatan diatas, menurut Namia (2010), usaha untuk pencegahan penyebaran virus  flu burung ini adalah dengan cara menjaga kesehatan makanan, cuci tangan dengan air sabun  setelah kontak dengan unggas dan produk unggas lainya baik sebelum makan maupun sesudah makan, beli unggas yang sehat, jangan makan darah mentah, daging atau telur unggas setengah matang, jangan menyembelih unggas sakit, jangan makan unggas mati atau sakit, hindari kontak dengan sumber yang terinfeksi, jangan biarkan anak-anak bermain di dekat kandang, jangan biarakan unggas berkeliaran di dalam rumah, gunakan masker atau sarung tangan saat kontak atau menyemblih unggas, kubur limbah unggas (bulu, jeroan dan darah). Jadi apabila ditemukan orang yang mengalami gejala-gejala yang sama seperti yang disebutkan di atas disarankan segera konsultasi dengan dokter.
Kesimpulan
Usaha peternakan ayam broiler selain mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan juga mempunyai dampak yang yang berbahaya bagi masyarakat di sekitar kandang. Hal ini karena usaha ayam dapat menimbulkan polusi udara (bau), banyaknya lalat yang berkeliaran di kandang dan sekitarnya, dan kekhawatiran masyarakat akan virus flu burung. Untuk itu diperlukan usaha yang tepat untuk mengatasi masalah dampak yang ditimbulkan yaitu dengan menjaga kebersihan, penambahan zeolit dan  srarbio probiotik pada pakan, penambahan kapur pada kotoran, memanfaatkan limbah peternakan , dan biosekurity yang baik.
Ucapan Terima Kasih
Setelah penyelesaian penulisan Telaah Pustaka ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1.      Prof. Ir. Urip Santoso, S. IKom., M.Sc., Ph.D selaku dosen pengasuh mata kuliah Penyajian Imiah yang telah memberikan saran dan masukan sehingga penulisan Telaah Pustaka ini selesai.
2.      Heri Damayanti S.Pt yang telah membantu dalam pencarian literatur sehingga penulisan Telaah Pustaka ini selesai.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 2009. Apakah flu burung. http://goldgamat.com/info-gamat/apakah -flu-burung.htm (15 september 2010).
Anonimous.2009.Flu burung pada manusia. http://feverclinic.wordpress.com/2009/ 07/31/flu-burung-pada-manusia (15 september 2010).
Anonimous. 2009. Pencemaran akibat limbah peternakan dan penanganannya. http://kalimantankita.blogspot.com/2009/05/pencemaran-akibat-limbah-peternakan.html (15 september 2010).
Anonimous. 2010. Serangan lalat dari peternakan ayam resahkan warga Pebayuran. http://www.pikiran-rakyat.com/node/112932 (15 september 2010).
Dedy. 2010. Mengenal parasit lalat. http://dedykoe.blogspot.com/2010/02/mengenal-parasit-lalat.html (15 september 2010).
Fauziah. 2009. Upaya pengelolaan lingkungan usaha peternakan ayam. http://uwityangyoyo.wordpress.com/2009/04/13/upaya-pengelolaan-lingkungan-usaha-peternakan-ayam/ (15 september 2010).
Irawan Agus, HSP.  1995. Menanggulangi Berbagai Penyakit Ayam, memberantas, mencegah, dan mengobati penyakit ayam. Aneka. Solo.
Lili, N.C. 2010. Memberantas lalat di peternakan ayam. http://groups.yahoo.com/group/lingkungan/message/12632 (4 September 2010)
Namia,I.,G.,G. 2010. Pencegahan flu burung (H5N1) pada unggas dan manusia. http://denpasarkota.go.id/main.php?act=1opi&xid=67 (4 September 20100.
Setiawan, H. 1996. Amonia sumber pencemaran yang meresahkan dalam: Infovet (Informasi Dunia Kesehatan Hewan) Edisi 037. Agustus Hal 12.
Setyowati, A. Lia. 2008. AMDAL dan peternakan ayam. http://liasetyowati.blogspot.com/2008/01/amdal-dan-peternakan-ayam.html   (15 September 2010).
Sihombing D,T,H.2002. Tehnik pengelolan limbah kegiatan usaha peternakan. Puasat penelitian lingkungan hidup. Institut Pertanian Bogor
Sucimanah. 2002. Efectivitas  effective mikroorganisme (EM) terhadap penurunan tingkat kepadatan lalat dan bau kotoran ayam di peternakan desa Kali Balik Kecamatan Limpung Kabupaten Batang.  http://fkm.undip.ac.id (15 September 2010)
Wibowo, A,S. 2010. Pemanfaatan limbah peternakan untuk kesuburan tanah. http://facebook.com/topic.php?vid=90951128900&topic=10844 (15 September 2010)
Zainuddin, D., K. Dwiyanto dan Suharto. 1994. Penggunaan probiotik starbio (mikroba starter) dalam ransum ayam pedaging terhadap produktivitas, nilai, ekonomis (IOFC) dan kadar amonia lingkungan kandang. Prosiding Pertemuan Nasional Pengolahan dan Komunikasi Hasil-Hasil Penelitian. Sub Balai Penelitian Ternak Klepu, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian hal.159-165. 1994.


STRATEGI PENGELOLAN KAWASAN HUTAN TWA BUKIT KABA DALAM MENGATASI DAMPAK NEGATIF PEMBANGUNAN DAERAH

Posted by uwityangyoyo on September 28, 2010
OLEH : DAVIT HUTA HAYAN (NPM. E2A010012)
ABSTRAK
Taman Wisata Alam Bukit Kaba yang telah dianugerahkan kepada masyarakat Rejang Lebong dan Kepahyang adalah merupakan asset yang memiliki nilai yang tak terhingga baik secara ekologis, ekonomi, maupun nilai edukasi karena itu keutuhan dan kelestarian kawasan hutan konservasi harus benar-benar dijaga
Bahwa lestarinya  keutuhan kawasan konservasi TWA Bukit Kaba dan kawasan Hutang Lindung lainnya merupakan ”benteng terakhir”  yang dapat menjamin terjaganya kabupaten Rejang Lebong dan Kabupaten Kepahiang dengan segala potensi  yang ada didalamnya  dari ancaman bencana alam berupa banjir bandang, erosi, longsor, serta menurunnya kualitas lingkungan hidup
Akan tetapi keberadaan TWA Bukit Kaba yang bernilai tinggi sebagai penyangga kehidupan, sumber plasma nutfah dan wisata alam potensial, kondisi sekarang menghadapi permasalahan dengan tingginya tingkat gangguan dan ancaman terhadap keutuhan kawasan  terutama  dalam bentuk mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki  kawasan hutan secara tidak sah,  merambah kawasan hutan, illegal logging, dan  perburuan satwa   yang dilakukan oleh oknum masyarakat  yang  tidak bernurani dan yang menjadi isu aktual sekarang adanya dampak negatif  Pembangunan Daerah terhadap keberadaan dan kelestarian kawasan konservasi terutama kawasan TWA Bukit Kaba.
Atas permasalahan tersebut maka dipandang perlu terselenggaranya pelaksanaan  pengendalian dan pengelolaan kawasan TWA Bukit Kaba yang berupa Pemantapan Status Kawasan Konservasi, Perlindungan dan Pengamanan Hutan Serta Pengelolaan Potensi Kawasan Konservasi, sehingga dengan mengupayakan secara optimal ketiga komponen inilah maka diharapkan kedepan kawasan TWA Bukit Kaba dapat lebih terjaga dan lestari dari segala bentuk ancaman dan gangguan atas keutuhan kawasan konservasi.
PENDAHULUAN
Pembangunan disektor kehutanan di Propinsi Bengkulu, khususnya pengelolaan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya baik di dalam  dan diluar kawasan, semakin menjadi bagian penting dalam pelestarian kualitas lingkungan hidup manusia  dan pengembangan pembangunan.  (Balai KSDA Bengkulu, 2005)
Menurut Wiryono (2009) secara Ekologi, hutan adalah suatu ekosistem yang terdiri dari komponen abiotik seperti udara, air dan tanah, dan komponen biotik yang terdiri dari tumbuhanh, hewan, jamur dan mikroorganisme. Nilai ekologis hutan yang tidak terukur antara lain yaitu : (1). menjamin terpeliharanya proses ekologis yang menunjang sistem penyangga kehidupan bagi kelangsungan pembangunan dan kesejahteraan manusia (perlindungan sistem penyangga kehidupan); (2). menjamin terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik dan tipe-tipe ekosistemnya sehingga mampu menunjang pembangunan, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang memungkinkan pemenuhan kebutuhan manusia yang menggunakan sumber daya alam hayati bagi kesejahteraan (pengawetan sumber plasma nutfah).
Nilai ekonomi yang juga terkandung di dalam kawasan Bukit Kaba adalah berupa kawah aktif dan lautan pasir yang memiliki nilai keindahan sangat menakjubkan yang  didukung oleh potensi berupa panorama alam sekitarnya berupa ekosistem khas pegunungan serta kehidupan satwa liar. Secara keseluruhan potensi tersebut merupakan anugerah bagi masyarakat Rejang Lebong dan Kepahiang melalui Permanfaat Jasa Lingkungan Pariwisata Alam. Bahwa perekonomian masyarakat akan makin menggeliat melalui penyerapan tenaga kerja, jasa rumah makan, jasa rumah suvenir, pemondokan tradisionmal, pasar tradisional hasil pertanian,  jasa tranportasi, dll. .  (Balai KSDA Bengkulu, 2008)
Hutan Konservasi adalah hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya (Undang-undang 41 tahun 1999 tentang Kehutanan). Berdasarkan Surat keputusan menteri Kehutanan dan perkebunan nomor : 420/kpts-II/1999 tanggal 15 Juni 1999 tentang penunjukan kawasan hutan wilayah propinsi Daerah Tingkat I Bengkulu seluas 920.964 ha, dimana hutan konservasi seluas 444.882 ha sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur Nomor : 308 tahun 1998, tentang hasil pemaduserasian antara Rencana Tata guna Ruang Wilayah dengan Tata guna Hutan Kesepakatan Propinsi daerah Tingkat I Bengkulu.
Dalam mewujudkan sasaran yang hendak dicapai yaitu tercapainya pengelolaan kawasan konservasi yang aman, mantap dan lestari masih belum optimal,  fakta dilapangan masih dihadapkan pada permasalahan tingginya tingkat gangguan terhadap keutuhan kawasan  terutama dalam bentuk mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki  kewasan secara tidak sah,  merambah kawasan hutan, illegal logging, dan  perburuan satwa   yang dilakukan oleh oknum masyarakat  yang  tidak bernurani.(Balai KSDA Bengkulu, 2008)
Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Bengkulu merupakan Unit Pelaksana Teknis Pusat, yang bertugas sebagai pemangku kawasan konservasi di Propinsi Bengkulu. Jumlah kawasan konservasi yang dikelola yaitu sebanyak 33 lokasi dengan luas 45.344,60 Ha. terdiri dari Taman Buruh, Cagar Alam, Taman Wisata Alam, Hutan Produksi, dengan fungsi Khusus Pusat Latihan Gajah dikelola. Lokasi ini tersebar di seluruh wilayah Propinsi Bengkulu. satu diantara sekian banyak kawasan konservasi tersebut adalah  TWA  Bukit Kaba yang terletak di Kabupaten Rejang Lebong dan Kabupaten Kepahiyang Propinsi Bengkulu. Taman Wisata Alam adalah kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam (UU No 5 tahun 1990)
I.    KEADAAN UMUM  TAMAN WISATA ALAM  (TWA) BUKIT KABA
1. Sejarah Kawasan
TWA Bukit Kaba  adalah kawasan hutan yang ditetapkan sebagai kawasan hutan suaka alam, untuk melindungi keanekaragaman hayati ekosistem hutan dataran rendah dan dataran tinggi. Penunjukan kawasan hutan ini sebagai kawasan hutan ditetapkan melalui SK Penunjukan oleh Menhut No. 383/Kpts-II/1985 tanggal 27 Desember 1985 tentang Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Selanjutnya terjadi perubahan status Hutan Lindung Bukit Kaba seluas 13.490 Ha menjadi hutan wisata melalui SK Menhut No. 166/Kpts-11/1986 tanggal 29 Mei 1986.
Penataan batas kawasan telah dilakukan pada tahun 1987/1988, dengan berita acara ditandatangani tanggal 30 Juni 1990 dan pengesahan tanggal 18 Maret 1992. Panjang batas TWA Bukit Kaba adalah 82.3 km yang ditandai dengan pemasangan 820 buah pal beton bertulang. Selain itu juga telah dipasang seng pengumuman sebanyak 410 buah dan seng penunjuk pal 820 buah. (Balai KSDA Bengkulu.2002)
Keberadaa TWA Bukit Kaba berperan sangat penting untuk menopang kelangsungan hidup masyarakat dan kelestarian alam baik ditinjau dari aspek biologi, ekologi, geologi, hidrologi maupun aspek kultural. Ditinjau dari aspek biologi, TWA merupakan habitat flora dan fauna khas hutan pegunungan. (Balai KSDA Bengkulu.2005)
2.    Kondisi Fisik Kawasan
a. Letak dan Luas
Secara geografis kawasan hutan TWA Bukit Kaba terletak diantara  102o 35’-  102o 45’ Bujur Timur dan 03o30’ – 03o37’ Lintang Selatan. Kawasan TWA Bukit Kaba memiliki panjang  batas 82.3 km dan luas 13.490 Ha. Berdasarkan pembagian administrasi pemerintah, kawasan hutan ini terletak di 2 (dua) wilayah kabupaten yakni Kabupaten Kepahiang dan Kabupaten Rejang Lebong Propinsi Bengkulu. Berdasarkan pembagian wilayah pewmangkuan kawasan termasuk dalam wilayah kerja Seksi Konservasi Wilayah I Balai KSDA Bengkulu. (Balai KSDA Bengkulu.2002)
b. Geologi dan Jenis Tanah
Berdasarkan Peta Geologi Propinsi Bengkulu skala 1 : 500.000 struktur geologi di kawasan TWA Bukit Kaba, dapat diketahui bahwa bahan induk batuan  pada kawasan hutan ini adalah Trias, Tupa Vulkan, Granit dan Dioris. Berdasarkan Peta Tanah Propinsi Bengkulu skala 1 : 500.000, diketahui jenis satuan tanah adalah Lotosol, Andosol, dan Brown Forest Soil.
c. Iklim
Berdasarkan pembagian tipe iklim menurut F.H Schmidt dan Ferguson di daerah TWA Bukit Kaba, termasuk tipe iklim A, dengan jumlah curah hujan tinggi. Berdasarkan Data Statistik Kabupaten Rejang Lebong, suhu rata-rata maksimum di Kabupaten ini antara 30 – 33oC dan rata-rata suhu minimum antara 22 – 23 oc, sedangkan kelembaban rata-rata  antara 80-88 %.
d. Topografi
Keadaan Geografi kawasan hutan TWA Bukit Kaba adalah datar, bergelombang, berbukit-bukit dan sebagian mempunyai dataran tinggi. Ketinggian kawasan dari permukaan laut adalah antara 700 sampai dengan 2000 meter dpl. Kondisi sekarang yaitu kawasan berhutan 2.910 Ha, dan tidak berhutan 10.580 Ha ( Citra Landsat 1998).
e. Hidrologi
Kawasan TWA Buki Kaba merupakan hulu dari banyak sungai yaitu Air Kati, Air Dingin, Air Tidaun, Air Sengkuang, Air Susup Kiri dan Air Donok.
(Balai KSDA Bengkulu.2002)
f. Aksesibilitas
Akses untuk mencapai TWA Bukit Kaba dapat dikatakan mudah. Untuk mencapai lokasi tersebut dari Kota Bengkulu bisa mempergunakan kenderaan roda empat maupun roda dua sampai desa terdekat. Kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki melewati jalan setapak. Dari Bengkulu melalui jalan darat dengan kendaraan menuju Curup kecamatan Selupu Rejang (simpang Bukit Kaba) selama ±  3 jam dengan jarak tempuh ± 100 km.
3. Keadaan Biotik Kawasan
Kawasan TWA Bukit Kaba dipenuhi oleh keanekaragaman hayati yang tinggi. Flora yang tumbuh di sekitar kawasan tersebut antara lain jenis Pasang, Umbi-umbian, Pandan Duri, bunga Rafflesia arnoldi, Amorphopalus titanum (bunga Bangkai). Sedangkan beberapa fauna yang mendiami lokasi ini adalah Bunglon, Tupai, Berung Tanah, Monyet, Musang, Siamang, Beruk, Burung Raja Udang, Burung Robin, Burung Sirkawan, Burung Kutilang Mas, Burung Elang, dan Cekruk.
(Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. 1999)
  1. Kondisi Sosial Ekonomi Budaya
Berdasarkan data yang disusun oleh  Badan Pusat Statistik Kabupaten Rejang Lebong dalam buku  Rejang Lebong Angka Tahun 2009, bahwa kawasan  TWA Bukit Kaba secara administrasi terletak dalam Kabupaten Kepahiang dan Kabupaten Rejang Lebong Propinsi Bengkulu. Mata pencaharian masyarakat sekitar kawasan umumnya adalah sebagai petani, pedagang dan pegawai negeri. Dari segi pendidikan, penduduk yang ada disekitar kawasan umumnya memiliki tingkat pendidikan sekolah dasar sampai perguruan tinggi, kebanyakan penduduk beragama Islam.

II.     PERMASALAHAN KAWASAN HUTAN TWA BUKIT KABA

1. Kerusakan Kawasan TWA bukit Kaba akibat dari Pembangunan Daerah
Wilayah kabupaten Rejang Lebong yang berbatasan  langsung dengan kawasan TWA Bukit Kaba terdiri dari beberapa kecamatan antara lain kecamatan Sindang Dataran, Sindang Kelingi, Selupu Rejang dan Curup. Sedangkan Wilayah kabupaten Kepahiang yang berbatasan  langsung dengan kawasan TWA Bukit Kaba antara lain kecamatan Ujan Mas, Kaba Wetan, Muara Kemumu, Simpang Merigi dan Bermani Ilir. Dari dua kabupaten tersebut desa-desa yang mengelilingi kawasan TWA Bukit Kaba  ±  terdapat  25 – 30 desa (Balai KSDA Bengkulu. 2005)
Secara umum masyarakat yang pemukimannya berbatasan langsung dengan kawasan bermatapencaharian sebagai petani, yaitu petani palawija, sayur mayur dan kopi, dengan makin pesatnya pertumbuhan populasi penduduk seiring dengan makin pesatnya pembangunan infrastruktur sebagai dampak dari pemekaran wilayah kabupaten.
Sebagaimana dicemaskan oleh banyak kalangan, persoalan lingkungan di Indonesia akan semakin berat karena krisis ekonomi yang berkepanjangan. Dikhawatirkan bahwa proses-proses eksploitasi sumberdaya alam di Indonesia semakin tidak terkendali dan disyahkan dengan dalih pemulihan ekonomi nasional yang terpuruk (Bruce, Setiawan dan Dwita.2000)
Isu aktual paling mengemuka, kekhalayakan dan problematik  yang melanda hampir keseluruhan bentang alam kawasan Taman Wisata Alam Bukit Kaba adalah tingginya tingkat gangguan dan ancaman terhadap keutuhan  kawasan hutan dalam bentuk : .  (Balai KSDA Bengkulu, 2008)
1.      Pemekaran kecamatan dan desa sebagai sebab akibat pemekaran kabupaten berdampak pada perluasan pemukiman pendudukan yang dengan menghalalkan segala cara melakukan pendudukan  kawasan  secara tidak sah sebagai ruang hunian pemukiman, bahkan diantaranya  terdapat beberapa desa yang tata letaknya masuk di dalam kawasan, seperti desa Ranah Kurung, desa Kepahiang Indah, desa Air Les, desa Talang Belitar (sebagian), desa IV Suku Menanti (sebagian), desa Bengko (sebagian), desa Warung Pojok (sebagian), inilah salah satu yang menjadi permasalah besar yang mengancam kelestarian kawasan TWA Bukit Kaba. (Balai KSDA Bengkulu, 2008)
2.       Makin meningkatnya daya desak penduduk  menggunakan dan atau menduduki dan atau merambah kawasan secara tidak sah dengan dalih  kepentingan ekonomi.   Secara umum mereka mengolah lahan kawasan untuk digunakan sebagai kebun kopi dan hortikultura.
3.      Pembangunan fisik dalam rangka perimbangan hidupan sosial masyarakat di wilayah pemukiman desa pemekaran antara lain dibangunnya fasilitas umum sekitar desa dalam kawasan,  yaitu berupa  Rumah-rumah  Ibadah,  Sekolah Dasar,  SLTP, Kantor Desa, Kantor Kecamatan, Puskesmas, pasar dan jalan yang membelah kawasan TWA Bukit Kaba dari desa Bandung Baru (kepahyang) ke desa Bengko (Rejang Lebong).
4.     Makin meningkatnya kebutuhan material kayu untuk memenuhi pembangunan fisik infrastruktur  dan pemukiman maka dimanfaatkan oleh para oknum yang tidak bernurani untuk melakukan aksi pembalakan liar di dalam kawasan.
2. Perambahan Areal TWA
Penampakan fakta dilapangan membuktikan bahwa telah terjadi perubahan kondisi fisik bentang alam dimana ekosistem asli berubah menjadi hamparan perkebunan kopi dan pertanian secara umum, pemukiman, dan fasilitas umum.  Pembiaran terhadap aksi kejahatan konservasi yeng berupa  mengerjakan, menggunakan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah, serta perambahan dipastikan berdampak pada makin merosotnya fungsi dan manfaat hutan yang berperan sebagai perlindungan wilayah sistem penyangga kehidupan, yang berakibat pada  terancamnya  keselamatan nyawa manusia secara massal.
Kerusakan kawasan hutan TWA banyak terjadi akibat aktifitas penduduk dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Kegiatan yang dilakukan diantaranya yaitu perambahan, perladangan berpindah, serta eksploitasi hutan. Tingkat kerusakan semakin tinggi seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk sekitar hutan, tuntutan ekonomi yang semakin tinggi serta pemahaman dan kesadaran masyarakat yang masih rendah tentang arti pentingnya keberadaan TWA, menyebabkan tekanan terhadap TWA semakin hebat. Oleh karena itu, perlu disusun kegiatan pengelolaan yang tepat.
3. Kerusakan Vegetasi dan Kepunahan Fauna
Sebagian wilayah TWA telah mengalami kerusakan vegetasi yang cukup parah. Kerusakan ini terjadi baik karena kepunahan beberapa jenis maupun karena pengurangan jumlah. Bahkan lebih ekstrim lagi karena hal ini menyebabkan pada beberapa tempat tidak ditemukan vegetasi dalam bentuk pohon tapi hanya berupa semak,  Fauna juga mengalami kondisi yang sama dengan vegetasi.
4. Kurangnya Intensitas Monitoring Dan Sosialisasi
Survey lapangan memberikan dugaan bahwa secara keseluruhan dapat dikatakan kegiatan monitoring dan sosialisasi TWA masih perlu ditingkatkan. Monitoring dengan tujuan menjaga keutuhan kawasan masih belum seperti yang diharapkan. Terbukti pada beberapa lokasi telah terjadi perambahan dan terdeteksi oleh pihak yang berwenang setelah tanaman masyarakat telah berumur beberapa waktu bahkan mungkin telah siap panen.
Seiring dengan hal tersebut, masyarakat dibeberapa tempatpun belum memahami makna TWA sebagaimana mestinya. Masyarakat sekitar belum mengerti tentang apa fungsi dan tujuan penetapan TWA serta informasi-informasi lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa kegiatan sosialisasi masih perlu ditingkatkan.
5. Belum Optimalnya Pengembangan Kepariwisataan Alam
Berdasarkan peruntukanya kawasan TWA Bukit Kaba berfungsi adalah sebagai kawasan wisata alam akan tetapi kondisi sekarang belum dikelola dengan baik sehingga potensi dan keunikan yang dimiliki oleh TWA Bukit Kaba belum dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan objek wisata alam.
III. RENCANA KEGIATAN PENGELOLAAN
A. PEMANTAPAN KAWASAN
1. Tata Batas Kawasan
TWA Bukit Kaba dengan luas 13.490 Ha ditunjuk berdasarkan surat Keputusn Menteri Kehutanan Nomor Menhut No.166/Kpts-II/1986 tanggal 1 Januari 1986 yang kemudian ditunjuk kembali berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 420/Kpts-II/1999 tanggal 15 Juni 1999. Kawasan  TWA Bukit Kaba telah ditata batas oleh Sub Balai Invetarisasi dan perpetaan Hutan Bengkulu pada tahun anggaran 1989/1990 sepanjang 30,9 Km dan sudah temu gelang. (Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 2001)
Adapun kondisi sekarang tanda batas kawasan hutan berupa pal-pal batas kawasan TWA Bukit Kaba dilapangan sudah banyak yang rusak dan hilang akibat dari perambahan hutan dan illegal loging, karena itulah perlu segera dilakukan penataan batas ulang / rekontruksi batas kawasan TWA Bukit Kaba agar terdapat kepastian batas dan fungsi kawasan serta untuk menjamin kepastian hukum dalam pengelolaan dan pembinaan kawasan.
Tanda batas berupa pal-pal batas dari beton dengan jarak masing-masing 500 meter dan pada daerah-daerah yang mudah dan sering dimasuki pengunjung ataupun pada daerah-daerah yang rawan dipasang papan-papan nama / informasi / larangan. (Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 2001)
2. Pembagian Blok Kawasan
Pembagian kawasan pelestarian alam atas blok-blok pengelolaan merupakam suatu kebijaksanaan pemantapan kawasan dalam rangka optimalisasi pengelolaan sesuai dengan fungsi dan peruntukkannya. Pada pengelolaan kawasan Taman Wisata Alam dibagi menjadi dua blok yaitu blok pemanfaatan dan blok perlindungan, yang pembagiannya didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan keadaan fisik lapangan, potensi sumber daya alam serta pertimbangan teknis, ekologis dan ekonomis. Blok pemanfaatan merupakan kawasan yang dipergunakan secara intensif untuk rekreasi dan pariwisata. Pembangunan sarana dan prasarana lain untuk kepentingan pengelolaan, rekreasi dan pelayanan. (Peraturan Pemerintah RI. 1994)
Blok pemanfaatan di TWA Bukit Kaba memiliki luas 10.580 Ha. Blok perlindungan merupakan kawasan yang mutlak harus dilindungi untuk kepentingan pengawetan dan pengunjung secara terbatas dapat memanfaatkan untuk kepentingan pengembangan pendidikan dan penelitan. Blok perlindungan di TWA Bukit Kaba memiliki luas 2.910 Ha. Dalam menentukan pembagian kedua blok tersebut melalui pertimbangan teknis yang mengakomodir kesesuaian lahan dan daya dukung lingkungan. (Balai KSDA Bengkulu.2005)
Adapun blok-blok pengelolaan yang direncanakan akan dibuat di kawasan TWA Bukit Kaba adalah sebagai berikut :
a.       Areal pusat pengelolaan
Areal ini terdapat ke dalam kedua blok (pemanfaatan dan perlindungan), berfungsi sebagai pusat kegiatan pengelolaan yang dapat dilengkapi dengan sarana prasarana, antara lain: kantor pengelola, pusat informasi, pos jaga, tempat parkir, pintu gerbang, loket karcis dan pondok karyawan. Areal ini dipusatkan didekat pintu masuk. (Peraturan Pemerintah RI. 1994)
b.      Daerah Pusat Pengunjung
Daerah ini berfungsi sebagai pusat kegiatan wisata yang disediakan bagi pengunjung untuk menikmati obyek-obyek dan daya tarik wisata yang ada. Sarana dan prasarana yang dapat dibangun sesuai dengan kebutuhan dan tata letak yang telah disiapkan diantaranya yaitu shelter, MCK, sarana air, generator, bak sampah, bangku-bangku, areal permainan anak, kios cinderamata, pondok wisata, pondok remaja, ruang serbaguna, pos kesehatan, musholla, bumi perkemahan, menara pengawas, jalan setapak, dan lain-lain. (Peraturan Pemerintah RI. 1994)
c.       Daerah penyangga
Daerah penyangga terletak diluar kawasan TWA, yaitu daerah yang berada disekitar kawasan TWA yang meliputi wilayah pemukiman. Dalam areal penyangga pembangunan harus diawasi dengan baik sehingga kelestarian TWA dapat terjaga. Kegiatan ini harus terkordinasi dengan seluruh stakeholders yang ada. Pada wilayah pemukiman yang terletak di sekitar maupun yang telah masuk kawasan, perlu diadakan pembinaan terhadap masyarakatnya agar dapat menunjang dan berperan aktif dalam kegiatan pariwisata di daerah tersebut. Masyarakat dapat dilibatkan dalam kegiatan pengelolaan wisata alam seperti menjadi pemandu, pengusaha souvenir, dan tenaga kerja di dalam TWA. (Peraturan Pemerintah RI. 1994)
B. PERLINDUNGAN DAN PENGAMANAN HUTAN
1. Gangguan Masyarakat terhadap Kawasan
Untuk menjaga agar tidak terjadi kerusakan akibat gangguan dari masyarakat serta untuk mempertahankan dan melindungi hak-hak negara atas kawasan hutan dan potensi yang terkandung di dalamnya, perlu dilakukan upaya pengamanan kawasan baik yang bersifat preventif maupun represif serta penegakan hukum. Langkah-langkah / Upaya Pengamanan Hutan diantaranya :
1.      Patroli dan Penjagaan
Meningkatkan kegiatan patroli dan penjagaan serta melakukan penandaan terhadap jenis satwa di habitatnya baik di dalam maupun di luar kawasan konservasi.
2.      Operasi Pengamanan
Melakukan kegiatan operasi baik operasi fungsional maupun gabungan di habitatnya serta melakukan operasi gabungan di pasar-pasar satwa dan konsumen.
3.      Sosialisasi
Sosialisasi dilakukan pada setiap lingkup lokasi kasus, baik penyimpanyan yang terjadi di habitat, pengedar, pasar satwa, konsumen, maupun tempat penangkaran.
4.      Pengawasan dan Pengendalian (Wasdal)
Dilakukan kepada para pengedar, ditingkat konsumen maupun ditempat penangkaran.
5.      Koordinasi Lintas Sektoral Terhadap penanganan kasus yang berkaitan
Kawasan TWA Bukit Kaba yang sebagian besar arealnya datar, bergelombang dan berbukit-bukit, sebagian penggunaan lahannya tumpang tindih dengan areal pemukiman penduduk dan pertanian/perkebunan rakyat, yaitu seluas ± 918,9 ha ((42,66%). Dengan demikian dalam pengembangan TWA Bukit Kaba harus dilakukan pendekatan-pendekatan terhadap penduduk setempat dengan cara mengadakan penyuluhan-penyuluhan dan memberikan pemahaman-pemahaman kepada penduduk setempat tentang pentingnya keberadaan TWA Bukit Kaba di wilayah tersebut agar tidak terjadi konflik yang berkepanjangan yang dapat mengganggu kawasan TWA Bukit Kaba.
Untuk mengatasi permasalahan lahan yang tumpang tindih dengan masyarakat dapat dilakukan dengan melakukan relokasi masyarakat ke lokasi lain dan dilakukan pengembangan potensi masyarakat di daerah yang baru, sehingga kegiatan perekonomian dapat lebih baik yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan. Selain itu, kawasan TWA terdapat pula sewa pinjam pakai kawasan hutan untuk jaringan listrik, sehingga dalam pembagian blok kawasan perlu diperhatikan dengan baik agar tidak terjadi kesalahan plotting kawasan inti termasuk ke dalam kawasan yang dipinjampakaikan.(Balai KSDA Bengkulu.2005)
Berdasarkan kondisi lapangan yang ada, maka TWA Bukit Kaba dapat dikembangkan, terutama pembangunan yang berkaitan dengan fasilitas pengunjung, untuk memenuhi kebutuhan pengunjung yang termonitor dari tahun ke tahun yang jumlahnya terus bertambah.
2. Rehabilitasi Kawasan dan Pembinaan Habitat
Kegiatan rehabilitasi kawasan merupakan kegiatan yang sangat penting dalam pengelolaan TWA Bukit Kaba. Dengan maraknya perambahan kawasan hutan TWA, maka kemungkinan rusaknya lingkungan akibat aktifitas perambah semakin tinggi. Kegiatan rehabilitasi kawasan dapat berupa penanaman areal yang  rusak akibat perambaha dan illegal loging, daerah yang curam dan rawan erosi, perbaikan sarana dan prasarana dan lain-lain.
Pembinaan habitat dimaksudkan sebagai suatu perlakukan untuk memperbaiki mutu habitat sehingga dapat memberikan daya dukung yang optimal dengan tetap mempertahankan keserasian dan kelestarian lingkungan. Di dalam TWA Bukit Kaba pembinaan habitat dilakukan antara lain melalui :
a.        Pembinaan ekosistem hutan di dalam kawasan yang dilakukan melalui kegiatan pengawasan dan pengamanan, terutama pada blok perlindungan agar tidak terjadi kelangkaan potensi sumber daya alam.
b.        Perbaikan ekosistem dan potensi fisik lingkungan yang rusak, yang dilakukan melalui reboisasi/reklamasi lahan dengan menggunakan jenis asli kawasan.
c.        Mencegah timbulnya kerusakan hutan akibat pengotoran lingkungan akibat sampah-sampah, dan pencemaran sumber air.
C. PENGELOLAAN POTENSI KAWASAN
1. Inventarisasi dan Monitoring
Dalam rangka melengkapai data dan informasi tentang potensi kawasan perlu dilakukan kegiatan inventarisasi sumber daya alam baik flora, fauna, gejala alam maupun ekosistemnya. Bagi beberapa jenis satwa penting kegiatan inventarisasi perlu ditindaklanjuti dengan kegiatan monitoring / evaluasi potensi secara berkala untuk mengetahui dinamika populasi jenis satwa yang bersangkutan, sebagai bahan untuk mengambil langkah-langkah pembinaan yang diperlukan.
Selain itu, kegiatan monitoring juga perlu dilakukan terhadap kerusakan kawasan dan potensinya secara keseluruhan terutama terhadap  gangguan dari masyarakat. Kegiatan ini meliputi areal hutan dan daerah yang sering mendapat gangguan, dampak lingkungan dari kegiatan pengelolaan seperti pengunjung, sampah dan erosi tanah.
2. Pengembangan Kepariwisataan Alam
Taman wisata Alam yang mempunyai potensi cukup tinggi untuk dikembangkan sebagai objek wisata alam yang menarik, yaitu adanya kekayaan flora, fauna, keindahan alam/ keindahan gejala alam, panorama yang mempesona termasuk keanekaragaman jenis biota airnya. Pengusahaan pariwisata alam adalah suatu kegiatan untuk menyelenggarakan usaha sarana pariwisata di zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya, atau taman wisata alam, berdasarkan rencana pengelolaan. (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. 1994)
Berbagai obyek wisata yang ada dapat diklasifikasikan sesuai dengan potensi yang dimilikinya, yaitu : Wisata Alam, Wisata Budaya / Sejarah, dan Wisata Ilmiah. Keanekaragaman potensi tersebut merupakan asset wisata yang dapat diunggulkan dan dapat saling menunjang dan melengkapi sebagai suatu paket wisata di daerah Bengkulu. (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. 1994)
a) Kebutuhan Lahan untuk Kegiatan Wisata
Dari aspek penggunaan  / peruntukan, lahan kawasan hutan untuk kegiatan wisata merupakan penggunaan yang khusus dan mempunyai persyaratan sebagaimana pengguanan lahan untuk tujuan lainnya. Perencanaan pengembangan kawasan hutan tersebut lebih difokuskan untuk tujuan reaksi dan pariwisata.
Kebutuhan lahan untuk tujuan pegembangan obyek wisata alam terfokus pada bentang alam, yaitu bentuk medan dan formasinya vegetasi berikut nilai estetika dan variasi obyek yang merupakan potensi sebagai daya tarik untuk rekreasi. Dalam penggunaan kawasan hutan untuk obyek wisata alam yang didalamnya terkait adanya potensi flora dan fauna, agar tidak terjadi benturan antara misi konservasi dan pemanfaatan untuk tujuan rekreasi, maka perlu adanya sinkronisasi pedoman pengelolaan yang berdasar pada kedua aspek tersebut. (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. 1994).
Kebutuhan lahan untuk kegiatan wisata alam dapat dirinci seperti bagan berikut:
1.      Potensi Sumber Daya Alam Yang Dibutuhkan.
NO
Potensi
Faktor Penentu
1.
Bentang alam, ragam, dan nilai estetika
- Bentuk Medan
- Vegetasi
2.
Keunikan jenis
- Flora
- Fauna
3.
Iklim
- Dataran rendah
- Dataran tinggi
2.      Lahan Untuk Kebutuhan Pengelolaan
-          Jalan
-          Lahan untuk bangunan kantor
-          Lahan untuk fasilitas khusus
-          Lahan Pengembangan
3.      Kebutuhan lahan untuk konservasi
Segala aspek kegiata wisata harus memperhatikan dan mempertahankan kondisi lahan agar tidak terjadi degradasi pada vegetasi dan tanahnya.
Adanya persyaraan-persyaratan yang harus dipenuhi, maka perencanaan pengembangna obyek wisata alam menuntut pertimbangan yang matang dalam penggunaan dan alokasi lahan di dalam kawasan TWA. Hal tersebut diperlukan agar estetika dan lingkungannya terpelihara. Degradasi tanah akibat erosi dapat dikurangi dan keamanan pengunjung dapat terjamin.
Penggunaan lahan berdasarkan kemampuan dan sesuai dengan persyaratan yang dibutuhkan dalam pengelolaan TWA dan untuk kepentingan konservasi, sedapat mungkin disesuaikan dengan kecocokan lahan terhadap jenis atau tipe kegiatan wisata alam yang akan dilakukan.
b) Pengembangan Kegiatan Wisata Alam
Beberapa cara dapat dilakukan untuk mengklasifikasikan jenis wisata alam dalam kaitannya dengan pengembangan TWA Bukit Kaba. Klasifikasi jenis kegiatan didasarkan pada bentuk kegiatan dan intensitas penggunaan lahan, maka dapat dikelompokkan jenis kegiatan, yaitu : Wisata Alam, Wisata Ilmiah, dan Wisata Budaya. Masing-masing jenis wisata dirinci dalam bentuk kegiatan dan saranya disajikan secara lengkap pada Tabel V-2 berikut ini.
Tabel IV-2 . Jenis Kegiatan Wisata yang dapat Dikembangkan di TWA Bukit Kaba.
No.
Jenis Wisata
Bentuk Kegiatan
Sarana
(1)
(2)
(3)
(4)
1.
Wisata Alam
1.        Lintas Alam
2.        Camping
3.        Bersepeda
4.        Foto hunting
5.         Menikmati pemandangan  htn
6.        Piknik
§   Jalan
§   Jalan Setapak
§ Bumi Perkemahan
§   MCK
§   Shelter
§   Bangku-bangku
§     Tenda-tenda
2.
Wisata Budaya
1. Melihat tempat-tempat keramat
§   Jalan
§   Jalan Setapak
§   MCK
§   Shelter
§     Ruang serbaguna
3.
Wisata Ilmiah
b.        Studi Tour
c.         Studi Banding
d.        Penelitian
a. Laboratorium dan pustaka konservasi
b.Ruang serbaguna
c. Perlengkapan  audiovisual
Penilaian jenis wisata alam yang sesuai dalam rangka pengembangan TWA Bukit Kaba akan ditentukan oleh berbagai faktor termasuk : Kebijaksanaan pemerintah, pola pengusaha dan permodalan, serta pertimbangan-pertimbangan aspek konservasi kawasan.
c)   Pembangunan Sarana Dan Prasarana Wisata Alam
Pembangunan sarana dan prasarana merupakan salah satu kegiatan pokok yang menunjang keberhasilan kegiatan pengelolaan TWA. Kegiatan pembangunan ini harus dilakukan melalui berbagai kajian sehingga keberadaannya tidak mengganggu kawasan. Pertimbangan-pertimbangan budaya dan ciri khas daerah perlu dipertimbangkan dalam memilih bentuk arsitektur bangunan. Keseluruhan dari luas wilayah yang dipakai yaitu 10% dari luas blok pemanfaatan.
Ditinjau dari fungsinya, sarana dan prasarana TWA yang akan dibangun dikelompokkan menjadi dua yaitu sarana prasarana pokok pengelolaan dan sarana prasarana pengembangan wisata alam.
a.       Sarana dan prasarana pokok pengelolaan
Sarana dan prasarana pokok yang akan dibangun terdiri dari kantor pengelola, pos jaga, tempat parkir, pintu gerbang, loket karcis, pondok karyawan, menara kebakaran, jalan masuk, jalan setapak, dan papan nama dan petunjuk.
b.      Sarana dan prasarana pengembangan pariwisata alam
Sarana dan parasaran pengembangan wisata alam terbagai menjadi dua yaitu:
1.      Sarana dan prasarana rekreasi yang terdiri dari pusat informasi, shelter, arena bermain anak, bumi perkemahan, arboretum, menara pengamatan dan tempat duduk.
2.      Sarana dan prasarana pelayanan yang terdiri dari warung, kios cinderamata, pondok wisata, pondok remaja, ruang serba guna, menara air, MCK, rumah generator, bak sampah, tempat ibadah, pos kesehatan.
3.      Sarana pelayanan lainnya yang akan diperlukan adalah sarana transportasi, sarana komunikasi, dan perlengkapan lapangan
d) Penyuluhan dan Hubungan Masyarakat
Kegiatan penyuluhan dan hubungan masyarakat pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan kesadaran dan peran serta masyarakat didalam pengelolaan taman wisata alam, yang mana ruang lingkupnya sebagai berikut :
a.        Ruang lingkup penyuluhan
Kegiatan penyuluhan ditujukan kepada pengunjung dengan sasaran agar setiap pengunjung mengetahui tujuan konservasi sumberdaya alam, sadar akan hak dan kewajibannya akan uapaya pelestarian alam, sehingga dapat merangsang mereka untuk mengembangkan peran aktifnya. Kegiatan penyuluhan terhadap pengunjung dapat dilakukan melalui pemutaran video tentang TWA Bukit Kaba serta segala aspek yang harus diperhatikan dalam mengunjungi TWA Bukit Kaba, slide maupun  film konservasi. Begitu juga saat melaksanakan pemanduan petugas dapat menyelipkan perkembangan usaha konservasi, peraturan perundang-undangan.
b.        Ruang lingkup hubungan masyarakat
Pembinaan hubungan masyarakat terutama ditujukan kepada masyarakat disekitar taman wisata alam. Pembinaan hubungan masyarakat ini dapat dilakukan melalui pertemuan-pertemuan, pembentukan kader konservasi, ceramah di mesjid, serasehan, dan bina cinta alam. Kegiatan-kegiatan sosialisasi ini diharapkan dapat menarik masyarakat untuk berperan aktif dalam pembangunan pariwisata di daerahnya. Untuk menumbuhkan rasa kecintaan dan tanggung jawab terhadap program konservasi dan pariwisata alam, maka masyarakat dapat dilibatkan dalam kegiatan pengelolaan seperti pemandu wisata, serta kegiatan wisata lainnya sesuai kemampuan dan keahlian yang dimiliki.
KESIMPULAN
Untuk pengembangan kegiatan pengeloalan TWA Bukit Kaba dapat direkomendasikan hal-hal sebagai berikut :
a.       Untuk memantapkan status kawasan TWA Bukit Kaba perlu segera dilakukan penataan batas ulang sehubungan dengan adanya perubahan peruntukan lahan di kawasan TWA Bukit Kaba.
b.      Fakta dilapangan membuktikan bahwa lokasi-lokasi tertentu di dalam kawasan TWA Bukit  Kaba telah terjadi aksi pengrusakan hutan yang dilakukan secara massal akibat berdirinya desa-desa didalam kawasan akibat dampak negatif pembangunan daerah, sehingga perlu dilakukan pembicaraan lintas sektoral antara Pemerintah Daerah, Departemen Kehutanan, Kepolisian, Kejaksaan dan pihak-pihak yang terkait dalam mencari solusi yang terbaik dalam menyelamatkan hutan konservasi dari kerusakan yang lebih parah  tanpa menghambat laju pembangunan daerah
c.       Untuk kepentingan dan pengembangan kawasan TWA Bukit Kaba, perlu dilaksanakan penataan fungsi serta membatasi jumlah pintu masuk. Pintu masuk hanya dibuka di dua tempat, yaitu di sebelah utara TWA Bukit Kaba (Rejang Lebong) dan sebelah selatan Bukit Kaba (Kepahiyang). Hal ini dimaksudkan agar para pengunjung dapat mengenali dengan mudah batas kawasan serta lebih terkontrolnya lalu lintas kunjunngan ke areal TWA Bukit Kaba.
d.      Kawasan TWA Bukit Kaba merupakan kawasan wisata pegunungan yang sangat potensial untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata alam di kabupaten Rejang Lebong propinsi Bengkulu.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Ir. Urip Santoso, S. IKom., M. Sc., Ph.D selaku Dosen yang telah memberikan pengetahuan kepada kami mahasiswa PSL, Bapak Wawan Suryawan selaku Kepala Seksi Wilayah 1 Balai KSDA Bengkulu yang memberikan bantuan berupa bahan bacaan dan literatur dan kepada Ibu Ervia Riyadul Badiah, S.Pd yang telah memberikan dukungan moral dalam membantu terselesaikannya tulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Balai KSDA Bengkulu. 2008. Operasi terpadu pengamanan kawasan hutan TWA Bukit Kaba, wilayah administratif Kabupaten Kepahiang.
Balai KSDA Bengkulu. 2005. Rencana Strategis Balai KSDA Bengkulu Tahun 2005 – 2009. Bengkulu
Balai KSDA Bengkulu. 2002. Profil Kawasan Konservasi di wilayah Propinsi Bengkulu. Bengkulu
Bruce, Setiawan dan Dwita.2000. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Yogyakarta
Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 2001 Keputusan Menteri Kehutanan tentang Kriteria dan Standar Pengukuhan Kawasan Hutan No : 43/Kpts-II/01. Jakarta
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. 1999. Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Jakarta
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. 1999. Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Jakarta
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. 1994. Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam. Jakarta
Undang-Undang Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang  Nomor 41 Tahun 1999  tentang Kehutanan. Jakarta
Undang-Undang Republik Indonesia. 1990. Undang-Undang  Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya. Jakarta
Wiryono.2009.Ekologi Hutan. Bengkulu


Posted by uwityangyoyo on September 18, 2010
Oleh: Adnan.
Program Studi Pasca Sarjana Sumberdaya Alam dan Lingkungan
PENDAHULUAN
Luas wilayah Kabupaten Rejang Lebong 151.576 Ha (Badan Pertahanan Nasional dalam Satatistik Dalam Angka Kab. Rejang Lebong, 2004). Tofografi Kabupaten Rejang Lebong merupakan daerah pegunungan sebelah Barat  Bukit Daun, dan sebelah Utara Bukit Rimbo Pengadang dan sebelah Selatan Bukit Balai Rejang. Dari ketiga bukit tersebut merupakan kawasan hutan yang terdapat di wilayah 6 kecamatan di Kab. Rejang Lebong, luas hutannya 21.885 ha, yang tersebar di tiga wilayah yaitu Bukit Daun 1873 ha, Bukit Balai Rejang 16.754 ha, Bukit Rimbo Pengadang 3.185 ha. Luas wilayah yang sudah dirambah oleh masyarakat 3.717,85 ha, dengan jumlah kasus perambah 1067 orang (Dinas Kehutan dan Perkebunan Kab. Rejang Lebong, 2009).
Mengingat tofografi wilayah Kab. Rejang Lebong bergelombang, dengan kemiringan tanah antara 15 sampai 40 derajat luas 52.606 ha dan lebih dari 40 derajat 3.792 ha, dengan curah hujan pertahunnya cukup tinggi apabila penutup tanahnya tidak diperhatikan daerah tersebut akan rawan sekali terjadi longsor, terutama areal dengan kemiringan tanah  lebih 40 derajat.
Dari peta wilayah Kab. Rejang Lebong, pada ketiga bukit tersebut terdapat beberapa titik rawan longsor, terutama kawasan hutan bekas perambahan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab yang tidak mengerti akibat kerusakan ekologi hutan dan pada akhirnya nanti akan menimbulkan dampak kerugian yang sangat besar sekali terhadap manusia itu sendiri, baik dari segi  lingkungan maupun sosial ekonomi pada generasinya akan datang.
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian hutan secara alami adalah pepohonan yang beraneka ragam jenisnya dimana keseimbangan antara plora dan pauna dengan kata lain ekosistemnya belum pernah dijamah oleh manusia, masih alami sehingga terjadi keseimbangan rantai ekosistem  di dalam lingkungannya. Sesuai dengan pendapat, Simon (1999) suatu asosiasi tumbuh-tumbuhan yang didominasi oleh pepohonan atau vegetasi berkayu lainnya yang menempati areal cukup luas. Pemerintah Indonesia dalam UU No 41 Tahun 1999, tentang kehutanan mendifinisikan hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan, (Salim, HS, 2002). Pemerintah Indonesia membedakan pengertian kawasan hutan dan hutan. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Jadi kawasan hutan adalah status kawasan dilihat dari sisi hukum, sedangkan hutan adalah tipe penutupan lahan atau vegetasi. Dalam kenyataannya suatu wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan hutan dapat berupa perkampungan yang memiliki bangunan rumah, gedung sekolah, dan pasar. sebaliknya, suatu wilayah yang tidak termasuk kawasan hutan, misalnya kampus suatu perguruan tinggi atau kantor pemerintah, dapat memiliki penutupan lahan yang dapat dikatogorikan sebagai hutan. Secara ekologi hutan adalah suatu ekosistem, yang terdiri dari komponen abiotik seperti udara, air dan tanah, dan komponen biotik yang terdiri dari tumbuhan, hewan, jamur, dan mikroorganisme. Ekologi hutan mencangkup semua studi tentang ekosistem hutan secara menyeluruh maupun yang hanya mempelajari sebagian aspek dari ekosistem hutan (Wiryono, 2009).  Studi menyeluruh misalnya penelitian tentang suksesi hutan yang meliputi perubahan vegetasi, hewan dan tanah selama suksesi berlangsung. Studi yang spesifik misalnya dekomposisi seresah, keragaman burung, pola distribusi suatu spesies juga termasuk dalam ekologi hutan. Jadi ruang lingkup ekologi hutan sangat luas, penulisan ilmiah ini menganalisa dan membahas data skunder yang bersumber baik dari Dinas Kehutan dan Perkebunan Kab. Rejang Lebong maupun Buku dalam Angka Kab. Rejang Lebong (2004).  Pasal 47 UU Nomor 41 Tahun 1999 , bahwa perlindungan hutan dan kawasan hutan merupakan usaha untuk:  (1). Mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan, dan hasil-hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia dan ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit, dan (2). Mempertahankan dan menjaga hak-hak Negara, masyarakat, dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengolahan hutan, (Salim, H.S, 2002).
Indek keaneka ragaman dan kekayaan jenis pohon di beberapa type komunitas di Provinsi Bengkulu, cukup tinggi jumlahnya, (Wiryono, 2009). Keseimbangan juga terjadi antara komponen biotik dan abiotik, misalnya curah hujan dan suhu yang tinggi akan menghasikan vegetasi hutan. Jika hutan ditebang maka terjadi tidak keseimbangan antara iklim dan tipe vegetasinya. Maka lahan tersebut akan mengalami suksesi, yaitu perubahan komunitas sehingga pada akhirnya akan menjadi hutan kembali dalam waktu tertentu, (Odum, E. HLM, 1993. Dampak yang terjadi akibat perambahan hutan, hambatan pengendalian banjir dengan sarana-sarana stuktural, lebih diperburuk keadaannya oleh terjadinya penggundulan hutan secara meluas dihampir setiap bagian daerah, penggundulan hutan dengan tujuan semata-mata untuk memperoleh uang tunai, tetapi resiko akibat menebang hutan secara drasmatis mengakibatkan banjir. Jika daerah sumber air(catchment area) sungai berada dihutan lebat, maka jaringan akar yang rumit dari pohon-pohon yang ada berfungsi sebagai sepon besar yang menyerap air hujan, melepaskan air ini sangat lambat ke dalam sungai dibawahnya. Tetapi, begitu daerah sumber air hutannya menjadi gundul, maka derasnya aliran air (merupakan bagian air hujan) meningkat tajam. demikianlah diketahui dari studi UNISCO tahun 1980, (Mochtar Lubis, 1993).
Tabel 1.  Tipe dan lokasi komunitas, berdasarkan keragaman dan kekayaan jenis pepohonan hutan di Bengkulu.
Type dan lokasi komunitas
Indeks keragaman jenis (H)
Kekayaan jenis (S)
Hutan mangrove meara
0,06
9
Hutan sungai rawa besar
0,93
14
Hutan pegunungan bukit kaba sisi selatan
1,28
36
Hutan dataran rendah taba penanjung
1,75
76
Tabel. 2. Luas wilayah Kab. Rejang Lebong, menurut ketinggian tempat dari permukaan laut yaitu :
Ketinggian tanah (DPL) m
Luas wilayah (ha)
0-100
2.250
100-500
48.324
500-1000
64.345
> 1000
36.657
Sumber : Data Statistik Kab. Rejang Lebong dalam angka th 2004
Tabel. 3. Luas wilayah Kab. Rejang Lebong, menurut derajat kemiringan tofografi tanah
Kemiringan tanah derajat
Luas wilayah (ha)
15-40
52.606
> 40
3.792
Sumber : Data Statistik Kab. Rejang Lebong dalam angka th 2004
Tabel. 4. Luas wilayah Kab. Rejang Lebong, menurut jenis tanah
Jenis tanah
Luas wilayah (ha)
Persentase
Andosol
38215
25.21
Alluvial
7626
5.03
Rogosol
4926
3.25
Latasol
18621
12.28
Podsolik
17241
11.37
Komplek Podsolik merah kuning, latasol dan Litosol
14216
9.38
Komplek Podsolik coklat,  padsol dan Latasol
50731
33.48
Renzina
-
-
Jumlah
151.576
100.00
Sumber : Data Statistik Kab. Rejang Lebong dalam angka th 2004
Dengan mengamati (Tabel. 2, 3, dan 4) letak ketinggian tanah antara 500 sampai 1000 diatas permukaan laut seluas 64.345 ha, kemiringan tanah lebih 40 derajat seluas 3792 ha, dan jenis tanah podsolik coklat, padsol dan latasol 33.48 persen mendominasi tanah di Kab. Rejang Lebong (BPS, Kab. Rejang Lebong, 2006). Mengamati kondisi tanah dari data tersebut, apabila vegetasi pepohonan sebagai penutup tanah dikawasan hutan yang dirambah secara liar tidak memperhatikan aspek ekologi hutan akan terjadi tanah erosi dan longsor akibat pertahanan permukaan tanah oleh akar pohon telah busuk dalam tanah. Dampak tersebut baik segi lingkungan dan sosial ekonomi sangat dirasakan ditengah-tengah kehidpan masyarakat, sebagai contohnya tanah terjadi longsoran ditebing-tebing pinggir jalan akibatnya badan jalan rusak yang tidak bisa dilewati oleh pengguna jalan. Sebagian longsoran akan menimbun pengairan irigasi yang mengakibatkan air sawah terjadi kekeringan, atau sebagian akan terjadi pengendapan lumpur diwaduk irigasi yang mengakibatkan terjadi pendangkalan sumber air irigasi yang mengalir ke areal persawahan.
PEMBAHASAN
Dari data tentang kerusakan ekosistem hutan dan dampak social ekonomi pada masyarakat Bengkulu khususnya di Kab. Rejang Lebong. Pada akhir-akhir ini banyak kerusakan hutan akibat terjadinya penebangan kayu secara liar atau illegal loging oleh oknum  yang tidak bertanggung jawab, perambahan hutan tersebut dapat berjalan dengan baik dikarenakan tali rantainya berjalan sedemikan rupa dengan waktu sudah cukup lama. Untuk mengeluarkan kayu-kayu di hutan rimba belantara, tentunya memerlukan pendanaan dan tenaga yang cukup besar, dari sini timbul suatu pertanyaan tentang kasus-kasus tersebut seperti :
1). Kapan perambahan hutan mulai terjadi ?
2). Dikawasan hutan mana terjadinya perambahan ?
3). Siapa pelaku dan penampungan hasil perambahan hutan di Kab. Rejang Lebong ?
4). Bagaimana terjadinya system tali rantai perambahan hutan di Kab. Rejang Lebong ?
5). Seberapa jauh akibat perambahan hutan terhadap dampak lingkungan, sosial dan ekonomi pada masyarakat Kab. Rejang Lebong ?
6). Bagaimana cara efektif dan efisien penegak hukum dalam operasi menjalankan tugasnya dalam mengatasi illegal loging di Kab. Rejang Lebong ?
Dari pertanyaan tersbut penulis mencoba memberi jawaban berdasarkan imformasi serta data-data yang diperoleh dari sumber buku yang ada.
Ad.1. Kapan terjadi perambahan serta kawasan hutan mana di Kab. Rejang Lebong
Sumber data yang diperoleh dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Rejang Lebong, perambahan hutan di Kab. Rejang Lebong sudah berjalan sejak tahun 1985 di wilayah kawasan hutan seperti Bukit daun, Bukit Kaba, dan Bukit Balai Rejang dengan berbagai tipe hutan : Suaka Alam, Lindung, Cagar Alam, Hutan Wisata, dan TNKS. dari tahun 1985 sampai tahun 2009 sebanyak 1064 orang kasus yang dapat ditangan sebagai perambahan hutan di Kabupaten Rejang Lebong. Luas hutan 21.885 ha terdapat di Bukit Daun 1973 ha, Rimbo Pengadang 3185 ha, dan Bukit Balai Rejang 16754 ha, luas hutan yang telah dirambah 3.717,85 ha, Dinas Kehutan dan Perkebunan Kab. Rejang Lebong, 2006). Dari data tersebut ternyata tingkat kerawanan perambah hutan di Kab. Rejang Lebong masih cukup tinggi, hal tersebut dikarenakan tingkat kesadaran masyarakat masih kurang dalam hal pelestarian lingkungan khususnya tentang hutan.  Kasus tersebut dapat dikaitkan dengan masih rendahnya tingkat pendidikan akhirnya tentang perlindungan hutan tentang hokum masih rendah.
Ad.2. Siapa dan bagaimana pelaku dan penampungan hasil perambahan hutan  tersebut.
Sumber data yang diperoleh dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Rejang Lebong, secara garis besarnya baru terungkap masyarakat kecil yang terdapat dikawasan hutan tersebut, hasil ilegal loging dijual pada penampungan untuk kebutuhan hidup. Sedangkan  orang-orang yang bermodal besar dibelakangnya belum terungkap secara serius. Lebih parah lagi sebagian hutan yang ditebang lahannya diperuntukkan perkebunan, tanpa menghiraukan derajat kemiringan tanah yang tajam membawa dampak erosi dan longsor. Untuk mencegah terjadinya penebangan hutan secara liar, mari kita bersama-sama untuk mencari imformasi secara luas siapa pendanaannya serta penampungan dalam penebangan kayu ilegal loging tersebut, di daerah Kab. Rejang Lebong. Tanpa memperhatikan tali rantai usaha ilegal tersebut sehingga penebangan hutan tetap berjalan dengan lancar di Kab. Rejang Lebong.
Ad. 3. Seberapa jauh dampak lingkungan akibat perambahan hutan di Kab. Rejang  Lebong.
Hutan yang alami memiliki ekosistem yang berimbang antara komponen biotik dengan abiotik, hal tersebut dapat terjaga kelestariannya bila kesadaran masyarakat sudah tumbuh ditengah-tengah masyarakat tentang arti dan mamfaat hutan terhadap kehidupan generasi anak cucunya dimasa mendatang. Banyak akibat penebangan hutan secara membabi buta tanpa perencanaan yang tepat di belahan dunia ini, terutama di Indonesia seperti di jambi, Pekan Baru, Sumatera Selatan, Bengkulu dan daerah-daerah lain, sering terjadi banjir, longsor tanah semuanya adalah ulah manusia itu sendiri pada akhirnya akan menimbulkan bencana terhadap manusia itu sendiri. Bila diamati dan dicerna secara kasat mata bahwa pengaruh akibat penebangan hutan terhadap lingkungan dan sosial ekonomi di Kab. Rejang Lebong, sudah dapat dirasakan fenomena alamnya seperti kenaikan suhu dan kelembaban, hujan turun tidak teratur sehingga menyebabkan erosi pada lereng-lereng bukit yang mengakibatkan pendangkalan air diberbagai bendungan irigasi di daerah Kab. Rejang Lebong. Dampak yang ditimbulkan secara lansung akan berpengaruh terhadap pengurangan debit air irigasi dimusim kemarau untuk persawahan sehingga menurunkan produksi padi pada musim panen. Kemudian pada musim penghujan sering terjadinya gagal panen, dikarenakan pelimpahan air hujan atau banjir melebihi kapasistas penampungan waduk irigasi yang menyebabkan kerusakan pada lahan persawahan petani. Bahkan lebih parah lagi terjadinya perendaman dirumah penduduk akibat kebanjiran yang tidak terkontrol lagi.  Kemudian sarana inprastruktur sering terjadi kerusakan akibat banjir seperti jalan, jembatan menuju usaha tani dan waduk.
Ad. 4. Bagaimana cara mengatasi perambahan hutan yang efektif dan efisen
Dari jumlah kasus yang ditangani oleh penegak hukum tentang illegal loging, ternyata masih banyak masyarakat buta hukum dan kebal hukum dimata hukum, hal tersebut bisa terjadi diberbagai daerah pada abad moderen ini, kenapa ?
Penulis memandang sisi manusia, yaitu penegak hukum, masyarakat dan pihak kepentingan lainnya.
1). Petugas lapangan masih perlu ditingkatkan pelatihan-pelatihan yang sifatnya lebih profesional dalam menjalankan tugas, sehingga diperlukan sarana dan prasarana yang lebih memadai pada person yang ditugaskan, baik mobilisasi maupun komunikasi secara terpadu dari kawasan hutan lindung. Perlu ditingkatkan jumlah personnya agar tercapai pada wilayah-wilayah sasaran dari penjagaan sesuai dengan luas kawasan hutan yang ditetapkan oleh pemerintah. Buat pemetaan titik-titik rawan akibat perambahan hutan yang sering terjadi dikawasan hutan tersebut.
2). Masyarakat
Masyarakat terutama penduduk disekitar kawasan hutan masih perlu diberi bimbingan dan penyuluhan-penyuluhan dari instansi terkait tentang sangsi akibat perambahan hutan secara ilegal. Berilah penyuluhan dan pelatihan yang sifatnya sering dengan warga setempat dalam penjagaan hutan, terutama hutan yang telah gundul diberi kesempatan pada warga setempat dalam pengolahan hutan produksi dengan tujuan menghijau kembali hutan yang telah gundul sekaligus memperoleh incam dari petani plasma tersebut dengan dibuat perda oleh pemerintah daerah. Bila permasalahan tersebut dapat dilaksanakan oleh pemerintah daerah, banyak sekali mamfaat yang bisa dipetik dalam bentuk kerjasama dengan warga yang ada dikawasan hutan tempat tinggalnya. Seperti lahan yang gundul dengan pola sering antara dinas instansi terkait dengan warga setempat, pada tanah gundul ditanam hutan seperti durian, kemiri atau tanaman lainnya disamping panen buahnya, pohon tersebut dapat menutup tanah yang gundul sebagai penguat tanah dari perakarannya. Kerjasama tersebut saling menguntungkan antara pemerintah dengan petani plasma dalam jangka waktu panjang.  Kemudian bentuk sering tersebut, warga yang belum memiliki tanah pertanian, dengan adanya pola tersebut dapat mengurangi tingkat pengangguran ditengah masyarakat, yang sekaligus mengurangi perambahan hutan karena warga setempat merasa memiliki dan bertanggung jawab dengan diberi pengertian serta pertanggung jawabannya dalam program pemerintah tentang perlindungan hutan.
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan :
a). Kawasan wilayah hutan Kab. Rejang Lebong, kemiringan tanah lebih dari 40 derajat pada jenis tanah yang beraneka ragam seperti Alluvial, regosol, podsolik merupakan titik rawan tanah longsor.
b). Melihat data luas kawasan hutan, dan memandingkan jumlah perambah dan areal hutan yang telah dirambah masih rendah tingkat kesadaran masyarakat dalam arti difinisi hutan secara ekologi hutan.
c). Melihat dampak secara lingkungan, sosial dan ekonomi sudah dapat dirasakan akibat penebangan hutan secara illegal di Kab. Rejang Lebong.
2. Saran :
a). Melihat semakin luasnya areal perambahan hutan di Kab. Rejang Lebong, perlu ditingkatkan jumlah petugas lapangan dari instansi terkait, dan memperhatikan sarana baik mobilisasi dan komunikasi yang lebih canggih dalam hal operasionalnya ketempat sasaran dan target pencapaian tujuan daerah titik-titik rawan perambahan oleh oknum tidak bertanggung jawab.
b). Perlu ditingkatkan penyuluhan-penyuluhan oleh instansi terait kepada masyarakat Kab. Rejang Lebong, khusunya kepada masyarakat yang tinggal dikawasan hutan untuk memberi arahan dan sangsi akibat penebangan kayu secara illegal, dengan sangsi cukup berat. Kawasan hutan yang telah gundul perlu dihijaukan kembali, dengan pola sering antara instansi terkait dengan penduduk yang bertempat tinggal dikawasan hutan tersebut, dengan pola petani plasma yaitu penanaman hutan berproduksi dengan komoditas monokultur.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik, 2004. Rejang Lebong Dalam Angka, Badan Pusat  Statistik dan Pemerintah Kab. Rejang Lebong.
Badan Pusat Statistik, 2006. Rejang Lebong Dalam Angka, Badan Pusat  Statistik dan Pemerintah Kab. Rejang Lebong.
Indriyanto. 2005. Ekologi Hutan, Bumi Aksara.
Irwan, ZD. 1992. Prinsip-Prinsip Ekologi dan Organisasi: Ekosistem, Komunitas, dan Lingkungan. Jakarta, Penerbit Bumi Aksara.
Kadri, W. Dkk. 1992. Manual Kehutanan. Jakarta, Departemen Kehutanan Republik Indonesia.
Mochtar Lubis. 1993. Dampak Sosial Dan Lingkungan Bendungan Raksasa, Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Odum, E. HLM. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Terjemahan oleh Tjahjono  Samingan dari Buku Fudamentals of Ecology. Jogjakarta, Gajah Mada Universitas Press.
Setiadi, Y. 1983. Pengertian Dasar Tentang Konsep  Ekosistem. Bogor. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Salim, HS. 2002. Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, Sinar Grafika.
Wiryono, 2009. Ekologi Hutan, Unib Press.
Wiryono dan Darmi, 2003. Prefensi Jenis Serasah dan Kecepatan Dekomposisi Seresah oleh Cacing Tanah. Jurnal Penelitian Universitas Bengkulu.


Posted by uwityangyoyo on March 25, 2010
Oleh:
Widodo
ABSTRAK
Efek rumah kaca ( Green House Effect ),  diartikan  sebagai    naiknya suhu bumi. Naiknya suhu bumi di sebabkan oleh terperangkapnya sinar matahari gelombang panjang ( infra merah )  oleh gas – gas rumah kaca
( GRK) yang berada di lapisan troposfer, yang merupakan lapisan atmosfer yang berada dipermukaan bumi sampai radius 10 Km ke angkasa. Naiknya suhu ini dapat menyebabkan terjadinya pemanasan global. Secara total, 29 % energi matahari akan dipantulkan oleh atmosfer, 20 % di serap oleh gas-gas atmosfer, dan hanya 51 % yang sampai dipermukaan bumi.
GRK yang dapat menyebabkan efek rumah kaca adalah CO2, CH4,CFC, O3 dan N2O. Seberapa bsar kontribusi dari masing-masing GRK tergantug kepada lama waktu tinggal GRK di atmosfer dan besarnya nilai GWP. CO2 menjadi fenomena belakangan ini karena kontribusinya yang sangat besar terhadap efek rumah kaca yaitu 50 % di antara GRK yang lain.
Selain itu CO2 dihasilkan dari kegiatan manusia yang akan menambah emisi CO2 yaitu, Penggunaan Bahan Bakar Minyak ( BBM ) yang tidak efisien dan peniadaan atau pengurangan vegetasi termasuk pembabatan hutan.
Efek rumah kaca dapat berdampak kepada rusaknya ekosistem yang akhirnya akan memutus rantai makanan dan perpngaruh kepada seluruh kehidupan dimuka bumi.
Penghematan penggunaan BBM dan pengelolaan sumber daya hutan merupaan salah satu tindakan prefentif terhadap peningkatan emisi gas CO2 di lapisan troposfer. Semakin banyak luasan vegetasi dan luasan hutan maka akan semakin banyak jumlah CO2 yang bisa diambil oleh permukaan daun untuk proses fotosintesa dan salah satu produk akhirnya  adalah O2 yang dimanfaatkan oleh makluk hidup pada saat respirasi.
I.  PENDAHULUAN
Pemanasan global ( global warming ) merupakan salah satu isu inernasional yang dewasa ini banyak mendapat sorotan dari berbagai kalangan. Pemanasan global diartikan sebagai meningkatnya suhu bumi secara keseluruhan. Pemanasan global merupakan salah satu gejala dari pengelolaan sumber daya hutan yang tidak berkelanjutan. Kekwatiran dunia sangat  beralasan karena pengaruh global dapat berdampak kepada kehidupan dan kondisi bentang lahan dari semua negara baik negara penghasil ( emisi ) Gas Rumah  Kaca ( GRK ) maupun bukan. Peningkatan konsentrasi gas-gas rumah kaca dikwatirkan akan meningkatkan suhu lapisan bawah atmosfer yaitu lapisan troposfer karena radiasi gelombang panjang yang dipancarkan permukaan bumi ( terrestrial radiation ) sebagian akan terperangkap pada lapisan troposfer, karena tidak dapat menembus ke lapisan atmosfer yang lebih tinggi ( Lakitan, 1994 ). Meningkatnya pemanasan global akibat GRK akan menimbulan masalah terhadap pola adaptasi makluk hidup pada suatu ekosistem dan terputusnya rantai makanan antar organisme yang berakibat pada menurunnya ketersediaan stok pangan dunia.  Negara penghasil GRK adalah negara-negara industri yang menggunakan bahan bakar fosil sebagai sumber energinya. Indonesia juga merupakan salah satu Negara emitor GRK yang terutama berasal dari pembukaan hutan dan pengeringan gambut. Sehingga Indonesia menjadi salah satu bagian dari solusi terhadap pengurangan pemanasan global.
Efek rumah kaca ( Green House Effect ) adalah suatu istilah yang digunakan untuk meggambarkan betapa panasnya kondisi bumi dari akibat terperangkapnya gelombang panjang sinar matahari dilapisan trofosfer bumi ( Fahri, 2009 ). Green House Effect di adopsi dari kondisi rumah kaca yang biasa digunakan untuk budidaya pertanian. Pada siang hari, pada cuaca yang cerah meskipun tanpa adanya alat pemanas suhu ruangan di dalam rumah kaca akan  lebih tinggi bila dibandingkan dengan suhu diluar rumah kaca. Hal tersebut  terjadi karena sinar matahari yang menembus kaca dipantulkan kembali oleh tanaman di dalam rumah kaca yang berupa panas. Sinar yang dipantulkan ini tidak dapat menembus kembali keluar kaca sehingga suhu di dalam rumah kaca menjadi naik dan panas yang dihasilan akan terperangkap di dalam rumah kaca. Efek rumah kaca juga dapat diilustrasikan sebagai sebuah mobil yang diletakkan di bawah terik matahari dengan kodisi jendela mobil tertutup. Bagi masyarakat awam efek rumah kaca  diartikan sebagai adanya rumah-rumah yang banyak menggunakan  kaca.
Iklim global telah berubah pada tingkatan yang cukup besar. Perubahan tersebut terjadi karena adanya peningkatan konsentrasi GRK di atmosfer. Salah satunya adalah gas CO2. Peningkatan konsentrasi gas CO2    di atmosfer terjadi akibat proses pembakaran bahan bakar fosil. Sekitar 20% dari total peningkatan GRK di atmosfer disebabkan oleh emisi CO2 akibat pembakaran.
Dalam Kyoto Protokol telah disepakati untuk memberikan solusi  terhadap meningkatnya  GRK. Walaupun hanya beberapa negara sebagai emitor gas CO2 terutama  negara industri, tetapi dampaknya akan terasa pada keseluruhan otmosfer bumi. Karena angin akan selalu bergerak secara aktif sehingga akan mendistribusikan GRK secara merata. penyebaran emisi gas-gas terutama CO2 tersebar secara sporadic di berbagai tempat, akan tetapi implementasi di lapangan ternyata cukup sulit dan tidak adil. Karena adanya perbedaan yang cukup significant antar negara dalam emisi GRK. Pada tingkat global pengaturan sumber daya alam  yang berkelanjutan, mempertimbangkan dua pemicu emisi GRK yaitu , penggunaan bahan bakar minyak  dan berhubungan dengan adanya alih guna lahan dan konversi hutan.
Salah satu solusi untuk mengurangi emisi GRK adalah  dengan cara pembangunan dan pengelolaan sumber daya  hutan yang berkelanjutan. Dalam konteks sumber daya, paradigma pengelolaan hutan harus bergeser dari sistem yang beorientasi pada ekonomi semata menuju sistem yang berorientasi ekosistem. Sehingga kelestarian fungsi ekologi hutan akan tetap terjaga  sampai generasi yang akan datang. Sudah lama hutan alam tropis menjadi perhatian masyarakat dunia sehubungan dengan penurunan kualitas maupun kuantitasnya. Kondisi yang demikian tidak saja memberikan dampak negatif terhadap masyarakat yang berada pada wilayah negara yang bersangkutan, tetapi juga pada masyarakat internasional berkenaan dengan pengaruhnya terhadap perubahan cuaca  ataupun iklim global, menurunnya keaneka-ragaman hayati ataupun pengaruhnya terhadap aspek lingkungan yang lain. Sampai saat ini laju kerusakan tersebut tidak mencapai titik setaknasi atau paling tidak melambat, melainkan justru semakin cepat. Ada kecenderungan bahwa keadaan yang demikian adalah karena kesalahan dalam pengaturan pengelolaan hutannya.
Tantangan ini cukup berat bagi pengelola hutan untuk mewujudkan suatu usaha pembangunan yang berkelanjutan serta pertimbangan-pertimbangan terhadap kelestarian lingkungan yang harus dapat merespon tekanan dari masyarakat, baik itu masyarakat lokal maupun internasional.   Semakin banyak bentangan hijau dapat diartikan sebagai semakin banyak juga luasan permukaan daun. Kaitannya dengan pengurangan emisi gas CO2 adalah daun melakukan proses fotosintesa untuk pembentukan dan perbanyakan biomassa di dalam pohon. Fotosintesa adalah proses perubahan molekul anorganik oleh tumbuhan menjadi molekul organic.
Akan tetapi tumbuhan hanya melakukan fotosintesa dengan bantuan cahaya matahari. Sebaliknya pada keadaan gelap tumbuhan mengeluarkan CO2  dan mengambil O2 untuk respirasi.Daun-daun akan menangkap energi matahari dalam klorofil. Energi ini lalu digunakan untuk membentuk molekul glukosa dari air dan karbon dioksida.oksigen dikeluarkan sebagai produk sisa, sedangkan glukosa digunakan untuk memperbanyak biomassa.
Salah satu produk dari fotosintesa adalah oksigen yang merupakan kebutuhan vital bagi  makluk hidup dalam proses respirasi. Akan tetapi sering kali kita tidak sadar akan pentingnya kawasan hijau. Perusakan hutan dan bentangan hijau sering dilakukan untuk alasan kepentingan ekonomi. Peniadaan atau pengurangan vegetasi secara drastis dapat mengubah iklim secara lokal dan global. Perubahan iklim lokal akan berkaitan dengan siklus hidrologi dan mengubah wilayah yang lembab menjadi kering. Dampak global dari pengurangan vegetasi adalah berkaitan dengan peran vegetasi dalam memanfaatkan CO2 dari atmosfer. Jika vegetasi berkurang, sedangkan emisi CO2 terus meningkat, maka jelas akan mengakibatkan peningkatan CO2 dalam atmosfer yang tidak terkendali ( Lakitan, 1994 ).
Negara-negara industri maju sebagai penghasil emisi GRK sering kali tidak pernah menghargai kontribusi oksigen yang tanpa bayar dari negara-negara yang mempunyai kawasan hutan yang cukup luas. Sebaliknya mereka malah melakukan komplain terhadap negara-negara yang mengalami kerusakan hutan dalam bentuk pengrusakan, ekploitasi lahan gambut ataupun kebakaran. Baru akhir-akhir ini ada perjanjian antar negara untuk melakukan perdagangan karbon ( Carbon Trading ). Negara-negara industri maju sebagai emitor GRK akan membeli karbon dari negara-negara produsen, termasuk Indonesia.
  1. II. MEKANISME GAS RUMAH KACA
2.1 Gas- gas  rumah kaca ( Green House gases )
Semua kehidupan dibumi di bangun dari unsur  karbon. Karbon ada dalam semua tubuh makluk hidup, dalam laut, dalam air dan dalam bumi itu sendiri (    Pollock, 2000). Karbon yang ada di atmosfer jika bersenyawa dengan oksigen akan membentuk karbon dioksida ( CO2 ).
Tanpa disadari banyak kegiatan manusia yang akan mengakibatkan terjadinya emisi gas rumah kaca. Gas rumah kaca adalah gas-gas yang dapat menyebabkan efek rumah kaca. Kegiatan manusia yang memberikan kontribusi besar terhadap efek rumah kaca adalah proses pembakaran bahan bakar fosil dan   penebangan hutan ( Rahmadianti,dkk, 2004 ). Pada proses pembakaran oksigen  ( O2 ) akan     mengoksidasi karbon ( C ) sehingga akan terbentuk karbon dioksida ( CO2).
C  +  O 2 CO2
Tabel 2.1. Gas rumah kaca dan kontribusinya terhadap efek  rumah kaca
No
Gas rumah kaca
Rumus kimia
Kontribusi
( % )
1
2
3
4
5
6
Karbon dioksida
Metana
Klorofluro karbon R-12
Ozon
Kloro fluro karbon R-12
Nitro oksida
CO2
CH4
CFC R-12
O3
CFC R-11
N2O
50
13
12
7
5
5
Sumber : http//www.student unimess/a.andano/global warming.
Dari table di atas jelas bahwasanya CO2 merupakan kontribusi terbanyak dalam efek rumah kaca. Berturut-turut CH4, CFC R-12, O3, CFC R-11 dan N2O.  CO2 merupakan GRK yang banyak mendapat sorotan pada saat ini. Selain kontribusinya yang sukup besar dalam penyebab efek rumah kaca, CO2 di hasilkan dari dmpak kegiatan manusia, yaitu terutama pembakaran bahan bakar fosil ataupun pembakaran karbon yang masih terikat didalam kayu. Misalnya pada kegiatan pembakaran lahan gambut ataupun pembakaran hutan. Pada proses pembakaran bahan bakar fosil ataupun pembakaran hutan akan menghasilkan 22,02 sampai 25,69 miliar ton CO2 ke atmosfer tiap tahunnnya. Setengah dari jumlah tersebut akan berada dilapisan atmosfer dan setengahnya akan diserap oleh laut, dan tumbuhan darat
Metana merupakan GRK lain yang terdapat secara alami. Gas metana dihasilkan dari degradasi anaerob  terhadap bahan-bahan organic dari mikroorgnisme yang akhirnya akan terlapas ke atmosfer. Ekploitasi rawa juga akan melepaskan gas metana karena di dalam rawa terdapat gas rawa. Aktifitas peternakan juga akan memberikan kontribusi terhadap pelepasan gas metana yang terdapat di dalam feses ternak.
Chlorofluorocarbon ( CFC ) bersifat tidak beracun, tidak mudah terbakar, dan  sangat stabil sehingga banyak digunakan dalam berbagai peralatan. Chlorofluorocarbon yang paling banyak digunakan mempunyai nama dagang ‘Freon’.Dua jenis chlorofluorocarbon yang umum digunakan adalah CFC R-11 dan CFC R-12. Zat-zat tersebut digunakan dalam proses mengembangkan busa, di dalam peralatan pendingin ruangan dan lemari es.
Ozon adalah gas rumah kaca yang terdapat secara alami di atmosfer yaitu  lapisan  stratosfer. Ozon berfungsi untuk menyerap radiasi ultraviolet sehingga tidak akan sampai ke bumi. Ini yang menyebabkan suhu di lapisan stratosfer menjadi tinggi
Di troposfer, ozon merupakan zat pencemar hasil sampingan yang terbentuk ketika sinar matahari bereaksi dengan gas buang kendaraan bermotor.
Dinitrogen oksida adalah salah satu GRK yang terdapat secara alami. Sumber utama gas ini adalah  kegiatan mikroorganisme anaerop dalam tanah yaitu bakteri Pesudomonas, Bacillus, Chromabakteria dan Thiobacillus. Bakteri ini akan akan mengambil oksigen dari nitrat dan nitrit. Pemakaian pupuk nitrogen yang tidak bijak akan meningkatkan jumlah gas N2O di atmosfer ( Barchia, 2009 ).
2.1  Mekanisme Terjadinya Efek Rumah Kaca
Pengaruh Gas-gas Rumah Kaca terhadap terjadinya efek rumah kaca.  tergantung pada besarnya kadar gas rumah kaca di atmosfer, waktu tinggal di atmosfer dan kemampuan penyerapan energi. Peningkatan kadar gas rumah kaca di atmosfer  akan meningkatkan efek rumah kaca yang dapat menyebabkan terjadinya pemanasan global. Waktu tinggal gas rumah kaca di atmosfer juga mempengaruhi efektivitasnya dalam menaikkan suhu bumi. Makin lama waktu tinggal GRK di atmosfer, makin tinggi  pula pengaruhnya terhadap kenaikan suhu. Kemampuan Gas-gas Rumah Kaca dalam mengabsorbsi  panas (sinar inframerah) seiring dengan lamanya waktu tinggal di atmosfer disebut dengan istilah GWP ( Greenhouse Warming Potential ). GWP adalah suatu nilai relatif dimana karbon dioksida diberi nilai 1 sebagai standar.
Tabel. 2.2. Lama waktu tinggal di atmosfer dan  nilai Green House Warwing  Potensial ( GWP ) gas rumag kaca
No
Gas rumah kaca
Lama waktu tinggal ( tahun )
GWP ( relative )
1
2
3
4
5
6
CO2
CH4
CFC R-12
O3
CFC R-11
N2O
50 – 200
10
130
0,1
65
150
1
21
15.800
2.000
12.400
206
Sumber : http//www.student unimess/a.andano/global warming.
Dari tabel diatas terlihat zat-zat chlorofluorocarbon, mempunyai nilai GWP lebih tinggi dari 10.000. Itu berarti bahwa satu molekul zat chlorofluorocarbon mempunyai efek rumah kaca lebih tinggi dari 10.000 molekul karbon dioksida. Dengan kata lain, makin tinggi nilai GWP suatu zat tertentu, makin tinggi pula pengaruhnya terhadap kenaikan suhu bumi.
Secara total, 29 % energi matahari akan dipantulkan oleh atmosfer, 20 % di serap oleh gas-gas atmosfer, dan hanya 51 % yang sampai dipermukaan bumi ( Lakitan, 1994 ). Dari sinar matahari yang sampai ke bumi  yang berupa sinar gelombang pendek, akan dipantulkan lagi oleh bumi sebagai sinar inframerah dengan gelombang panjang. Sinar tersebut akan diserap oleh GRK yang ada di trofosfer sehingga tidak bisa terlepas bebas ke lapisan atas, sehingga akan meningkatkan suhu bumi akibat terperangkapnya sinar pantulan dari bumi. Hal tersebut dapat mengakibatkan terjadinya efek rumah kaca.  Mekanisme terjadinya efek rumah kaca terlihat seperti gambar berikut.
Sumber :http//www.pemanasanglobalblokspotcom
2.2 Pencegahan efek rumah kaca
Meningkatnya emisi GRK di lapisan atmosfer bisa jadi akan terus meningkat tanpa adanya usaha pencegahan atau pengurangan emisi yang harus dilakukan oleh manusia. Hubungannya dengan pengurangan emisi gas CO2 di atmosfer adalah, pertama menggunakan bahan bakar alternativ akan bahan bakar minyak atau penggunaan bahan bakar minyak seefisien mungkin. Kedua, dengan cara pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan (Sustainable development ) ( Abdurahman, 2003 ) Aplikasi pada sektor kehutanan adalah  pengelolaan sumber daya hutan yang berkelanjutan yang berorientasi kepada kelestarian ekosistem.
UU No 41 tahun 1999, tentang Kehutanan pada pasal 10 ayat 2 dinyatakan bahwa  pengurusan hutan meliputi kegiatan penyelengaraan :
  1. Perencanaan kehutanan
  2. Pengelolaan hutan
  3. Penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan serta penyuluhan kehutanan
  4. Pengawasan
Sedangkan pada pasal 21 menyatakan bahwa pengelolaan hutan meliputi :
  1. Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan
  2. Pmanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan
  3. Rehabilitasi dan reklamasi hutan
  4. Perlindungan hutan dan konservasi alam
Untuk mendapatkan hasil yang optimal terhadap pengurangan emisi gas CO2 pengelolaan sumber daya hutan harus dilakukan dengan azas demokrasi,transparasi, partisipasi dan akuntabilitas.
Keberadaan hutan  dan kelestarian vegetasi diaggap penting dalam mencegah atau mengurangi efek rumah kaca. Hal ini karena hutan dan vegetasi lain dapat mengambil CO2 dari atmosfer untuk proses fotosintesa dan melepaskan O2 sebagai salah satu hasil dari proses fotosintesa. Berikut adalah reaksi fosintesa (   Burnie, 2000 ):
cahaya
6  H2 O + 6 C O2                                              C6 H12 O6  +  6  O2
Dari reaksi diatas jelas bahwa semakin banyak permukaan daun tumbuhan yang melakukan proses fotosintesa akan semakin banyak pula gas CO2 yang akan dibutuhkan.
Fotosintesa mungkin merupakan fungsi yang  yang terpenting dalam ekosistem karena fotosintesa merupakan satu-satunya jalan masuknya energi matahari kedalam system kehidupan ( Wiryono, 2009 ). Lebih lanjut dijelaskan bahwa hasil dari ekosistem berupa biomassa merupakan bahan makanan bagi manusia  dan makhluk lain, bahan bangunan atau bahan pakaian. Bahkan fosil dari biomassa tumbuhan dan hewan menjadi bahan bakar minyak, gas dan batu bara.
Tidak ada cara lain untuk mengurangi emisi GRK kecuali melalui proses fotosintesa, akan tetapi banyak cara untuk menambah emisi GRK. Oleh sebab itu pembangunan sumber daya hutan dan menambah bentangan hijauan adalah salah satu solusi untuk mengurangi emisi GRK.
  1. III. KESIMPULAN
Konstribusi gas CO2 di dalam atmosfer terhadap efek rumah kaca adalah 50 % diantara GRK yag lain. Penggunaan bahan bakar minyak yang tidak efisien, eksploitasi lahan gambut secara besar-besaran, peniadaan atau pengurangan vegetasi serta pembabatan hutan akan menambah emisi gas CO2 dalam lapisan atmosfer. Efek rumah
kaca dapat berdampak kepada semua kehidupan yang ada di permukaan bumi karena terus meningkatnya suhu bumi akibat terperangkapnya  radiasi sinar infra merah matahari oleh GRK dalam lapisan troposfer.
Untuk menyelamatkan kehidupan bumi dan demi generasi kita dimasa yang akan datang penerapan hidup yang tidak konsumtif dan tetap menjaga kelestarian ekologi hutan adalah suatu tindakan prefentif akan efek rumah kaca.  Pola hidup yang ddemikian merupakan salah satu manifestasi dari  prinsip etika lingkungan. Etika lingkungan adalah petunjuk atau arah perilaku praktis manusia dalam mengusahakan terwujudnya moral lingkungan(Soerjadi,M dkk, 2008 ). Karena dengan etika lingkungan  bisa membatasi tingkah laku dan upaya untuk mengendalikan  berbagai kegiatan agar tetap berada dalam batas kepentingan   lingkungan hidup kita.
UCAPAN TERIMAKASIH
Di dalam penulisan ini tentunya penulis tidak terlepas dari beberapa pihak yang ikut memberikan kontribusi besar dalam penyelesaian tulisan ini. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih kepada :
  1. Prof, Urip Santoso,M.Sc, S.I.Kom,Ph.D,  atas bimbingannya dalam penulisan ini
  2. Muhammad Nasir, S.Kom,  atas penelusuran litelatur
Semoga mendapat imbalan pahala yang setimpal dari Allah Swt
DAFTAR PUSTAKA
Abdurahman.  2006. Pembangunan Berkelanjutan dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam di Indonesia  halaman 1. Prosiding Seminar Pembagunan Hukum Nasional. Denpasar. 14-18 Juli 2003.
Burnie, D. 2000. Kehidupan. Balai Pustaka. Jakarta.
Barchia,F,M. 2009.Agroekosistem Tanah Mineral Masam. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Dampak Pemanasan Global dapat Menyebabkan Bencana di Bumi  pada tahun 2012.   Bertindaklah Sekarang. 2009. http//www.Idonbik.com.html ( 10 Maret 2010 ).
Efek Rumah Kaca/ Green House Effect ( tanpa tahun ). http//www.Lasoneart.wordpress.com.html ( 10 Maret 2010 ).
Fahri.2009 Global Warming. http//www.fahri feblok.Norrpress.com. html ( 10 Maret 2010 ).
Green House Effect. ( tanpa tahun ). http//www.en wikipedia.org/wiki/. html ( 10 Maret  2010 ).
Global Warming. 2009. http//www.student unimess/a.andano/global warming. Html ( 10 Maret 2010 ).
Jurusan Geofisika dan Meteorologi. F MIPA-IPB. 1995. Klimatologi Dasar. Bandung.
Lakitan,B. 1994. Dasar-dasar Klimatologi. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
PPRGT/VEDC. 1999. http//www.Pemanasan Global.blogspot com. Html ( 10 Maret 2010 ).
Pollock,S. 2000. Ekologi. Balai Pustaka. Jakarta.
Rahmadianti.Susantini, E. Suyono. Nugroho,A,N. Parlan. Sukarmin. Azizah, U.Wasis. Kusairi, S. Kusnanto, H. Supardi, I, A, Z. Sunarti, T. 2004.Sains. Depdiknas . Jakarta.
Santoso, I. 2008. Perjalanan Desentralisasi Pengelolaan Sumber Daya Hutan di Indonesia. Prosiding Seminar Ten Year Along. Universitas Admajaya. Jakarta.
Serjani, M. Ahmad, R. Munir, R. 2008. Lingkungan : Sumber Daya Alam dan Kependudukan dalam Pembangunan. UI Press. Jakarta.
Undang- Undang No 41 tahun 1999. Tentang Kehutanan.
Wiryono. 2009. Ekologi Hutan. UNIB Press. Bengkulu.


Posted by uwityangyoyo on January 14, 2010
Agusman Yulianto
Abstrak
Salah satu fungsilahan sawah adalah kemampuannya untuk mempreservasi air (air yang sudah digunakan pada sawah dapat didaur ulang secara alami). Perkiraan jumlah air yang dipreservasi didasarkan pada neraca air yang ada pada system sawah. Lahan sawah menerima air dalam bentuk hujan serta irigasi, selanjut air yang keluar berbentuk aliran permukaan (run off), penguapan dan evapotranspirasi, serta perkolasi.air aliran permukaan dan aliran bawah permukaan (sub-surface flow) sebagiannya akan mencapai sungai serta bendungan dan dapat digunakan kembali untuk irigasi. Demikian pula air perkolasi mengisi kembali air tanah dan air tanah ini dapat digunakan kembali untuk berbagai keperluan. Metode Replacement Cost dipakai dalam peniaian fungsi sawah dalam preservasi air tanah. Luas lahan wilayah yang dinilai seluas 199.985 ha terletak didaerah aliran Sungai Citarum. Lahan sawah didaerah aliran sungai Citarum mempreservasi air tanah sebesar 169.937.254 m³/tahun,sebagian dapat digunakan untuk irigasi dan sebagian untuk air minum. Jumlah tersebut apabila dinilai secara ekonomi setara dengan US$ 5.098.000/tahun untuk irigasi dan US$ 8.744.680/tahun untuk air minum. Alih fungsi lahan sawah menyebabkan berkurangnya salah satu fungsi lingkungan yaitu fungsi preservasi air tanah.
Kata kunci : Preservasi, lahan sawah, irigasi, lingkungan.
I. PENDAHULUAN
1.1.  Latar Belakang
Sebagai salah satu Negara tropis, air merupakan salah satu sumber daya alam penting walaupun terkadang tidak mendapat banyak perhatian, kecuali apabila terdapat kelangkaan atau kekeringan ataupun berlimpah (banjir). Kelangkaan air bagi pertanian dapat disebabkan antara lain karena menciutnya areal pertanian menjadi areal urban dan industri. Sumber daya air tanah berkurang dan upaya mendapatkan sumber daya air baru terhenti karena alasan biaya dan lingkungan. Situasi ini dimasa depan dapat merupakan ancaman serius bagi negara kita terutama bagi ketahanan pangan. Hal demikian sudah terjadi di Pakistan yang merupakan negara irigasi terbesar di dunia yang mengalami peningkatan kekeringan dari tahun ketahun seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk (IWMI, 2001).
Bagi kehidupan makhluk, air bukan merupakan hal yang baru, karena kita ketahui bersama tidak satupun kehidupan di dunia ini dapat berlangsung tanpa adanya air. Oleh karena itu, air dikatakan sebagai benda mutlak yang harus ada dalam kehidupan manusia keberadaan air dimuka bumi diketahui menempati lebih kurang ¾ bagian  dari luas permukaan bumi. Dari seluruhan sumber di bumi, ternyata 97% lautan dan 3% sisanya merupakan air hujan, salju, dan air dalam tanah.
Kebijakan yang kurang tepat terutama dalam penempatan berbagai kawasan industri pada area pertanian yang subur khususnya dilahan sawah merupakan ancaman bagi produksi padi. Hal ini terutama disebabkan karena produksi padi umumnya berasal dari lahan sawah., sehingga perubahan fungsi lahan sawah akan berakibat nyata terhadap ketahanan pangan. Hasil penelitian Wahyunto et al. (2001) mendapatkan bahwa selama periode tahun 1969 sampai tahun 2000 lahan sawah di Sub DAS Citarik berkurang 3% atau seluas 787 ha. Selain itu, selama kurun waktu 30 tahun paling sedikit 8% atau seluas 2.079 ha lahan hutan berubah menjadi area pertanian lahan kering dan perkebunan. Dibandingkan dengan Sub DAS lainnya dari DAS Citarum, Sub DAS Citarik yang terdapat di Kabupaten Sumedang dan Bandung merupakan areal yang mengalami perubahan penggunaan lahan, baik karena tekanan penduduk maupun faktor lainnya seperti perkembangan industri, jasa dan properti.
Sungai Citarum merupakan sungai terbesar di Propinsi Jawa Barat, yang sebagian besar pemanfaatanya adalah untuk irigasi lahan sawah. Propinsi ini dihuni oleh sekitar 44 juta jiwa  yang sebagian besar penduduknya bergantung disektor pertanian dan merupakan salah satu daerah penghasil padi yang secara nyata berkontribusi sebagai pemasok padi Nasional (Biro Pusat Statistik, 2000).
Tiga buah waduk telah dibangun disepanjang Sungai Citarumyang mengalir dari Kabupaten Sumedang dibagian utara dan Kabupaten Bandung di selatan, bermuara kepantai utara pulau Jawa. Waduk pertama adalah Saguling, kedua Cirata dan yang ketiga Jatiluhur berada di Kabupaten Purwakarta merupakan salah satu sumber air minum bagi Propinsi DKI Jaya melalui saluran induk Tarum Barat.
Selain kemampuannya dalam menghasilkan bahan pangan dan serat, lahan sawah mempunyai fungsi atau manfaat. Fungsi lain lahan sawah yang akhir-akhir ini banyak mendapat perhatian Internasional adalah kemampuannya untuk pencegahan banjir, konservasi sumber daya air, pencegahan terjadinya longsor dan kemampuannya untuk pemanfaatan rekreasi (Yoshida, 2001).
Peranan air terutama dalam produksi pertanian sudah banyak diketahui, khususnya penggunaan air untuk kepentingan irigasi. Demikian juga untuk kepentingan lainnya seperti rumaah tangga dan industri. Peran atau funsi laahan sawah daalam preservasi melalui proses infiltrasi dan perkolasi menyebabkan tersimpannya air dalam tanah. Pemanfaatan air tersebut belum banyak dievaluasi atau dinilai orang.
1.2. Tujuan Penulisan
Melakukan penilaian terhadap jumlah sumber daya air tanah di DAS Citarum sebagai akibat dari adanya lahan sawah dan selanjutnya di evaluasi secara ekonomi dengan menggunakan metode biaya pengganti (replacement cost method).
1.3. Manfaat luaran penulisan
Memberikan informasi tentang nilai ataupun harga dari fungsi lahan sawah dalam preservasi air dan kontribusinya dalam konservasi tanah, menahan banjir dan fungsi lainnya yang merupakan harga moneter nonmarket dari lahan sawah.
Selanjutnya dengan pertimbangan non market value, lahan sawah diharapkan memberikan apresiasi kepada pengguna khususnya penentu kebijakan untuk secara optimal memanfaatkan sumber daya alam yang ada sesuai dengan kemampuannya.
II. METODOLOGI PENULISAN
Metodologi penulisan dilakukan dengan melakukan telaah pustaka. Pengumpulan pustaka/literature dilakukan dengan searching, browsing buku, jurnal dan artikel diperpustakaan dan internet. Kemudian pustaka/literature yang didapat dianalisis dan ditelaah untuk mendapatkan ragam informasi yang dibutuhkan dan selanjutnya mensintesisnya untuk mendapatkan sebuah informasi yang baru. Dalam menganalisa-sintesis pustaka/literature yang ada digunakan  metode induksi.
III. ISI DAN PEMBAHASAN
3.1. Deskripsi Umum
Berdasarkan pada hukum alam yang berlaku, tidak semua air ada di bumi selalu mengikuti daur (cyclus) air. Beberapa diantaranya ada yang secara kekal menetap di alam  seperti air kutub, air dibawah lapisan tanah yang dalam dan berada ditempat tersebut sejak beberapa ribu yang silam. Waktu yang dibutuhkan oleh air permukaan untuk mengikuti siklus air secara lengkap (perkolasi-evaporasi dilaut  presipitasi) adalah selama kurang lebih tiga empat tahun tergantung lama nya air berada dipermukaan tanah seperti di danau rawa, bendung dan lain sebagainya. Bagi air yang mengalami siklus yang tidak lengkap (missal presipitasi-evaporasi-presipitasi) diperlukan waktu yang relative lebih singkat lagi, mungkin dalam hitungan harian atau bahkan dalam beberapa jam saja.
DAS Citarum dengan area sekitar 748.460 ha mempunyai tiga buah waduk, yaitu Saguling di selatan, Cirata dibagiann tengah, serta Jatiluhur dibagian utara. Ketiga waduk tersebut mempunyai peran yang sangat penting untuk industri karena merupakan sumber listrik bagi pulau Jawa dan Bali, selain untuk kepentingan perikanan dan pertanian. Bagian DAS yaitu di bagian hulu waduk Saguling mencakup area seluas 257.600 ha, bagian hulu waduk Cirata  termasuk bagian hulu Saguling seluas 415.700 ha serta bagian hulu sub DAS Jatiluhur seluas 456.900 ha (Wahyunto, et al., 2002). Penggunaan tanah bervariasi dan didominasi oleh pertanian campuran (mixed farming) yang merupakan kombinasi tanaman semusim dan tahunan, pertanian lahan kering serta sawah. Curah hujan tahunan di daerah hulu yaitu di dataran Bandung bervariasi dari sekitar 1.700 mm di tengah Bandung plateau sampai 3.600 mm di bagian utara, dan sekitar 3000 mm di bagian selatan. Berdasarkan data sepuluh tahunan (1989 – 1998), curah hujan rata-rata disekitar bagian Barat dataran Bandung mencapai 2097 mm (Pudjiadi, 1999).
Pengelolaan curah hujan dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama memandang hujan sebagai informasi dengan melakukan pengumpulan, analisis dan interpretasi data hujan dengan baik serta menggunakannya sesuai kebutuhan. Kedua adalah mengelola air hujan di tanah dan memanfaatkannya secara efisien dan efektif bagi peningkatan produksi tanaman.
Adapun dasar pemanfaatan curah hujan adalah dengan memperhitungkan keseimbangan antara air yang diterima dan dikeluarkan oleh suatu lahan pertanian atau lebih dikenal dengan istilah neraca air. Hasil perhitungan neraca air berupa berupa perubahan kadar air tanah, surplus dan deficit air serta limpasan.
Keseimbangan air ditanah pertanian tergantung pada air yang diterima dari air hujan dan pengairan dengan kehilangan air oleh limpasan (run off), rembesan (perkolasi), dan penguapan (evapotranspirasi) dari tanah yang bersangkutan.
Berdasarkan kesetimbangan, air yang tersedia dan dapat digunakan oleh tanaman hanya sedikit, sebab tanaman hanya menyerap air dari lapisan permukaan, yaitu sebatas jelajah akar tanaman. Laju kehilangan air dari tanah sedaalam jelajah akar tanaman, berbeda pada setiap jenis tanah, bahkan pada setiap lahan pertanian, hal mini tergantung pada kemampuan tanah untuk menahan air (water holding capacity), jenis tanaman dan fase pertumbuhan tanaman, serta perpaduan antara tanaman dan tanah.
3.2. Fungsi konservasi sumber daya air
Perhitungan serta prakiraan jumlah air yang dipreservasi didasarkan pada keseimbangan air yang ada di lahan sawah. Lahan sawah menerima air dalam bentuk hujan serta irigasi. Selanjutnya air yang keluar berbentuk aliran permukaan (run- off), penguapan dan transpirasi (evapotranspirasi) serta perkolasi.
Didalam DAS yang baik, air perkolasi tersebut secara kontinyu akan mengalir dan mengisi waduk waduk melalui aliran bawah tanah.
Air tanah yang dipreservasi ini merupakan salah satu fungsi eksternal dari sawah dan dapat dievaluasi menggunakan statistic dan penjelasan deskriftif. Beberapa metode yang digunakan untuk mengevaluasi fungsi eksternal yaitu : Damage Cost Avoided (DCA), Substitute Cost Method (SCM), dan Replacement Cost Method (RCM). Metode biaya pengganti digunakan untuk menaksir biaya pengganti yang disebabkan oleh lingkungan (ecosystems services) (Yabe, 2002; Matsumoto, 2002), termasuk diantaranya fungsi preservasi air.
Penilaian preservasi air menggunakan metode RCM dengan persamaan sebagai berikut :
WCr = (RO + LSS) x A x (Dc + Mc)
Dimana :
WCr = biaya pengganti  (replacement cost) dari irigasi dan hujan melalui sawah yang akhirnya mencapai sungai dan waduk (US$/tahun)
RO = jumlah air aliran permukaan tahunan berasal dari sawah dan berakhir di waduk (m³/tahun)
LSS = aliran air bawah tanah lateral (diasumsi 75%) sebagai bagian dari perkolasi dari sawah dan berakhir di waduk melalui aliran lateral (m³/tahun)
A =  luas sawah (m²)
Dc = biaya penyusutan waduk untuk setiap unit air yang disimpan   (US$/m³/tahun)
Mc = biaya pemelihaaraan waduk untuk setiap unit air yang disimpan (US$/m³/tahun)
Untuk mendapatkan data dan parameter-parameter yang digunakan dalam menilai preservasi air dari lahan sawah dilakukan melalui studi literature dan survey lapangan untuk memperkirakan nilai tersebut. Data serta metode/sumber data dalam perkiraan nilai preservasi air disajikan pada tabel 1.
Tabel 1. Data serta metode/sumber data dalam perkiraan nilai  preservasi air di DAS Citarum
Data yang diperlukan
Sumber/metode perkiraan
Total volume air irigasi
Jumlah air yang melalui sawah dan akhirnya mengalir ke sungai
Jumlah air tanah yang diperlukan (pertanian)
Biaya perawatan dan depresiasi dari waduk
Dan bangunan irigasi
Studi literature, data statistic
Survei lapangan, studi literature
Survei lapangan dan/atau perkiraan
Perusahaan listrik tenaga air (PLTA)
Kebutuhan air irigasi padi sawah yang pernah dihitung oleh Fagi dan Sanusi (1983), berdasarkan rumus PB = ET + (S + P) – ER, dimana PB = kebutuhan air irigasi; ET = evapotranspirasi; S = limpasan air dibawah permukaan (seepage); P = perkolasi; ER = curah hujan efektif. Kebutuhan air irigasi padi sawah dari tanam sampai pengisian gabah rata-rata 13 mm/hari. Jumlah kebutuhan air ini lebih banyak dari hasil penelitian lainnya. Untuk keperluan irigasi, Didiek (1998) mendapatkan jumlah air antara 535,5 sampai 735,8 mm selama kurang lebih 70 hari. Umumnya Perum Otorita Jatiluhur menyediakan air irigasi selama 11  bulan. Sembilan bulan dari penyediaan air itu digunakan untuk pertanaman padi dua kali daalam setahun, sisa waktu yang ada umumnya untuk penanaman Palawija. Pola pertanaman padi dua kali dalam setahun dipilih untuk perhitungan penggunaan air untuk seluruh area DAS Citarum. Dengan asumsi ini, air irigasi yang tersedia  selama 120 hari dalam setahun. Selain dari irigasi, untuk perhitungan air yang masuk kelahan sawah berbentuk hujan diasumsikan  sebesar 2.500 mm/tahun.
Air perkolasi merupakan air yang terinfiltrasi kemudian dapat mengalir sebagai rembesan (seepage) ataupun mengalir kebagian bawah. Besarnya perkolasi menurut Fagi dan Sanusi (1993) adalah sebesar 10,3 mm/hari. Sedangkan evapotranspirasi sebesar 4 mm/hari.
Dari studinya didataran Bandung, Pudjiadi (1999) mendapatkankan jumlah evapotranspirasi yang dihitung berdasarkan  metode Penman, jumlah yang bervariasi  dari 2,71 mm/hari (Mei) sampai 3,80 mm/hari (September). Nilai evapotranspirasi  di Korea adalah sebesar 3,35 mm/hari (Eom and Kang, 2001) lebih kecil dibandingkan dengan asumsi nilai evapotranspirasi untuk perhitungan ini yaitu sebesar 4 mm/hari. Asumsi ini disebabkan antara lain tingginya temperature  serta lama penyinaran matahari di Indonesia. Lama perkolasi secara umum adalah 110 hari untuk setiap musim tanam, walaupun dibeberapa daerah terdapat padi yang dapat dipanen kurang dari 100 hari. Beberapa varietas padi dan umur panen nya antara lain Mamberamo 115 hari, Cisantana, Widas, dan Ciherang antara 118 – 125 hari.
Dari perkiraan jumlah air yang terinfiltrasi selanjutnya berperkolasi menjadi air tanah, Kyun (2001) serta Eom and Kang (2001) memperkirakan sejumlah 45%  yang menjadi air tanah. Pulawski (1974) dalam Pudjiadi (1999) dengan studi kapasitas infiltrasinya dibeberapa daerah di dataran Bandung memperkirakan 40 – 85% air hujan terinfiltrasi kedalam tanah. Untuk perhitungan ini persentase air yang terinfiltrasi tersebut sebagian besar (75%) mengalir kembali ke sungai. Sisanya sebanyak 25% merupakan bagian yang menjadi air tanah.
Data dan asumsi tersebut terlihat sederhana, walaupun dalam kenyataan dilapangan sangat kompleks dan merupakan suatu rangkaian yang saling berhubungan. Hal ini antara lain dikemukakan oleh Molden et al . (2001), cara penggunaan air disalah satu bagian dari DAS akan berakibat pada penggunaan air tersebut dibagian lain dari DAS. Oleh karena itu pengembangan dan pengolahan  DAS merupakan hal yang rumit. Walaupun demikian pendekatan asumsi-asumsi yang umum tersebut diharapkan mendekati nilai sebenarnya.
Berdasarkan asumsi tersebut diatas neraca air untuk sawah di DAS Citarum dihitung dan disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Neraca air pada lahan sawah di DAS Citarum
Item
Kecepatan
Lama
Jumlah
Input :
Irigasi
Hujan
Total
Output :
Perkolasi
Mengalir kembali kesungai
Air tanah
Evapotranspirasi
Run off
mm/hari
13
10,3
4
hari/tahun
120
220
365
mm/tahun
1.560
2.500
4.060
2.266
1.700
567
1.460
334
Selanjutnya biaya pengganti (replacement cost) untuk fungsi konservasi/preservasi air tanah dihitung dengan biaya depresiasi waduk sebesar US$ 0,003/m³/tahun. Biaya depresiasi dan pemeliharaan waduk berasal dari biaya rata-rata depresiasi dan pemeliharaan ketiga waduk. Asumsi harga air bersih dihitung dari harga air dibagi jumlah air yang disalurkan pada tahun 2000 di kota Bandung, yaitu sebesar US$ 0,1/m³ (Biro Pusat Statistik Kota Bandung, 2000) dengan kurs 1 US$ sebesar Rp. 10.000,-.
Luas lahan sawah di DAS Citarum sebesar 199.985 ha dan area ini memberikan kontribusi terhadap air tanah. Selanjutnya diperhitungkan pula jumlah air tanah yang di konsumsi oleh penduduk untuk keperluan sehari-hari. Total biaya keseluruhan setelah perhitungan neraca air dan luas area sawah diketahui, ditampilkan pada tabel 3.
Tabel 3. Jumlah air serta biaya pengganti (replacement cost) air tanah di DAS Citarum
Item
Jumlah
Jumlah air yang mengalir dari sawah kembali ke sungai (m³/tahun
Jumlah air perkolasi yang menjadi air tanah (m³/tahun)
Luas lahan sawah (ha)
Volume air perkolasi yang menjadi air tanah (m³)
Volume air perkolasi yang mengalir ke sungai (m³)
Volume air tanah (m³/tahun)
Biaya depresiasi dam (US$/m³/tahun)
Biaya pemeliharaan dam (US$/m³/tahun)
Nilai konservasi air lahan sawah (US$/tahun)
Konsumsi domestic air di Saguling (m³/tahun)
Konsumsi domestic air di Jatiluhur (m³/tahun)
Penyimpanan air tanah total di Saguling (m³)
Asumsi total air tanah di Jatiluhur (m³)
Harga air minum (US$/m³)
20.340
5.670
199.985
169.937.254
4.066.694.975
169.937.254
0,045
0,003
5.098.118
49.300.000
87.446.800
339.680.000
602.513.773
0,10
Nilai konsumsi air perkolasi (US$/tahun)
Jumlah total konservasi air dari lahan sawah (US$/tahun)
8.744.680
13.842.798
Total nilai harga untuk fungsi konservasi air tanah setiap tahun adalah US$ 5.098.118. Dari jumlah ini ditambahkan penggunaan air untuk konsumsi penduduk sebesar US$ 8.744.680. Nilai ini akan bertambah apabila biaya keseluruhan dari instalasi air pompa atau sumur, saluran utama, dan saluran penyalur ke pengguna ikut di perhitungkan.
Pendekatan dalam pengelolaan sumber daya air adalah dengan melalui supply management dan demand management. Supply management adalah mempertahankan pasokan dan permintaan yang seimbang didalam suatu wilayah, atau satuan pengelolaan lainnya.
Dalam supply management lebih ditekankan kepada upaya peningkatan ketersediaan air melalui penyediaan prasarana fisik maupun non fisik.
Demand management adalah lebih menekankan pada upaya pengaturan permintaan. Pengaturan tersebut menjaga agar permintaan air tidak memuncak pada saat yang bersamaan dengan penjadwaalan dan upaya menekan permintaan. Pengelolaan yang diperlukan adalah menyimpan air pada waktu berlebihan dimusim penghujan dan memanfaatkannya pada waktu kekurangan dimusim kemarau. Lingkup penangnanan yang perlu ditingkatkan antara lain adalah pengelolaan data sumber daya air, pengalokasian air, pengelolaan kualitas, pengelolaan banjir, pemantapan operasi dan pemeliharaan.
IV. KESIMPULAN
Kebijakan penempatan berbagai kawasan industri pada areal pertanian yang subur khususnya lahan sawah merupakan ancaman bagi produksi padi dan berdampak negative bagi lingkungan. Alih fungsi lahan sawah menyebabkan berkurangnya salah satu fungsi lingkungan yaitu sebagai pendaur ulang air.
Lahan sawah seluas 199.985 ha di DAS Citarum  mempreservasi air tanah 169.937.254 m³/tahun. Nilai air tersebut dengan menggunakan replacement cost setara dengan US$ 5.098.000 untuk sebagian air yang digunakan kembali untuk irigasi dan US$ 8.744. 700/tahun bila 87 juta m³ air tersebut (yang mengisi air tanah) digunakan kembali untuk air minum.
Fungsi preservasi air akan berkurang sejalan dengan konversi lahan sawah. Oleh sebab itu nilai eksternal ini perlu menjadi bahan pertimbangan dalam konversi lahan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Urip Santoso, S.IKom., Ph.D. yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan dalam pengkayaan materi kepada penulis, sehingga penyusunan Karya Ilmiah ini dapat diselesaikan.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Kota Bandung, 2000. Bandung City in Figures 2000. CV. Ramadhan. Bandung.
Biro Pusat Statistik. 2000. Statistical Year Book of Indonesia. Biro Pusat Statistik. Jakarta.
Didiek, S.B. 1998. Alternative technique of water saving through intermittent irrigation system for rice crop. International Commision on Irrigation and Drainage. Volume II-A.31.p. 1-8 In Proceeding Water and Land Resources Development and Management for Sustainable Use. The tenth Afro-Asian Regional Conference. Bali, 19-24 July 1998.
Eom, K.C., and K.K.Kang. 2001. Assesment of environmental multifunctions of  rice paddy and upland farming in the republic of  korea. P. 37-48. International Seminar on Multi- Functionality of agriculture, 17 – 19 october 2001. JIRCAS, Tsukuba, Ibaraki, Japan.
Fagi, A.M. dan S.A. Sanusi. 1983. Meningkatkan efisiensi air irigasi dengan tekhnik budidaya tanaman pangan dan tehknik pengairan. Kumpulan makalah lokakarya penelitian padi, cibogo, Bogor 22-24 maret 1983. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. (Unpublished)
IWMI. 2001. Annual Report 2000-2001. Improving Water and Land Resources Management for Food, Livelihoods and Nature. Case Studies, Impacts and Outputs, Strategic Priorities 2000-2005. International Water Management Institute (IWMI) Colombo. Srilangka.
Kyun, Suh Dong. 2001. Social and economic evaluation of multi-functional roles of paddy farming. Rural Development administration, Farm Management Bureau, Republic of  Korea. P. 151 – 168. International Seminar on Multi-functionality of Agriculture, 17 – 19 October 2001. JIRCAS, Tsukaba, Ibaraki, Japan (Unpublished)
Matsumoto, R. 2002. Concept of Multifunctionality of Agriculture. Report of the Second Experts Meeting of the ASEAN-Japan Project on Multifunctionality of Paddy Farming and its Effects in ASEAN member countries, 7 – 9 Agustus 2002. Hanoi Vietnam, (Unpublished)
Molden, D.R., Sakthivadivel, and Jack Keller. 2001. Hydronomic Zones for Developing Basin Water Conservation Strategies Research Report 56. IWMI, Colombo. Srilanka.
Pudjiadi 1999. Hydrogeological Investigation for Locating the Collector Well in Lagadar-Nanjung-Margaasih areas, West Java, Indonesia. PT. Pudjiadi Prestige Ltd. Jakarta.
UNDP/GEF/IMO. 1998. Natural Resources Damage Assesment Manual for Ecosystem.
Wahyunto, M. Zainal Abidin, Adi Priyono, dan Sunaryo. 2001 Studi perubahan   penggunaan lahan di sub DAS Citarik, Jawa Barat dan DAS Kaligarang Jawa Tengah hlm. 39-63 dalam Prosiding Seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah. Bogor, 1 Mei 2001. Departemen Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan, Pertanian Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Wahyunto, H Sastramihardja, W. Wahdini, W. Priatna, dan Soenaryo. 2003. Potensi kerawanan longsor pada wilayah lahan pertanian di daerah aliran sungai citarum, Jawa Barat. Hlm. 99 – 112 dalam Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian. Bogor, 2 Oktober dan Jakarta, 25 Oktober 2002. Departemen Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Yabe, M. 2002. Introduction of Examples in Quantitative Analysis on Multifunctionality. Report of the Second Experts eeting of ASEAN-Japan Project on Multifunctionality of Paddy Farming and Its Effects in ASEAN Member Countries, Hanoi, Vietnam 7-9 Agustus 2002. (Unpublished)
Yoshida, K. 2001. An Economic Evaluation of the Multifunctional of Agriculture and Rural Areas in Japan. Policy Research Institute. MAFF, Japan.


Posted by uwityangyoyo on January 10, 2010
Agusman Yulianto
Abstrak
Pergeseran fungsi lahan pertanian menjadi non-pertanian merupakan salah satu penyebab rendahnya laju peningkatan populasi ternak, khususnya ternak ruminansia. Oleh karena itu pendekatan yang perlu ditempuh adalah melakukan integrasi pemanfaatan lahan tanaman tahunan, misalnya diversifikasi usaha perkebunan dengan peternakan, khususnya ternak ruminansia. Pemanfaatan pakan alternative yang dapat menjadi pakan hijauan andalan dimasa mendatang perlu ditingkatkan dengan mengoptimalkan fungsi lahan perkebunan yang ada. Dengan tata laksana yang baik dan benar terhadap pemanfaatan produk samping tanaman kelapa sawit akan sangat membantu para pekebun dalam penyediaan pakan hijauan. Pelepah kelapa sawit yang belum dimanfaatkan seoptimal mungkin merupakan salah satu bahan pakan hijauan alternative yang perlu dikerjakan, disamping produk samping hasil pengolahan minyak sawit, seperti Lumpur sawit, serat perasan,  bungkil dan tandan kosong. Batang kelapa sawit berpotensi sebagai pakan dasar untuk menggantikan hijauan sebagian atau seluruhnya. Dengan komposisi 30% batang sawit dan 70% konsentrat diperoleh pertambahan bobot badan sebesar 0,66-0,72 kg pada sapi, sebanding dengan penggunaan jerami (0,71 kg). Akan tetapi efisiensi penggunaan pakan lebih pada penggunaan batang sawit silase (FCR=8,84) dibanding dengan jerami (FCR=10,73).
Biomassa yang dapat dihasilkan dari satu luasan tanaman kelapa sawit dapat mencapai 10 ton per hektar per tahun. Jumlah tersebut sangat potensial untuk dijadikan pakan komplit berbasis produk samping kelapa sawit. Sebagai kosekuensinya tingkat produktivitas ternak ruminansia, khususnya sapi dapat ditingkatkan.
Kata kunci : Perkebunan, pelepah kelapa sawit, pakan hijauan, sapi potong.
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Untuk memenuhi permintaan daging Nasional yang meningkat dari tahun ke tahun, Pemerintah cq. Pihak swasta mendatangkan daging atau ternak bakalan untuk dipotong dari Negara Produsen. Ternak sapi yang semula merupakan pemasok daging Nasional tertinggi (53%) berangsur-angsur turun sumbangannya menjadi 24% pada akhir PJP I. Disisi lain dilaporkan bahwa laju pertumbuhanpopulasi sapi cenderung lambat, dan hal tersebut merupakan salah satu penyebabnya dan mempunyai kaitan erat dengan penyusutan lahan pertanian yang beralih fungsi ke non pertanian. Untuk mengejar ketertinggalan pengadaan daging Nasional, maka upaya meningkatkan produksi sapi potong Nasional melalui pendekatan kualitatif (produktifitas per unit ternak) dan kuantitatif (peningkatan populasi) harus dilakukan. Pendekatan kualitatif sedang dilakukan melalui perbaikan mutu genetik sapi lokal dengan mempergunakan teknik inseminasi buatan (IB). Perbaikan potensi genetic telah dilakukan dan sedang bejalan dengan menggunakan teknik inseminasi buatan (IB). Namun demikian, untuk mencapai asil yang diharapkan, yaitu tingkat produksi yang tinggi, maka perbaikan mutu genetic sapi, terutama sapi potong lokal harus diimbangi dengan perbaikan pakan dan pola pemberian pakan yang memenuhi kebutuhan ternak (JALALUDIN et al., 1991b). ZARATE (1996) melaporkan bahwa program pemuliaan ternak akan sangat tergantung pada aspek tata laksana dan ketersediaan pakan yang berkelanjutan. Ditambahkan bahwa keberhasilan perbaikan performans ruminansia besar membutuhkan kondisi yang stabil dalam artian tatalaksana yang memadai, ketersediaan pakan yang berkelanjutan sepanjang tahun dan kesehatan lingkungan. Pola dan pemberian pakan yang belum sesuai dengan kebutuhan ternak dilaporkan merupakan factor utama rendahnya tingkat produktivitas ternak didaerah tropis (CHEN et al., 1990) dengan perkataan lain, problem utama upaya peningkatan produksi ternak ruminansia adalah sulitnya penyediaan pakan yang berkesinambungan baik dalam artian jumlah yang cukup dan kualitas yang baik, sebagai yang dikatakan CHEN et al., (1990).
Dilain sisi, pemanfaatan lahan untuk tujuan padang pengembalaan ternak makin tersisih oleh pemanfaatan lahan untuk pertanian, termasuk perkebunan. Untuk itu perlu dilakukan langkah-langkah peningkatan penyediaan pakan, baik melalui integrasi dan difersivikasi lahan pertanian, termasuk perkebunan. Dengan demikian, efisiensi pemanfaatan lahan dapat ditingkatkan sekaligus dapat memberi nilai tambah pada petani.
Minyak sawit merupakan minyak nabati yang cukup penting setelah minyak nabati yang berasal dari biji kedelai, dan menyumbangkan lebih dari 27% pengadaan minyak nabati dunia (FOLD, 2003). Selanjutnya dikatakan bahwa Indonesia menempati urutan kedua besar penghasil minyak kelapa setelah Malaysia. Luas tanam kelapa sawit di Indonesia dilaporkan mencapai 2.014.000 ha pada tahun 2000, dengan laju pertumbuhan setiap tahunnya mencapai 12,6% (LIWANG, 2003), diperkirakan pada masa-masa mendatang, Malaysia akan berada pada posisi stagnant sebagai akibat ketersediaan dan keterbatasan lahan yang dimiliki serta diperberat dengan ketersediaan tenaga kerja yang terbatas dan biaya kerja yang cukup tinggi. Sementara di Indonesia, (bila “kondisi stabil”) diperkirakan akan terus mengembangkan luas tanam kelapa sawit, khususnya perkebunan swasta dan perorangan. Problem utama perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah terbatasnya mesin atau pabrik pengelolaan produk tanam kelapa sawit berskala kecil sampai menengah, khususnya pada perkebunan swasta dan perorangan (LIWANG, 2003). Sebagai konsekuensi makin meningkatnya luas tanam kelapa sawit, adalah maikn meningkatnya pula produk samping hasil oleh kelapa sawit yang sedikit banyak akan menimbulkan problem baru dan perlu diantisipasi. Salah satu cara pemecahannya adalah dengan memanfaatkan ternak (CORLEY, 2003), khususnya ternak Ruminansia sebagai pabrik hidup yang dapat memenfaatkan produk samping tersebut sebagai pakan, sekaligus dapat dijadikan mesin hidup untuk dapat enyediakan pupuk organik.
1.2. Tujuan Penulisan
1. Memberikan informasi tentang produk samping tanaman dan pengolahan buah kelapa sawit sebagai bahan dasar pakan komplit untuk sapi.
2. Memberikan informasi tentang potensi dan nilai nutrisi produk samping tanaman dan pengolahan buah kelapa sawit serta ketersediaan teknologi dalam pengolahannya.
1.3. Manfaat luaran penulisan
Memberikan informasi pada masyarakat tentang potensi, dan nilai nutrisi serta ketersediaan teknologi dalam pengolahan produk samping tanaman dan  buah kelapa sawit, yang merupakan salah satu tanaman perkebunan yang banyak ditanam di Propinsi Bengkulu.
II. METODOLOGI PENULISAN
Metodologi penulisan dilakukan dengan melakukan telaah pustaka. Pengumpulan pustaka/literature dilakukan dengan melakukan searching, browsing buku, jurnal dan artikel diperpustakaan dan internet. Kemudian pustaka/literature yang didapat dianalisis dan di telaah untuk mendapatkan ragam informasi yang dibutuhkan yang selanjutnya mensintesisnya untuk mendapatkan sebuah informasi yang baru. Dalam menganalisa-sintesis pustaka/literatur yang ada digunakan metode induksi.
III. ISI DAN PEMBAHASAN
3.1. POTENSI DAN NILAI NUTRISI PRODUK SAMPING TANAMAN DAN PENGOLAHAN BUAH KELAPA SAWIT
Di Indonesia, tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensis Jacq) telah dikenal sejak tahun 1848 (pertama kali ditanam dikebun Raya Bogor) (CORLEY, 2003), sementara pengembangannya sebagai penghasil minyak kelapa sawit yang sangat dibutuhkan umat manusia dimulai pada tahun 1911. Keseimbangan asam lemak jenuh dan tidak jenuh  dalam minyak kelapa  sawit memperkuat  posisi minyak  sawit sebagai pangan umatmanusia.                                                                                                               Demikian penting arti minyak nabati asal kelapa sawit, menyebabkan luas wilayah pengembangannya hingga saat ini sangat pesat. Produk samping tanaman kelapa sawit yang tersedia dalam jumlah yang banyak dan belum dimanfaatkan secara optimal adalah pelepa daun, lumpur sawit dan bungkil kelapa sawit (MOHAMED et al., 1986), khususnya sebagai bahan dasar ransom ternak Ruminansia (JALALUDIN, et al., 1991b). Dengan pola integrasi ataupun diversifikasi tanaman dan ternak (khususnya ternak Ruminansia) diharapkan dapat merupakan bagian integral dari usha perkebunan, sebagai yang disarankan oleh ABUHASSAN et al., (1991). Oleh karena itu, pemanfaatan produk samping tanaman kelapa sawit (pelepa) pada wilayah perkebunan sebagai basis pengadaan pakan ternak diharapkan banyak memberikan nilai tambah, baik secara langsung maupun tidak langsung (STUR, 1990).
Hal yang sama juga dilaporkan oleh ZAINUDIN dan ZAHARI (1992), bahwa integrasi usaha peternakan dibawah tanaman perkebunan memberikan dampak yang sangat besar artinya.
Ketersediaan lahan yang terbatas untuk sub-sektor peternakan, khususnya komoditas sapi, dan disertai dengan terus meningkatnya permintaan akan protein hewani, memaksa/mendorong para pelaku produksi peternakan unruk dapat memenfaatkan segala kesempatan untuk tetap berupaya meningkatkan produktivitas peternakan. Salah satu peluang yang harus dimanfaatkan secara optimal adalah melakukan pengembangan peternakan melalui pola integrasi ternak dengan perkebunan seperti perkebunan kelapa sawit
Areal dibawah tanaman kelapa sawit kurang dapat ditumbuhi vegetasi alam karena rendahnya intensitas sinar matahari sebagai akibat naungan daun dari tanaman kelapa sawit yang cukup padat, khususnya tanaman yang telah berproduksi. Oleh karena itu, ketersediaan pakan hijuauan, berupa vegetasi alam yang dapat tumbuh diareal perkebunan kelapa sawit sangat terbatas dan tidak cukup untuk mendukung penyediaan pakan hijauan. Namun demikian, produk samping yang dihasilkan baik yang berasal dari tanaman (ISHIDA dan HASSAN, 1997) maupun pengelolaan kelapa sawit (WANZAHARI et al. 2003) berpotensi untuk dapat dioptimalkan sebagai bahan pakan ternak, khususnya ternak Ruminansia. Produk samping dimaksud adalah pelepa, daun, batang (KAWAMOTO et al., 2001), janjangan kosong, serat perasan, Lumpur sawit atau solid dan bungkil kelapa sawit.
3.1.1.Produk Samping Tanaman Kelapa Sawit
Pola tanaman kelapa sawit dengan jarak tanam antar pohon 9 x 9 m dapat menampung143 tanaman setiap hektar. Namun pada kenyataan dilapangan menunjukan bahwa jumlah pohon kelapa sawit untuk setiap hektar areal perkebunan hanya dapat mencapai 130 pohon. Hal ini dimungkinkan karena kondisi wilayah yang berbede-beda. Hasil pengamatan yang dilakukan di PT. Agricinal menunjukan bahwa untuk setiap pohon dapat menghasilkan 22 pelepah per tahun dengan rataan bobot pelepah per batang mencapai 2,2 kg(setelah dikupas dan siap disajikan).                                                          Jumlah ini setara dengan 6,292 kg (22 pelepah x 130 pohon x 2,2 kg) pelepah segar yang dihasilkan untuk setiap hektar dalam setahun.                                                        Jumlah ini lebih rendah dari potensi yang seharusnya dapat dimanfaatkan, karena pemanfaatan pelepah pada kondisi saat ini belum optimal.
Tabel 1. Produk samping tanaman dan olahan kelapa sawit untuk setiap hektar
Biomasa
Segar (kg)
Bahan Kering (%)
BahanKering (kg)
Daun tanpa lidi
Pelepah
Tandan kosong
Serat perasan
Lumpur sawit, solid
Bungkilkelapa sawit
1.430
6,292
3.680
2,880
4.704
560
Total biomasa
46,18
26,07
92,1
93,11
24,07
91,83
658
1.640
3.386
2.681
1.132
514
10.011
Asumsi  :  1 ha, 130 pohon
1 pohon dapat menyediakan sejumlah 22 pelepah per tahun
1 pelepah, bobot 2,2 kg (hanya 1/3 bagian yang dimanfaatkan)
Bobot daun per pelepah 0,5 kg
Tandan ksong 23% dari TBS
Prod minyak sawit 4 ton per ha per tahun (Liwang, 2003)
1000 kg TBS menghasilkan 250 kg minyak sawit, 294 kg Lumpur sawit, 180 kg serat perasan dan 35 kg bungkil kelapa sawit (Jalaludin et al., 1991a)
Dari table 1 diatas, dapat diketahui bahwa total bahan kering pelepah yang dihasilkan dalam setahun untuk setiap hektar adalah 1.640 kg. Dengan asumsi bahwa luasan perkebunan kelapa sawit yang ada di Indonesia adalah 2.014.000 ha merupakan tanaman sedang berproduksi, maka jumlah bahan kering pelepah yang tersediah untuk dimanfaatkan adalah 3.302 metrik ton. Fakta menunjukan bahwa untuk setiap pelepah dapat menyediakan daun keapa sawit sejumlah 0,5 kg. Nilai tersebut setara dengan bahan kering sejumlah658 kg/ha/tahun.
Selain pelepah dan daun, perkebunan kelapa sawit dapat juga menyediakan bahan pakan yang dapat dipergunakan sebagai pengganti hijauan dalam bentuk batang kelapa sawit. Material ini dapat diperoleh pada saat tertentu, yakni pada saat peremajaan tanaman dilakukan. Oleh karena itu, penyediaan bahan pakan asal kelapa sawit bersifat sementara dan tidak berkelanjutan.
3.1.2.Produk samping pengolahan kelapa sawit
Proses ekstrak buah sawit akan menghasilkan produk utama dalam bentuk minyak sawit (palm oil), sementara produk samping yang diperoleh berbentuk tandan kosong, serat perasan, Lumpur sawit/solid dan bungkil kelapa sawit.                           Liwang (erupa minyak sawit 2003) melaporkan bahwa produksi minyak sawit (palm oil) yang dapat dihasilkan untuk setiap hektar adalah 4 ton per tahun.
Jumlah tersebut dapat dihasilkan dari lebih kurang 16 ton tandan buah segar (Jalaludin et al., 1991a). Selanjutnya dikatakan bahwa  dari setap 1000 kg tandan buah segar dapat diperoleh produk utama berupa minyak sawit sejumlah 250 kg dan produk samping sejulah294 kg lumpur sawit, 35 kg bungkil kelapa sawit dan 180 kg serat perasan. Jumlah tersebut dapat disetarakan dengan 1.223 kg Lumpur sawit, 509 kg bungkil kelapa sawit dan 2.678 kg serat  perasan dan 3.386 kg tandan kosonguntuk setiap hektarper tahun. Atas dasar nilai tersebut maka dapat diketahui bahwa produk samping pengolahan buah kelapa sawityang dapat dihasilkan dari perkebunan kelapa sawit yang ada d Indonesia mencapai 2.463 metrik ton Lumpur sawit, 1.026 metrik ton bungkil kelapa sawit, 5.394 metrik ton serat perasan dan 6.818 metrik ton tandan kosong.
3.1.3.Nilai nutrien produk samping tanaman dan olahan buah kelapa sawit
Kandungan nutrient yang terdapat dalam produk-produk samping tanaman dan pengolahan kelapa sawit telah dilaporkan para peneliti di Malaysia (Jalaludin et al., 1991a) dan Indonesia (Aritonang, 1984). Produk samping pengolahan buah kelapa sawit antara lain tandan kosong, lumpur/solid, serat perasan dan bungkil kelapa sawit.
Tabel 2. Komposisi nutrient produk samping tanaman dan pengolahan buah kelapa sawit
Bahan/produk
samping
BK %
Abu
PK
SK
L
BETN
Ca
P
GE(kal/g)
Daun tanpa lidi(5)
Pelepah(4)
Solid(4)
Bungkil(2)
Serat perasan(5)
Tandan kosong(3)
46,18
26,07
24,08
91,83
93,11
92,10
13,40
5,10
14,40
4,14
5,90
7,89
14,12
3,07
14,58
16,33
6,20
3,70
21,52
50,94
35,88
36,68
48,10
47,93
4,37
1,07
14,78
6,49
3,22
4,70
46,59
39,82
16,36
28,19
-
-
0,84
0,96
1,08
0,56
-
-
0,17
0,08
0,25
0,84
-
-
4461
4841
4082
5178
4684
-
(  ) jumlah contoh









Dari table 2 diatas, terlihat bahwa kandungan dan kualitas nutrient produk samping tanaman sawit cukup rendah. Keadaan tersebut dapat digambarkan dengan tingginya kandungan serat kasar, namun mengandung karbohidrat dalam bentuk gula mudah larut (soluble sugar) yang cukup. Secara umum, kandungan nutrient yang terdapat dalam produk samping tanaman kelapa sawit setara dengan pakan hijauan yang terdapat didaerah tropika.
Produk samping pengolahan kelapa sawit dilaporkan juga mengandung serat kasar yang cukup tinggi, namun untuk lumpur/solid dan bungkil kelapa sawit mengandung protein kasar (table 2) yang berpotensi untuk dijadikan bahan ransum berkualitas. Sebagaimana pada produk samping pertanian lainnya, produk samping tanaman dan pengolahan kelapa sawit perlu diperlakukan secara khusus agar dapat dimanfaatkan secara optimal. Perlakuan dimaksud dapat dilakukan dengan ketersediaan teknologi, baik secara fisik, kimia, biologis maupun kombinasi diantaranya.
3.2.Ketersediaan teknologi pengolahan produk samping
Untuk dapat dimanfaatkan secara optimal, maka produk samping tanaman dan pengolahan buah kelapa sawit sebaiknya diberi perlakuan. Tujuan perlakuan tersebut adalah untuk meningkatkan nilai nutrient produk samping tersebut. Hal tersebut dapat dilakukan secara fisik (cacah, giling, tekanan uap), kimia (NaOH, Urea), biologis (fermentasi) ataupun kombinasi daripadanya. Perlakuan secara kimia dengan menggunakan 8% sodium hidroxida(NaOH), dilaporkan dapat meningkatkan kecernaan bahan kering serat perasan dari 43,2 menjadi 58% (Jalaludien  et al., 1991b). Selanjutnya juga dilaporkan bahwa penggunaannya, baik dengan sodium hidroxida hingga perlakuan NaOH dengan tekanan uap menurunkan tingkat kecernaan bahan kering serat perasan dan batang kelapa sawit (oil palm trunk). Tidak diperoleh alasan yang cukup, mengapa perlakuan tersebut dapat menurunkan tingkat kecernaan bahan kering serat perasan. Upaya mempertahankan dan meningkatkan kualitas nutrient pelepah kelapa sawit melalui proses amoniasi, pemberian molasses, perlakuan alkali, pembuatan silase, tekanan uap tinggi, peletisasi dan secara enzimatis telah dilakukan oleh peneliti di Malaysia (Wan Zahari et al.,2003). Selanjutnya dilaporkan bahwa dengan pendekatan-pendekatan tersebut kandungan nutrient pelepah dapat ditingkatkan.
Lumpur sawit diketahui merupakan hasil ikutan proses ekstraksi  minyak sawit yang mengandung air cukup tinggi. Produk samping ini diketahui menimbulkan masalah lingkungan, sehingga upaya untuk mengatasinya  telah dilakukan dengan mengurangi kandungan air lumpur sawit untuk selanjutnya dapat dipergunakan sebagai bahan pakan ternak, khususnya ternak ruminansia (Webb et al., 1976). Produk hasil pemisahan Lumpur sawit dari sebagian besar kandungan air nya dikenal dengan solid. Solid diketahui mengandung protein kasar sejumlah 14% (dasar bahan kering).
Usaha untuk meningkatkan kandungan nutrient solid telah pula dilakukan dengan pendekatan fermentasi secara aerobic dan hasilnya dilaporkan meningkatkan kandungan protein kasar menjadi 43,4% dan energi menjadi 2,34 kkal EM/g (dikutip oleh Yeong et al., 1983). Hasil fermentasi dengan menggunakan Aspergillus niger, telah pula dilakukan oleh para peneliti Balai Penelitian Ternak, Ciawi-Bogor, dan dilaporkan bahwa kandungan protein kasar hasil fermentasi tersebut dapat meningkatkan kandungan protein kasar dari 12,21 menjadi 24,5% (dasar bahan kering), sementara kandungan energi termetabolis meningkat dari 1,6 kkal per gram menjadi 1,7 kkal per gram (Sinurat et al., 1998). Selanjutnya dikatakan, teknologi fermentasi tersebut masih membutuhkan penyempurnaan untuk terus dapat meningkatkan nilai nutrient produk hasil fermentasi.
Bungkil kelapa sawit merupakan produk samping yang mengandung nutrient dan nilai biologis yang tinggi. Oleh karena itu, pemanfaatannya tidak diragukan. Tandan kosong dan serat perasan merupakan produk samping yang berpotensi, meskipunbelumbanyakdimanfaatkan.                                                                                                        Hal ini disebabkan kedua produk samping tanaman kelapa sawit mengandung serat kasar yang cukup tinggi. Upaya peningkatan nilai nutrient produk samping tersebut belum banyak dilakukan, khususnya sebagai pakan ruminansia. Hingga saat ini kedua produk tersebut masih dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan kompos untuk dikonsumsi pihak perkebunan.
3.3. Pemanfaatannya untuk ternak ruminansia
Sebagian besar, kalau tidak dapat dikatakan seluruh produk samping tanaman dan olahan kelapa sawit mengandung serat kasar yang cukup tinggi. Keadaan yang demikian mengidikasikan bahwa apabila produk  samping dimanfaatkan/diberikan kepada ternak ruminansia dapat dipastikan akan menyebabkan ternak mengalami kekurangan nutrient, baik untuk kebutuhan hidup pokok maupun produksi. Menyadari kondisi tersebut, para peneliti berupaya untuk dapat meningkatkan nilai nutrient produk samping tersebut dengan berbagai cara sebagai yang dilaporkan Jalaludin et al. (1991a).
Produk samping tanaman dan olahan buah kelapa sawit yang tersedia dalam jumlah yang banyak dan belum dimanfaatkan secara optimal adalah pelepah daun, lupur sawit dan bungkil kelapa sawit (Mohamed et al., 1986), khususnya sebagai bahan dasar ransom ternak ruminansia (Jalaludin et al., 1991b; Osmann, 1998; Noel, 2003).
Abu Hassan dan Ishida (1991) melaporkan bahwa pelepah kelapa sawit dapat dipergunakan sebagai bahan pakan ternak ruminansia, sebagai sumber pengganti hijauan atau dapat dalam bentuk silase yang dikombinasikan dengan bahan lain atau konsentrat sebagai campuran. Ditinjau dari kandungan nutrient, terlihat bahwa pelepah kelapa sawit dipergunakan sebagai sumber atau pengganti pakan hijauan yang umum diberikan sebagai bahan dasar pakan. Study awal yang dilakukan oleh Abu Hassan dan Ishida (1992) pada sapi Kedah Kalantan menunjukan bahwa tingkat kecernaan bahan kering pelepah dapat mencapai 45%. Hal yang sama juga berlaku untuk daun kelapa sawit yang secara teknis dapat dipergunakan sumber atau pengganti pakan hijauan. Namun demikian, dalam perlakuan pemanfaatan daun kelapa sawit sebagai pakan hijauan memiliki kekurangan dalam penyediaannya. Hal ini disebabkan adanya lidi daun yang dapat menuylitkan ternak untuk mengkonsumsinya. Hal tersebut dapat diatasi dengan pencacahan yang dilanjutkan dengan pengeringan, digiling untuk selanjutnya dapat diberikan dalam bentuk pellet.                                                                                        Wan Zahari et al. (2003) telah melakukan upayah untuk dapat meningkatkan nilai nutrient dan biologis pelepah. Selanjutnya juga dilaporkan bahwa dengan upaya pembuatan silase dengan penambahan urea atau silassesmbelum memberikan hal yang signifikan, walaupun kecenderungan adanya peningkatan nilai nutrient mulai nampak. Pemanfaatannya sebagai bahan pakan ruminansia, disarankan tidak melebihi 30%, dan untuk meningkatkan kosumsi dan kecernaan pelepah dapat dilakukan dengan penambahan produk samping laindari kelapa sawit. Penampilan sapi yang diberi pelepah segar atau silase dalam bentuk kubus, cukup menjanjikan.
Pemberian tepung pelepah dalam bentuk pellet tidak disarankan  dengan alasan ukuran yang terlalu kecil menyebabkan waktu tinggal partikel tersebut dalam saluran pencernaan menjadi singkat. Konsekuensinya tepung tersebut tidak dapat dimanfaatkan secara optimal. Untuk mengoptimalkan penggunaan pelepah kelapa sawit, maka bentuk kubus (1-2 cm³) lebih disarankan. Selanjutnya dikatakan, bahwa pemberian pelepah sebagai bahan ransom dalam jangka waktu yang panjang menghasilkan kualitas karkas yang baik.
Pemanfaatan tandan kosong yang diketahui mengandung serat kasar tinggi dan diindikasikan dengan kandungan serat deterjen asam (ADF) sejumlah 61% memiliki nilai biologis yang rendah. Namun demikian, dalam pemanfaatannya disarankan agar dicampur dengan bahan pakan lain yang berkualitas.
Jumlah yang dapat diberikan dalam ransum sapi antara 30-50%, dengan catatan produk samping tandan kosong tersebut harus terlebih dahulu diberi perlakuan fisik seperti dicacah untuk mendapat ukuran yang layak untuk dapat dikonsumsi (lebih kurang 2 cm).
Serat perasan (palm press fiber) merupakan hasil ekstrasi minyak sawit. Kandungan protein kasar serat perasan lebih kurang 6% dan serat kasar 48%. Abu Hassan et al. (1991) melaporkan bahwa kemampuan ternak untuk mengkonsumsi cukup rendah sebagai akibat rendahnya nilai kecernakan serat perasan tersebut, yakni hanya mencapai 24-30%. Sebagai yang terjadi pada tandan kosong, upaya untuk meningkatkan nilai nutrient dan biologis serat perasan, berbagai upaya seperti perlakuan kimia (alkali) dan fisik (tekanan tinggi) tidak banyak memberikan manfaat yang berarti. Keadaan demikian menyebabkan upaya untuk mengoptimalkan pemanfaatan serat perasan belum dapat disarankan.
Lumpur sawit mengandung protein kasar berkisar 12-14%. Kandungan air yang tinggi menyebabkan produk samping ini kurang disenangi ternak. Kandungan energi yang rendah dengan abu yang tinggi menyebabkan Lumpur sawit tidak dapat dipergunakan secara tunggal. Oleh karena itu, penggunaanya harus disertai dengan produk samping lainnya. Upaya untuk meningkatkan kandungan nutrient dan biologis melalui proses fermentasi akan memberi peluang tersendiri bagi ternak Ruminansia untukdapatmemanfaatkannyasecaraoptimal.                                                                           Belum diketahui dengan pasti jumlah Lumpur sawit yang cukup aman untuk dapat dimanfaatkan sebagai pakan Ruminansia. Pemberian yang dilakukan dengan kombinasi bungkil kelapa sawit dapat memberikan respon yang positif terhadap ternak sapi yang mengkonsumsinya (Jalaludin et al., 1991b).
Bungkil kelapa sawit, merupakan produk samping yang berkualitas karena mengandung protein kasar yang cukup tinggi, yakni 16-18%, sementara kandungan serat kasar mencapai 16%. Pemanfaatannya yang disertai dengan produk samping lainnya perlu dilakukan untuk dapat mengoptimalkan penggunaan bungkil bagi ternak sapi.
Dari uraian diatas, terlihat bahwa hamper seluruh produk samping tanaman dan olahan kelapa sawit dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pakan, khususnya untuk ternak Ruminansia. Kelemahan salah satu produk samping dapat dilengkapi dengan menyertakan kelebihan produk samping lainnya.
Seberapa banyak setiap bagian produk samping dapat dipergunakan dalam pakan lengkap, belum diketahui dengan pasti. Hasil penelitian yang sedang dilakukan pada ternak sapi bali belum mampu menjawab permasalahan tersebut. Ternak sapi muda (umur lebih kurang 1 tahun) yang dipergunakan pada kegiatan tersebut merupakan ternak yang baru didatangkan dari daerah yang bukan berbasis perkebunan kelapa sawit. Oleh karena itu, kondisi studi saat ini baru dapat menunjukkan bahwa ternak sapi dapat memanfaatkan pelepah, solid dan bungkil kelapa sawit, sebagai bahan utama pakan dengan fase adaptasi yang cukup lama (lebih kurang 3 bulan). Hal tersebut tercermin penampilan ternak yang pada awalnya menurun untuk bulan pertama dan untuk selanjutnya kembali pada kondisi semula. Mengacu pada data awal, diyakini bahwa ternak sapi dapat dikembangkan dengan mengandalkan produk samping sawit dengan perkataan lain pemberian pakan yang berbasis produk samping kelapa sawit dapat diandalkan sbagai sumber utama pakan sapi.
Mengacu pada nilai yang telah diuraikan diatas, maka produk samping yang dihasilkan dari tanaman dan pengolahan kelapa sawit untuk setiap satu satuan luas tanam kelapa sawit (ha) dalam setahun adalah 10. 011 kg bahan kering (tabel 1). Dengan perkataan lain, dalam setahun jumlah produk samping atau biomassa yang dihasilkan dari perkebunan kelapa sawit yang ada di Indonesia adalah 20.327 metrik ton. Jika diasumsikan seluruh produk samping dari perkebunan kelapa sawit dapat dimanfaatkan secara optimal oleh ternak ruminansia, khususnya sapi, maka jumlah ternak sapi yang dapat ditampung mencapai 6.364.618 UT (1 unit ternak/UT setara dengan 250 kg, dan kosumsi setiap 1 UT ±3,5% dari bobot hidup). Dengan perkataan lain, perkebunan kelapa sawit dapat menyediakan pakan sapi sejumlah 9.092.311 ekor sapi dewasa (1 ekor sapi dewasa setara dengan 0,7 UT).
IV. KESIMPULAN
Produk samping perkebunan kelapa sawit berpotensi untuk dapat dijadikan bahan pakan. Ketersediaan produk samping tersebut berpotensi dan dengan upaya mengoptimalkan pemanfaatannya, diyakini bahwa pemeliharaan sapi diperkebunan kelapa sawit dapat dilakukan melalui pola pemeliharaan intensif (dikandangkan). Untuk mendapatkan hasil yang optimal, monitoring dan evaluasi penampilan yang mendapat pakan berbasis produk samping kelapa sawit perlu terus dilakukan, utamanya pada berbagai status fisiologis yang berbeda.
Pemanfaatan hasil samping perkebunan kelapa sawit menjadi pakan ruminansia akan menyebabkan daur ulang bahan organik yang ada disistim perkebunan menjadi terbuka. Sebagian bahan organic yang keluar dari system diperkirakan akan menjadi nilai tambah bagi system secara keseluruhan. Namun penting untuk mengetahui secara kuantitatif sejauh mana pengelolaan hasil samping sebagai pakan dapat diterapkan untuk menjamin keberlanjutan system yang ada secara menguntungkan.
Pemanfaatan limbah industri kelapa sawit perlu dikombinasikan dengan teknologi pengolahan ataupun supplementasi agar pemanfaatan untuk ternak dapat maksimal.
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Urip Santoso, S.IKom., MSc., Ph.D. yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan  dalam pengkayaan materi kepada penulis, sehingga penyusunan Karya Ilmiah ini dapat diselesaikan.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Hassan, O. S. Ismael, A.R. Mohd Jaafar, D. Nakanishi, N. Dahlan and S.H. Ong. 1991. Experience and challenges in processing, treatments, storage and feeding or oil palm trunks based diets for beef production. Proc. Sem. On Oil Palm Trunks and Others Palmwood Utilization, MSAP. Kuala Lumpur, Malaysia, 231-245.
Abu Hassan O. and M. Ishida. 1991. Efect of water, mallases and urea addition on oil palm frond silage quality. Fermentation, characteristics and palatability to Kedah-Kelantan bulls. Proc. 3 rd Int. Symp. On The Nutrition of Herbivores. Wan Zahari M., Z. A. Tajuddin, N. Abdullah and H.K. Wong (Eds). Penang. Malaysia. P. 94.
Abu Hassan O. and M. Ishida. 1992. Status of Utilization of selected fibrous crop residues and animal performance with special emphasis on processing of oil palm frond (OPF) for ruminant feed in Malaysia. Trop.Agric. Res. Series 24 : 135-143.
Aritonang, D. 1984. Pengaruh penggunaan bungkil inti sawit dalam ransom babi yang sedang tumbuh. Disertasi. Fak. Pasca Sarjana IPB. Bogor.
Chen, C.P. 1990. Management of Forage for Animal Production under Tree Crops. In: Proc. Integrated Tree Croping and Small ruminat Production system. Iniques L.C. and M.D. Sanches (Eds). SR-CRSP. Univ. California Davis, USA. Pp. 10-23.
Corley, R.H.U. 2003. Oil Palm: A major Tropical Crop. Burotrop 19: 5-7.
Fold, N. 2003. Oil Palm: Market and Trade. Burotrop. 19: 11-13.
Ishida, M. and O. A. Hassan. 1997. Utilization of oil palm frond as ccattle feed. JARQ 31: 41-47.
Jalaludin, S., Y.W. Ho, N. Abdullah and H. Kudo. 1991a. Strategis for Animal Improvement In Shoutheast Asia. In: Utilization of feed Resources in Relation to Utilization and Physiology of Ruminants in the Tropics. Trop Agric. Res. Series 25 pp. 67-76.
Jalaludin, S., Z.A. Jelan, N. Abdullah and Y.W. Ho. 1991b. Recent Development in the Oil Palm By Product Based Ruminant Feeding System. MSAP, Penang, Malaysia pp. 35-44.
Kawamoto, H., M Wan Zahari, N.I. S. Mohd Ali, Y Ismail and S. Oshio. 2001. Palatability, digestibility and voluntary intake of Processed Oil palm fronds in cattle. JARQ. 35 (3); 195-200.
Liwang, T. 2003. Palm Oil mill effluent management. Burutrop Bull., 19: 38.
Mohamad, H., H.A. Halim and T.M. Ahmad. 1986. Availability and potential of oil palm trunks and fronds up to year 2000. Palm Oil Research Institute of  Malaysia (PORIM) 20: 1-17.
Noel., J.M. Processing and by-product. Burotrop Bull. 19:8.
Sasaki, M. 1992. The Advancement of live stock Production with special Reference to feed Resources Development in Tropics-Current Situation and future Prospects.    In :Utilization of feed Resources in Relation to Utilization and Physiologi of Ruminant in the Tropic. Trop. Agric. Res. Series 25: 67-76.
Sinurat A.P., T. Purwadaria, J. Rosida, H. Surachman, H. Hamid dan I.P. Kompiang. 1998. Pengaruh suhu ruang fermentasi dan kadar air substrat terhadap nilai gizi produk fermentasi Lumpur sawit. JITV 3: 225-229.
Stur, W.W. 1990. Methodology for Establishing Selection Criteria for Forage Species valuation. In: Proc. Integrated Tree Croping and Small Ruminat Production System. INIQUES L.C. and M.D. Sanches (Eds). SR-CRSP. Univ. California Davis, US. Pp.3-9.
Yeong S.W., T.K. Mukherjee, M. Faizah and M.D. Azizah. 1983. Effect of palm oil by-product-based diets on reproductive performance og layers including residual effect on offspring. Phill. J. Vet. Anim.Sci 9 (14):93-100.
Zainudin, A.T.. and M.W. Zahari. 1992. Research on nutritionand feed resources to enhance livestock production in Malaysia. Proc. Utilization of feed resources in relation to nutrition and fhysiology of ruminant in the tropics. Trops. Agric. Res. Series 25:9-25.
Zarate, A.V. 1996. Breeding strategies for marginal regions in the tropics and sub tropics. Res. Dev. 43/44:99-118.
Wan Zahari, M., O.A. Hassan, H.K. Wong and J.B. Liang. 2003. Utilization oil palm frond-based diet for beef cattle production in Malaysia. Asian-Aust. J. Anim. Sci.16(4):625-634.
Weeb, B.H, R.I. Hutagalung and S.T. Cheam 1976. Palm oil mill waste as animal feed-processing and utilization.Int. Symp. Palm Oil Processing and Marketing, Kuala Lumpur. Pp. 125-146.
Produk Samping Tanaman dan Pengolahan Buah
Kelapa Sawit Sebagai Bahan Dasar Pakan Komplit
Untuk Ternak Sapi
Agusman Yulianto
Mahasiswa Program studi Pasca Sarjana PSL FP Universitas Bengkulu
Abstrak
Pergeseran fungsi lahan pertanian menjadi non-pertanian merupakan salah satu penyebab rendahnya laju peningkatan populasi ternak, khususnya ternak ruminansia. Oleh karena itu pendekatan yang perlu ditempuh adalah melakukan integrasi pemanfaatan lahan tanaman tahunan, misalnya diversifikasi usaha perkebunan dengan peternakan, khususnya ternak ruminansia. Pemanfaatan pakan alternative yang dapat menjadi pakan hijauan andalan dimasa mendatang perlu ditingkatkan dengan mengoptimalkan fungsi lahan perkebunan yang ada. Dengan tata laksana yang baik dan benar terhadap pemanfaatan produk samping tanaman kelapa sawit akan sangat membantu para pekebun dalam penyediaan pakan hijauan. Pelepah kelapa sawit yang belum dimanfaatkan seoptimal mungkin merupakan salah satu bahan pakan hijauan alternative yang perlu dikerjakan, disamping produk samping hasil pengolahan minyak sawit, seperti Lumpur sawit, serat perasan,  bungkil dan tandan kosong. Batang kelapa sawit berpotensi sebagai pakan dasar untuk menggantikan hijauan sebagian atau seluruhnya. Dengan komposisi 30% batang sawit dan 70% konsentrat diperoleh pertambahan bobot badan sebesar 0,66-0,72 kg pada sapi, sebanding dengan penggunaan jerami (0,71 kg). Akan tetapi efisiensi penggunaan pakan lebih pada penggunaan batang sawit silase (FCR=8,84) dibanding dengan jerami (FCR=10,73).
Biomassa yang dapat dihasilkan dari satu luasan tanaman kelapa sawit dapat mencapai 10 ton per hektar per tahun. Jumlah tersebut sangat potensial untuk dijadikan pakan komplit berbasis produk samping kelapa sawit. Sebagai kosekuensinya tingkat produktivitas ternak ruminansia, khususnya sapi dapat ditingkatkan.
Kata kunci : Perkebunan, pelepah kelapa sawit, pakan hijauan, sapi potong.
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Untuk memenuhi permintaan daging Nasional yang meningkat dari tahun ke tahun, Pemerintah cq. Pihak swasta mendatangkan daging atau ternak bakalan untuk dipotong dari Negara Produsen. Ternak sapi yang semula merupakan pemasok daging Nasional tertinggi (53%) berangsur-angsur turun sumbangannya menjadi 24% pada akhir PJP I. Disisi lain dilaporkan bahwa laju pertumbuhanpopulasi sapi cenderung lambat, dan hal tersebut merupakan salah satu penyebabnya dan mempunyai kaitan erat dengan penyusutan lahan pertanian yang beralih fungsi ke non pertanian. Untuk mengejar ketertinggalan pengadaan daging Nasional, maka upaya meningkatkan produksi sapi potong Nasional melalui pendekatan kualitatif (produktifitas per unit ternak) dan kuantitatif (peningkatan populasi) harus dilakukan. Pendekatan kualitatif sedang dilakukan melalui perbaikan mutu genetik sapi lokal dengan mempergunakan teknik inseminasi buatan (IB). Perbaikan potensi genetic telah dilakukan dan sedang bejalan dengan menggunakan teknik inseminasi buatan (IB). Namun demikian, untuk mencapai asil yang diharapkan, yaitu tingkat produksi yang tinggi, maka perbaikan mutu genetic sapi, terutama sapi potong lokal harus diimbangi dengan perbaikan pakan dan pola pemberian pakan yang memenuhi kebutuhan ternak (JALALUDIN et al., 1991b). ZARATE (1996) melaporkan bahwa program pemuliaan ternak akan sangat tergantung pada aspek tata laksana dan ketersediaan pakan yang berkelanjutan. Ditambahkan bahwa keberhasilan perbaikan performans ruminansia besar membutuhkan kondisi yang stabil dalam artian tatalaksana yang memadai, ketersediaan pakan yang berkelanjutan sepanjang tahun dan kesehatan lingkungan. Pola dan pemberian pakan yang belum sesuai dengan kebutuhan ternak dilaporkan merupakan factor utama rendahnya tingkat produktivitas ternak didaerah tropis (CHEN et al., 1990) dengan perkataan lain, problem utama upaya peningkatan produksi ternak ruminansia adalah sulitnya penyediaan pakan yang berkesinambungan baik dalam artian jumlah yang cukup dan kualitas yang baik, sebagai yang dikatakan CHEN et al., (1990).
Dilain sisi, pemanfaatan lahan untuk tujuan padang pengembalaan ternak makin tersisih oleh pemanfaatan lahan untuk pertanian, termasuk perkebunan. Untuk itu perlu dilakukan langkah-langkah peningkatan penyediaan pakan, baik melalui integrasi dan difersivikasi lahan pertanian, termasuk perkebunan. Dengan demikian, efisiensi pemanfaatan lahan dapat ditingkatkan sekaligus dapat memberi nilai tambah pada petani.
Minyak sawit merupakan minyak nabati yang cukup penting setelah minyak nabati yang berasal dari biji kedelai, dan menyumbangkan lebih dari 27% pengadaan minyak nabati dunia (FOLD, 2003). Selanjutnya dikatakan bahwa Indonesia menempati urutan kedua besar penghasil minyak kelapa setelah Malaysia. Luas tanam kelapa sawit di Indonesia dilaporkan mencapai 2.014.000 ha pada tahun 2000, dengan laju pertumbuhan setiap tahunnya mencapai 12,6% (LIWANG, 2003), diperkirakan pada masa-masa mendatang, Malaysia akan berada pada posisi stagnant sebagai akibat ketersediaan dan keterbatasan lahan yang dimiliki serta diperberat dengan ketersediaan tenaga kerja yang terbatas dan biaya kerja yang cukup tinggi. Sementara di Indonesia, (bila “kondisi stabil”) diperkirakan akan terus mengembangkan luas tanam kelapa sawit, khususnya perkebunan swasta dan perorangan. Problem utama perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah terbatasnya mesin atau pabrik pengelolaan produk tanam kelapa sawit berskala kecil sampai menengah, khususnya pada perkebunan swasta dan perorangan (LIWANG, 2003). Sebagai konsekuensi makin meningkatnya luas tanam kelapa sawit, adalah maikn meningkatnya pula produk samping hasil oleh kelapa sawit yang sedikit banyak akan menimbulkan problem baru dan perlu diantisipasi. Salah satu cara pemecahannya adalah dengan memanfaatkan ternak (CORLEY, 2003), khususnya ternak Ruminansia sebagai pabrik hidup yang dapat memenfaatkan produk samping tersebut sebagai pakan, sekaligus dapat dijadikan mesin hidup untuk dapat enyediakan pupuk organik.
1.2. Tujuan Penulisan
1. Memberikan informasi tentang produk samping tanaman dan pengolahan buah kelapa sawit sebagai bahan dasar pakan komplit untuk sapi.
2. Memberikan informasi tentang potensi dan nilai nutrisi produk samping tanaman dan pengolahan buah kelapa sawit serta ketersediaan teknologi dalam pengolahannya.
1.3. Manfaat luaran penulisan
Memberikan informasi pada masyarakat tentang potensi, dan nilai nutrisi serta ketersediaan teknologi dalam pengolahan produk samping tanaman dan  buah kelapa sawit, yang merupakan salah satu tanaman perkebunan yang banyak ditanam di Propinsi Bengkulu.
II. METODOLOGI PENULISAN
Metodologi penulisan dilakukan dengan melakukan telaah pustaka. Pengumpulan pustaka/literature dilakukan dengan melakukan searching, browsing buku, jurnal dan artikel diperpustakaan dan internet. Kemudian pustaka/literature yang didapat dianalisis dan di telaah untuk mendapatkan ragam informasi yang dibutuhkan yang selanjutnya mensintesisnya untuk mendapatkan sebuah informasi yang baru. Dalam menganalisa-sintesis pustaka/literatur yang ada digunakan metode induksi.
III. ISI DAN PEMBAHASAN
3.1. POTENSI DAN NILAI NUTRISI PRODUK SAMPING TANAMAN DAN PENGOLAHAN BUAH KELAPA SAWIT
Di Indonesia, tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensis Jacq) telah dikenal sejak tahun 1848 (pertama kali ditanam dikebun Raya Bogor) (CORLEY, 2003), sementara pengembangannya sebagai penghasil minyak kelapa sawit yang sangat dibutuhkan umat manusia dimulai pada tahun 1911. Keseimbangan asam lemak jenuh dan tidak jenuh  dalam minyak kelapa  sawit memperkuat  posisi minyak  sawit sebagai pangan umatmanusia.                                                                                                               Demikian penting arti minyak nabati asal kelapa sawit, menyebabkan luas wilayah pengembangannya hingga saat ini sangat pesat. Produk samping tanaman kelapa sawit yang tersedia dalam jumlah yang banyak dan belum dimanfaatkan secara optimal adalah pelepa daun, lumpur sawit dan bungkil kelapa sawit (MOHAMED et al., 1986), khususnya sebagai bahan dasar ransom ternak Ruminansia (JALALUDIN, et al., 1991b). Dengan pola integrasi ataupun diversifikasi tanaman dan ternak (khususnya ternak Ruminansia) diharapkan dapat merupakan bagian integral dari usha perkebunan, sebagai yang disarankan oleh ABUHASSAN et al., (1991). Oleh karena itu, pemanfaatan produk samping tanaman kelapa sawit (pelepa) pada wilayah perkebunan sebagai basis pengadaan pakan ternak diharapkan banyak memberikan nilai tambah, baik secara langsung maupun tidak langsung (STUR, 1990).
Hal yang sama juga dilaporkan oleh ZAINUDIN dan ZAHARI (1992), bahwa integrasi usaha peternakan dibawah tanaman perkebunan memberikan dampak yang sangat besar artinya.
Ketersediaan lahan yang terbatas untuk sub-sektor peternakan, khususnya komoditas sapi, dan disertai dengan terus meningkatnya permintaan akan protein hewani, memaksa/mendorong para pelaku produksi peternakan unruk dapat memenfaatkan segala kesempatan untuk tetap berupaya meningkatkan produktivitas peternakan. Salah satu peluang yang harus dimanfaatkan secara optimal adalah melakukan pengembangan peternakan melalui pola integrasi ternak dengan perkebunan seperti perkebunan kelapa sawit
Areal dibawah tanaman kelapa sawit kurang dapat ditumbuhi vegetasi alam karena rendahnya intensitas sinar matahari sebagai akibat naungan daun dari tanaman kelapa sawit yang cukup padat, khususnya tanaman yang telah berproduksi. Oleh karena itu, ketersediaan pakan hijuauan, berupa vegetasi alam yang dapat tumbuh diareal perkebunan kelapa sawit sangat terbatas dan tidak cukup untuk mendukung penyediaan pakan hijauan. Namun demikian, produk samping yang dihasilkan baik yang berasal dari tanaman (ISHIDA dan HASSAN, 1997) maupun pengelolaan kelapa sawit (WANZAHARI et al. 2003) berpotensi untuk dapat dioptimalkan sebagai bahan pakan ternak, khususnya ternak Ruminansia. Produk samping dimaksud adalah pelepa, daun, batang (KAWAMOTO et al., 2001), janjangan kosong, serat perasan, Lumpur sawit atau solid dan bungkil kelapa sawit.
3.1.1.Produk Samping Tanaman Kelapa Sawit
Pola tanaman kelapa sawit dengan jarak tanam antar pohon 9 x 9 m dapat menampung143 tanaman setiap hektar. Namun pada kenyataan dilapangan menunjukan bahwa jumlah pohon kelapa sawit untuk setiap hektar areal perkebunan hanya dapat mencapai 130 pohon. Hal ini dimungkinkan karena kondisi wilayah yang berbede-beda. Hasil pengamatan yang dilakukan di PT. Agricinal menunjukan bahwa untuk setiap pohon dapat menghasilkan 22 pelepah per tahun dengan rataan bobot pelepah per batang mencapai 2,2 kg(setelah dikupas dan siap disajikan).                                                          Jumlah ini setara dengan 6,292 kg (22 pelepah x 130 pohon x 2,2 kg) pelepah segar yang dihasilkan untuk setiap hektar dalam setahun.                                                        Jumlah ini lebih rendah dari potensi yang seharusnya dapat dimanfaatkan, karena pemanfaatan pelepah pada kondisi saat ini belum optimal.
Tabel 1. Produk samping tanaman dan olahan kelapa sawit untuk setiap hektar
Biomasa
Segar (kg)
Bahan Kering (%)
BahanKering (kg)
Daun tanpa lidi
Pelepah
Tandan kosong
Serat perasan
Lumpur sawit, solid
Bungkilkelapa sawit
1.430
6,292
3.680
2,880
4.704
560
Total biomasa
46,18
26,07
92,1
93,11
24,07
91,83
658
1.640
3.386
2.681
1.132
514
10.011
Asumsi  :  1 ha, 130 pohon
1 pohon dapat menyediakan sejumlah 22 pelepah per tahun
1 pelepah, bobot 2,2 kg (hanya 1/3 bagian yang dimanfaatkan)
Bobot daun per pelepah 0,5 kg
Tandan ksong 23% dari TBS
Prod minyak sawit 4 ton per ha per tahun (Liwang, 2003)
1000 kg TBS menghasilkan 250 kg minyak sawit, 294 kg Lumpur sawit, 180 kg serat perasan dan 35 kg bungkil kelapa sawit (Jalaludin et al., 1991a)
Dari table 1 diatas, dapat diketahui bahwa total bahan kering pelepah yang dihasilkan dalam setahun untuk setiap hektar adalah 1.640 kg. Dengan asumsi bahwa luasan perkebunan kelapa sawit yang ada di Indonesia adalah 2.014.000 ha merupakan tanaman sedang berproduksi, maka jumlah bahan kering pelepah yang tersediah untuk dimanfaatkan adalah 3.302 metrik ton. Fakta menunjukan bahwa untuk setiap pelepah dapat menyediakan daun keapa sawit sejumlah 0,5 kg. Nilai tersebut setara dengan bahan kering sejumlah658 kg/ha/tahun.
Selain pelepah dan daun, perkebunan kelapa sawit dapat juga menyediakan bahan pakan yang dapat dipergunakan sebagai pengganti hijauan dalam bentuk batang kelapa sawit. Material ini dapat diperoleh pada saat tertentu, yakni pada saat peremajaan tanaman dilakukan. Oleh karena itu, penyediaan bahan pakan asal kelapa sawit bersifat sementara dan tidak berkelanjutan.
3.1.2.Produk samping pengolahan kelapa sawit
Proses ekstrak buah sawit akan menghasilkan produk utama dalam bentuk minyak sawit (palm oil), sementara produk samping yang diperoleh berbentuk tandan kosong, serat perasan, Lumpur sawit/solid dan bungkil kelapa sawit.                           Liwang (erupa minyak sawit 2003) melaporkan bahwa produksi minyak sawit (palm oil) yang dapat dihasilkan untuk setiap hektar adalah 4 ton per tahun.
Jumlah tersebut dapat dihasilkan dari lebih kurang 16 ton tandan buah segar (Jalaludin et al., 1991a). Selanjutnya dikatakan bahwa  dari setap 1000 kg tandan buah segar dapat diperoleh produk utama berupa minyak sawit sejumlah 250 kg dan produk samping sejulah294 kg lumpur sawit, 35 kg bungkil kelapa sawit dan 180 kg serat perasan. Jumlah tersebut dapat disetarakan dengan 1.223 kg Lumpur sawit, 509 kg bungkil kelapa sawit dan 2.678 kg serat  perasan dan 3.386 kg tandan kosonguntuk setiap hektarper tahun. Atas dasar nilai tersebut maka dapat diketahui bahwa produk samping pengolahan buah kelapa sawityang dapat dihasilkan dari perkebunan kelapa sawit yang ada d Indonesia mencapai 2.463 metrik ton Lumpur sawit, 1.026 metrik ton bungkil kelapa sawit, 5.394 metrik ton serat perasan dan 6.818 metrik ton tandan kosong.
3.1.3.Nilai nutrien produk samping tanaman dan olahan buah kelapa sawit
Kandungan nutrient yang terdapat dalam produk-produk samping tanaman dan pengolahan kelapa sawit telah dilaporkan para peneliti di Malaysia (Jalaludin et al., 1991a) dan Indonesia (Aritonang, 1984). Produk samping pengolahan buah kelapa sawit antara lain tandan kosong, lumpur/solid, serat perasan dan bungkil kelapa sawit.
Tabel 2. Komposisi nutrient produk samping tanaman dan pengolahan buah kelapa sawit
Bahan/produk
samping
BK %
Abu
PK
SK
L
BETN
Ca
P
GE(kal/g)
Daun tanpa lidi(5)
Pelepah(4)
Solid(4)
Bungkil(2)
Serat perasan(5)
Tandan kosong(3)
46,18
26,07
24,08
91,83
93,11
92,10
13,40
5,10
14,40
4,14
5,90
7,89
14,12
3,07
14,58
16,33
6,20
3,70
21,52
50,94
35,88
36,68
48,10
47,93
4,37
1,07
14,78
6,49
3,22
4,70
46,59
39,82
16,36
28,19
-
-
0,84
0,96
1,08
0,56
-
-
0,17
0,08
0,25
0,84
-
-
4461
4841
4082
5178
4684
-
(  ) jumlah contoh









Dari table 2 diatas, terlihat bahwa kandungan dan kualitas nutrient produk samping tanaman sawit cukup rendah. Keadaan tersebut dapat digambarkan dengan tingginya kandungan serat kasar, namun mengandung karbohidrat dalam bentuk gula mudah larut (soluble sugar) yang cukup. Secara umum, kandungan nutrient yang terdapat dalam produk samping tanaman kelapa sawit setara dengan pakan hijauan yang terdapat didaerah tropika.
Produk samping pengolahan kelapa sawit dilaporkan juga mengandung serat kasar yang cukup tinggi, namun untuk lumpur/solid dan bungkil kelapa sawit mengandung protein kasar (table 2) yang berpotensi untuk dijadikan bahan ransum berkualitas. Sebagaimana pada produk samping pertanian lainnya, produk samping tanaman dan pengolahan kelapa sawit perlu diperlakukan secara khusus agar dapat dimanfaatkan secara optimal. Perlakuan dimaksud dapat dilakukan dengan ketersediaan teknologi, baik secara fisik, kimia, biologis maupun kombinasi diantaranya.
3.2.Ketersediaan teknologi pengolahan produk samping
Untuk dapat dimanfaatkan secara optimal, maka produk samping tanaman dan pengolahan buah kelapa sawit sebaiknya diberi perlakuan. Tujuan perlakuan tersebut adalah untuk meningkatkan nilai nutrient produk samping tersebut. Hal tersebut dapat dilakukan secara fisik (cacah, giling, tekanan uap), kimia (NaOH, Urea), biologis (fermentasi) ataupun kombinasi daripadanya. Perlakuan secara kimia dengan menggunakan 8% sodium hidroxida(NaOH), dilaporkan dapat meningkatkan kecernaan bahan kering serat perasan dari 43,2 menjadi 58% (Jalaludien  et al., 1991b). Selanjutnya juga dilaporkan bahwa penggunaannya, baik dengan sodium hidroxida hingga perlakuan NaOH dengan tekanan uap menurunkan tingkat kecernaan bahan kering serat perasan dan batang kelapa sawit (oil palm trunk). Tidak diperoleh alasan yang cukup, mengapa perlakuan tersebut dapat menurunkan tingkat kecernaan bahan kering serat perasan. Upaya mempertahankan dan meningkatkan kualitas nutrient pelepah kelapa sawit melalui proses amoniasi, pemberian molasses, perlakuan alkali, pembuatan silase, tekanan uap tinggi, peletisasi dan secara enzimatis telah dilakukan oleh peneliti di Malaysia (Wan Zahari et al.,2003). Selanjutnya dilaporkan bahwa dengan pendekatan-pendekatan tersebut kandungan nutrient pelepah dapat ditingkatkan.
Lumpur sawit diketahui merupakan hasil ikutan proses ekstraksi  minyak sawit yang mengandung air cukup tinggi. Produk samping ini diketahui menimbulkan masalah lingkungan, sehingga upaya untuk mengatasinya  telah dilakukan dengan mengurangi kandungan air lumpur sawit untuk selanjutnya dapat dipergunakan sebagai bahan pakan ternak, khususnya ternak ruminansia (Webb et al., 1976). Produk hasil pemisahan Lumpur sawit dari sebagian besar kandungan air nya dikenal dengan solid. Solid diketahui mengandung protein kasar sejumlah 14% (dasar bahan kering).
Usaha untuk meningkatkan kandungan nutrient solid telah pula dilakukan dengan pendekatan fermentasi secara aerobic dan hasilnya dilaporkan meningkatkan kandungan protein kasar menjadi 43,4% dan energi menjadi 2,34 kkal EM/g (dikutip oleh Yeong et al., 1983). Hasil fermentasi dengan menggunakan Aspergillus niger, telah pula dilakukan oleh para peneliti Balai Penelitian Ternak, Ciawi-Bogor, dan dilaporkan bahwa kandungan protein kasar hasil fermentasi tersebut dapat meningkatkan kandungan protein kasar dari 12,21 menjadi 24,5% (dasar bahan kering), sementara kandungan energi termetabolis meningkat dari 1,6 kkal per gram menjadi 1,7 kkal per gram (Sinurat et al., 1998). Selanjutnya dikatakan, teknologi fermentasi tersebut masih membutuhkan penyempurnaan untuk terus dapat meningkatkan nilai nutrient produk hasil fermentasi.
Bungkil kelapa sawit merupakan produk samping yang mengandung nutrient dan nilai biologis yang tinggi. Oleh karena itu, pemanfaatannya tidak diragukan. Tandan kosong dan serat perasan merupakan produk samping yang berpotensi, meskipunbelumbanyakdimanfaatkan.                                                                                                        Hal ini disebabkan kedua produk samping tanaman kelapa sawit mengandung serat kasar yang cukup tinggi. Upaya peningkatan nilai nutrient produk samping tersebut belum banyak dilakukan, khususnya sebagai pakan ruminansia. Hingga saat ini kedua produk tersebut masih dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan kompos untuk dikonsumsi pihak perkebunan.
3.3. Pemanfaatannya untuk ternak ruminansia
Sebagian besar, kalau tidak dapat dikatakan seluruh produk samping tanaman dan olahan kelapa sawit mengandung serat kasar yang cukup tinggi. Keadaan yang demikian mengidikasikan bahwa apabila produk  samping dimanfaatkan/diberikan kepada ternak ruminansia dapat dipastikan akan menyebabkan ternak mengalami kekurangan nutrient, baik untuk kebutuhan hidup pokok maupun produksi. Menyadari kondisi tersebut, para peneliti berupaya untuk dapat meningkatkan nilai nutrient produk samping tersebut dengan berbagai cara sebagai yang dilaporkan Jalaludin et al. (1991a).
Produk samping tanaman dan olahan buah kelapa sawit yang tersedia dalam jumlah yang banyak dan belum dimanfaatkan secara optimal adalah pelepah daun, lupur sawit dan bungkil kelapa sawit (Mohamed et al., 1986), khususnya sebagai bahan dasar ransom ternak ruminansia (Jalaludin et al., 1991b; Osmann, 1998; Noel, 2003).
Abu Hassan dan Ishida (1991) melaporkan bahwa pelepah kelapa sawit dapat dipergunakan sebagai bahan pakan ternak ruminansia, sebagai sumber pengganti hijauan atau dapat dalam bentuk silase yang dikombinasikan dengan bahan lain atau konsentrat sebagai campuran. Ditinjau dari kandungan nutrient, terlihat bahwa pelepah kelapa sawit dipergunakan sebagai sumber atau pengganti pakan hijauan yang umum diberikan sebagai bahan dasar pakan. Study awal yang dilakukan oleh Abu Hassan dan Ishida (1992) pada sapi Kedah Kalantan menunjukan bahwa tingkat kecernaan bahan kering pelepah dapat mencapai 45%. Hal yang sama juga berlaku untuk daun kelapa sawit yang secara teknis dapat dipergunakan sumber atau pengganti pakan hijauan. Namun demikian, dalam perlakuan pemanfaatan daun kelapa sawit sebagai pakan hijauan memiliki kekurangan dalam penyediaannya. Hal ini disebabkan adanya lidi daun yang dapat menuylitkan ternak untuk mengkonsumsinya. Hal tersebut dapat diatasi dengan pencacahan yang dilanjutkan dengan pengeringan, digiling untuk selanjutnya dapat diberikan dalam bentuk pellet.                                                                                        Wan Zahari et al. (2003) telah melakukan upayah untuk dapat meningkatkan nilai nutrient dan biologis pelepah. Selanjutnya juga dilaporkan bahwa dengan upaya pembuatan silase dengan penambahan urea atau silassesmbelum memberikan hal yang signifikan, walaupun kecenderungan adanya peningkatan nilai nutrient mulai nampak. Pemanfaatannya sebagai bahan pakan ruminansia, disarankan tidak melebihi 30%, dan untuk meningkatkan kosumsi dan kecernaan pelepah dapat dilakukan dengan penambahan produk samping laindari kelapa sawit. Penampilan sapi yang diberi pelepah segar atau silase dalam bentuk kubus, cukup menjanjikan.
Pemberian tepung pelepah dalam bentuk pellet tidak disarankan  dengan alasan ukuran yang terlalu kecil menyebabkan waktu tinggal partikel tersebut dalam saluran pencernaan menjadi singkat. Konsekuensinya tepung tersebut tidak dapat dimanfaatkan secara optimal. Untuk mengoptimalkan penggunaan pelepah kelapa sawit, maka bentuk kubus (1-2 cm³) lebih disarankan. Selanjutnya dikatakan, bahwa pemberian pelepah sebagai bahan ransom dalam jangka waktu yang panjang menghasilkan kualitas karkas yang baik.
Pemanfaatan tandan kosong yang diketahui mengandung serat kasar tinggi dan diindikasikan dengan kandungan serat deterjen asam (ADF) sejumlah 61% memiliki nilai biologis yang rendah. Namun demikian, dalam pemanfaatannya disarankan agar dicampur dengan bahan pakan lain yang berkualitas.
Jumlah yang dapat diberikan dalam ransum sapi antara 30-50%, dengan catatan produk samping tandan kosong tersebut harus terlebih dahulu diberi perlakuan fisik seperti dicacah untuk mendapat ukuran yang layak untuk dapat dikonsumsi (lebih kurang 2 cm).
Serat perasan (palm press fiber) merupakan hasil ekstrasi minyak sawit. Kandungan protein kasar serat perasan lebih kurang 6% dan serat kasar 48%. Abu Hassan et al. (1991) melaporkan bahwa kemampuan ternak untuk mengkonsumsi cukup rendah sebagai akibat rendahnya nilai kecernakan serat perasan tersebut, yakni hanya mencapai 24-30%. Sebagai yang terjadi pada tandan kosong, upaya untuk meningkatkan nilai nutrient dan biologis serat perasan, berbagai upaya seperti perlakuan kimia (alkali) dan fisik (tekanan tinggi) tidak banyak memberikan manfaat yang berarti. Keadaan demikian menyebabkan upaya untuk mengoptimalkan pemanfaatan serat perasan belum dapat disarankan.
Lumpur sawit mengandung protein kasar berkisar 12-14%. Kandungan air yang tinggi menyebabkan produk samping ini kurang disenangi ternak. Kandungan energi yang rendah dengan abu yang tinggi menyebabkan Lumpur sawit tidak dapat dipergunakan secara tunggal. Oleh karena itu, penggunaanya harus disertai dengan produk samping lainnya. Upaya untuk meningkatkan kandungan nutrient dan biologis melalui proses fermentasi akan memberi peluang tersendiri bagi ternak Ruminansia untukdapatmemanfaatkannyasecaraoptimal.                                                                           Belum diketahui dengan pasti jumlah Lumpur sawit yang cukup aman untuk dapat dimanfaatkan sebagai pakan Ruminansia. Pemberian yang dilakukan dengan kombinasi bungkil kelapa sawit dapat memberikan respon yang positif terhadap ternak sapi yang mengkonsumsinya (Jalaludin et al., 1991b).
Bungkil kelapa sawit, merupakan produk samping yang berkualitas karena mengandung protein kasar yang cukup tinggi, yakni 16-18%, sementara kandungan serat kasar mencapai 16%. Pemanfaatannya yang disertai dengan produk samping lainnya perlu dilakukan untuk dapat mengoptimalkan penggunaan bungkil bagi ternak sapi.
Dari uraian diatas, terlihat bahwa hamper seluruh produk samping tanaman dan olahan kelapa sawit dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pakan, khususnya untuk ternak Ruminansia. Kelemahan salah satu produk samping dapat dilengkapi dengan menyertakan kelebihan produk samping lainnya.
Seberapa banyak setiap bagian produk samping dapat dipergunakan dalam pakan lengkap, belum diketahui dengan pasti. Hasil penelitian yang sedang dilakukan pada ternak sapi bali belum mampu menjawab permasalahan tersebut. Ternak sapi muda (umur lebih kurang 1 tahun) yang dipergunakan pada kegiatan tersebut merupakan ternak yang baru didatangkan dari daerah yang bukan berbasis perkebunan kelapa sawit. Oleh karena itu, kondisi studi saat ini baru dapat menunjukkan bahwa ternak sapi dapat memanfaatkan pelepah, solid dan bungkil kelapa sawit, sebagai bahan utama pakan dengan fase adaptasi yang cukup lama (lebih kurang 3 bulan). Hal tersebut tercermin penampilan ternak yang pada awalnya menurun untuk bulan pertama dan untuk selanjutnya kembali pada kondisi semula. Mengacu pada data awal, diyakini bahwa ternak sapi dapat dikembangkan dengan mengandalkan produk samping sawit dengan perkataan lain pemberian pakan yang berbasis produk samping kelapa sawit dapat diandalkan sbagai sumber utama pakan sapi.
Mengacu pada nilai yang telah diuraikan diatas, maka produk samping yang dihasilkan dari tanaman dan pengolahan kelapa sawit untuk setiap satu satuan luas tanam kelapa sawit (ha) dalam setahun adalah 10. 011 kg bahan kering (tabel 1). Dengan perkataan lain, dalam setahun jumlah produk samping atau biomassa yang dihasilkan dari perkebunan kelapa sawit yang ada di Indonesia adalah 20.327 metrik ton. Jika diasumsikan seluruh produk samping dari perkebunan kelapa sawit dapat dimanfaatkan secara optimal oleh ternak ruminansia, khususnya sapi, maka jumlah ternak sapi yang dapat ditampung mencapai 6.364.618 UT (1 unit ternak/UT setara dengan 250 kg, dan kosumsi setiap 1 UT ±3,5% dari bobot hidup). Dengan perkataan lain, perkebunan kelapa sawit dapat menyediakan pakan sapi sejumlah 9.092.311 ekor sapi dewasa (1 ekor sapi dewasa setara dengan 0,7 UT).
IV. KESIMPULAN
Produk samping perkebunan kelapa sawit berpotensi untuk dapat dijadikan bahan pakan. Ketersediaan produk samping tersebut berpotensi dan dengan upaya mengoptimalkan pemanfaatannya, diyakini bahwa pemeliharaan sapi diperkebunan kelapa sawit dapat dilakukan melalui pola pemeliharaan intensif (dikandangkan). Untuk mendapatkan hasil yang optimal, monitoring dan evaluasi penampilan yang mendapat pakan berbasis produk samping kelapa sawit perlu terus dilakukan, utamanya pada berbagai status fisiologis yang berbeda.
Pemanfaatan hasil samping perkebunan kelapa sawit menjadi pakan ruminansia akan menyebabkan daur ulang bahan organik yang ada disistim perkebunan menjadi terbuka. Sebagian bahan organic yang keluar dari system diperkirakan akan menjadi nilai tambah bagi system secara keseluruhan. Namun penting untuk mengetahui secara kuantitatif sejauh mana pengelolaan hasil samping sebagai pakan dapat diterapkan untuk menjamin keberlanjutan system yang ada secara menguntungkan.
Pemanfaatan limbah industri kelapa sawit perlu dikombinasikan dengan teknologi pengolahan ataupun supplementasi agar pemanfaatan untuk ternak dapat maksimal.
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Urip Santoso, S.IKom., MSc., Ph.D. yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan  dalam pengkayaan materi kepada penulis, sehingga penyusunan Karya Ilmiah ini dapat diselesaikan.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Hassan, O. S. Ismael, A.R. Mohd Jaafar, D. Nakanishi, N. Dahlan and S.H. Ong. 1991. Experience and challenges in processing, treatments, storage and feeding or oil palm trunks based diets for beef production. Proc. Sem. On Oil Palm Trunks and Others Palmwood Utilization, MSAP. Kuala Lumpur, Malaysia, 231-245.
Abu Hassan O. and M. Ishida. 1991. Efect of water, mallases and urea addition on oil palm frond silage quality. Fermentation, characteristics and palatability to Kedah-Kelantan bulls. Proc. 3 rd Int. Symp. On The Nutrition of Herbivores. Wan Zahari M., Z. A. Tajuddin, N. Abdullah and H.K. Wong (Eds). Penang. Malaysia. P. 94.
Abu Hassan O. and M. Ishida. 1992. Status of Utilization of selected fibrous crop residues and animal performance with special emphasis on processing of oil palm frond (OPF) for ruminant feed in Malaysia. Trop.Agric. Res. Series 24 : 135-143.
Aritonang, D. 1984. Pengaruh penggunaan bungkil inti sawit dalam ransom babi yang sedang tumbuh. Disertasi. Fak. Pasca Sarjana IPB. Bogor.
Chen, C.P. 1990. Management of Forage for Animal Production under Tree Crops. In: Proc. Integrated Tree Croping and Small ruminat Production system. Iniques L.C. and M.D. Sanches (Eds). SR-CRSP. Univ. California Davis, USA. Pp. 10-23.
Corley, R.H.U. 2003. Oil Palm: A major Tropical Crop. Burotrop 19: 5-7.
Fold, N. 2003. Oil Palm: Market and Trade. Burotrop. 19: 11-13.
Ishida, M. and O. A. Hassan. 1997. Utilization of oil palm frond as ccattle feed. JARQ 31: 41-47.
Jalaludin, S., Y.W. Ho, N. Abdullah and H. Kudo. 1991a. Strategis for Animal Improvement In Shoutheast Asia. In: Utilization of feed Resources in Relation to Utilization and Physiology of Ruminants in the Tropics. Trop Agric. Res. Series 25 pp. 67-76.
Jalaludin, S., Z.A. Jelan, N. Abdullah and Y.W. Ho. 1991b. Recent Development in the Oil Palm By Product Based Ruminant Feeding System. MSAP, Penang, Malaysia pp. 35-44.
Kawamoto, H., M Wan Zahari, N.I. S. Mohd Ali, Y Ismail and S. Oshio. 2001. Palatability, digestibility and voluntary intake of Processed Oil palm fronds in cattle. JARQ. 35 (3); 195-200.
Liwang, T. 2003. Palm Oil mill effluent management. Burutrop Bull., 19: 38.
Mohamad, H., H.A. Halim and T.M. Ahmad. 1986. Availability and potential of oil palm trunks and fronds up to year 2000. Palm Oil Research Institute of  Malaysia (PORIM) 20: 1-17.
Noel., J.M. Processing and by-product. Burotrop Bull. 19:8.
Sasaki, M. 1992. The Advancement of live stock Production with special Reference to feed Resources Development in Tropics-Current Situation and future Prospects.    In :Utilization of feed Resources in Relation to Utilization and Physiologi of Ruminant in the Tropic. Trop. Agric. Res. Series 25: 67-76.
Sinurat A.P., T. Purwadaria, J. Rosida, H. Surachman, H. Hamid dan I.P. Kompiang. 1998. Pengaruh suhu ruang fermentasi dan kadar air substrat terhadap nilai gizi produk fermentasi Lumpur sawit. JITV 3: 225-229.
Stur, W.W. 1990. Methodology for Establishing Selection Criteria for Forage Species valuation. In: Proc. Integrated Tree Croping and Small Ruminat Production System. INIQUES L.C. and M.D. Sanches (Eds). SR-CRSP. Univ. California Davis, US. Pp.3-9.
Yeong S.W., T.K. Mukherjee, M. Faizah and M.D. Azizah. 1983. Effect of palm oil by-product-based diets on reproductive performance og layers including residual effect on offspring. Phill. J. Vet. Anim.Sci 9 (14):93-100.
Zainudin, A.T.. and M.W. Zahari. 1992. Research on nutritionand feed resources to enhance livestock production in Malaysia. Proc. Utilization of feed resources in relation to nutrition and fhysiology of ruminant in the tropics. Trops. Agric. Res. Series 25:9-25.
Zarate, A.V. 1996. Breeding strategies for marginal regions in the tropics and sub tropics. Res. Dev. 43/44:99-118.
Wan Zahari, M., O.A. Hassan, H.K. Wong and J.B. Liang. 2003. Utilization oil palm frond-based diet for beef cattle production in Malaysia. Asian-Aust. J. Anim. Sci.16(4):625-634.
Weeb, B.H, R.I. Hutagalung and S.T. Cheam 1976. Palm oil mill waste as animal feed-processing and utilization.Int. Symp. Palm Oil Processing and Marketing, Kuala Lumpur. Pp. 125-146.


Posted by uwityangyoyo on November 30, 2009
OLEH : Ellys Yuliarti
 ABSTRAK
            Masalah lingkungan timbul sebagai akibat dari ulah manusia itu sendiri, dari hari ke hari ancaman terhadap kerusakan lingkungan semakin meningkat. Banyaknya pembukaan lahan baru  mengakibatkan banyaknya hutan yang dirusak karena umumnya pembukaan lahan tersebut tidak mengikuti kaidah ekologi. Rusaknya hutan akan merusak ekosistem yang ada dihutan tersebut dan disekitar hutan dan merusak semua sistem kehidupan disetiap komponen yang ada di bumi ini. Melestarikan hutan berarti menyelamatkan semua komponen kehidupan, hutan yang terjaga akan memberikan tata air yang baik pada daerah hilirnya sehingga akan menyelamatkan semua kegiatan umumnya dan kegiatan ekonomi khususnya, selain itu hutan yang terjaga akan memberikan manfaat sangat besar bagi lingkungan, hutan sebagai paru-paru dunia akan mengurangi pemanasan bumi, mengurangi kekeringan saat musim panas dan mengurangi resiko longsor dan banjir saat musim hujan.
Kata kunci; hutan, pelestarian, lingkungan.
 PENDAHULUAN
Sudah kita ketahui bersama bahwa masalah lingkungan timbul sebagai akibat dari ulah manusia itu sendiri . Manusia dalam memanfaatkan sumber daya alam akan menimbulkan perubahan terhadap ekosistem yang akan mempengaruhi kelestarian sumber daya alam itu sendiri.  Pemanfaatan sumber daya alam yang melebihi ambang batas daya dukung lahan dan tanpa memperhatikan aspek kelestariannya akan mendorong terjadinya erosi dan longsor, seperti yang banyak terjadi sekarang ini. Akibat dari keadaan tersebut menyebabkan terjadinya degradasi lahan, pendangkalan sungai , dan terganggunya sistem hidrologi Daerah Aliran Sungai (DAS).
Kebakaran hutan yang sering terjadi akan membumihanguskan habitat satwa, mengurangi keragaman hayati dan menghilangkan kesuburan tanah, rusaknya siklus hidrologi serta akan menimbulkan pemanasan global. Banyaknya perladangan berpindah akan semakin meningkatkan ancaman  kerusakan hutan , karena umumnya masyarakat tidak memperhatikan aturan – aturan yang benar untuk menjaga kelestarian hutan dalam melakukan aktivitasnya di ladang (Marison Guciano, 2009).
Menurut FAO masalah lingkungan di negara-negara berkembang sebagian besar disebabkan karena eksploitasi lahan yang berlebihan , perluasan penanaman dan penggundulan hutan (Reyntjes, Coen et.al. 1999).  Bersamaan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan industrialisasi, permasalahan penggunaan lahan sudah umum terjadi . Pemikiran secara intuitif dalam penggunaan lahan sudah sejak lama dilakukan , tetapi penggunaan secara lebih efisien dan dengan perencanaan  baru terwujud jelas setelah perang dunia I ( Sandy, 1980).
Sebagai sumber daya alam, hutan mempunyai multi fungsi sangat penting bagi kehidupan.  Tajuk pohon yang banyak dan berlapis-lapis pada tanaman yang ada di hutan akan sangan membantu  untuk menahan energi potensial air hujan yang jatuh sehingga aliran air tuidak terlalu besar , hal ini akan mengurangi kerusakan tanah , baik erosi percikan maupun erosi alur.  Kondisi ini  akan membantu kesuburan tanah dan penyerapan air tanah. Secara global  hutan adalah paru-paru dunia  karena akan menyerap karbondioksida di udara dan melepaskan oksigen yang lebih banyak yang sangat bermanfaat bagi makhluk hidup di dunia.
Menurut Departemen Pertanian, 2006. Kawasan hutan pegunungan merupakan hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berfungsi sebagai penyangga tata air daerah hilir, pleh karena itu perlu dilakukan pengelolaan lahan yang tepat agar dapat melakukan pelestarian Sumber Daya Alam  dan lingkungan terutama  kawasan hilir yang akan mempengaruhi kegiatan pertanian dan ekonomi setempat.
 PERMASALAHAN
            Pengelolaan penggunaan lahan yang telah berpenduduk dan yang masih jarang penduduknya atau yang belum berpenduduk sering mengundang munculnya masalah, khususnya di Indonesia antara lain; kontradiksi antara kebutuhan  dan batasan-batasan yang berat  demi lingkungan hidup, meningkatnya keperluan hidup, terjadinya kerusakan tanah karena kurang pemeliharaan.
            Berdasarkan hal tersebut di atas perlu kiranya memberikan informasi  pentingnya  menjaga kelestarian  hutan  yang dapat  memberikan manfaat bagi ekonomi rakyat dan bagi lingkungan.
 PELESTARIAN HUTAN
            Membahas tentang hutan, biasanya akan berkaitan dengan pegunungan, sebab kawasan hutan adalah merupakan kawasan pegunungan . Lahan di pegunungan yang masih merupakan kawasan hutan adalah lahan yang sangat banyak memberikan manfaat untuk pertanian , selain itu hutan juga sangat penting untuk menjaga fungsi lingkungan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan penyangga daerah di bawahnya.
            Istilah pelestarian mengesankan penimbunan, seakan akan gagasan tersebut hanyalah berarti persediaan tetap cadangan, sehingga ada sesuatu yang tertinggal untuk masa yang akan datang.  Dalam pandangan masyarakat awam ahli pelestarian terlalu sering digambarkan sebagai orang yang bersifat anti sosial yang menentang setiap macam pembangunan. Apa yang sebenarnya ditentang oleh para ahli pelestarian adalah pembangunan yang tanpa rencana yang melanggar hukum ekologi dan hukum manusia.
            Pelestarian  dalam pengertian yang luas merupakan salah satu penerapan yang penting dari ekologi.  Tujuan dari pelestarian yang sebenarnya adalah memastikan pengawetan kualitas lingkungan yang mengindahkan estitika dan kebutuhan maupun hasilnya  serta memastikan kelanjutan hasil tanaman, hewan, bahan-bahan yang berguna  dengan menciptakan siklus seimbang antara panenan dan pembaharuan  (Odum, E. ?)
            Kesadaran lingkungan harus ditumbuhkembangkan pada masyarakat sejak dini .  Tekanan sosial dan ekonomi masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sumber daya alam dapat ditumbuhkembangkan melalui upaya pemberian informasi  tentang lingkungan sehingga akan meningkatkan kesadaran lingkungan masyarakat.
            Menurut Djaenudin, D. 1994 kawasan hutan perlu dipertahankan berdasarkan pertimbangan fisik, iklim dan pengaturan tata air serta kebutuhan sosial ekonomi masyarakat dan Negara. Hutan yang dipertahankan terdiri dari hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, hutan konservasi, hutan produksi terbatas dan hutan produksi. Berikut ini pengertian dari berbagai jenis hutan tersebut,  antara lain: (1) Hutan lindung adalah hutan yang perlu dibina dan dipertahankan sebagai hutan dengan penutupan vegetasi secara tetap untuk kepentingan hidroorologi, yaitu mengatur tata air, mencegah banjir dan erosi, memelihara keawetan dan kesuburan tanah baik dalam kawasan hutan bersangkutan maupun kawasan yang dipengaruhi di sekitarnya; (2) Hutan suaka alam adalah  hutan yang perlu dipertahankan dan dibina keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, tipe ekosistem, gejala dan keunikan alam bagi kepentingan plasma nutfah dan pengetahuan, wisata dan lingkungan; (3) Hutan wisata adalah hutan yang dipertahankan dengan maksud untuk mengembangkan pendidikan, rekreasi dan olahraga; (4) Hutan konservasi adalah hutan yang dipertahankan untuk keberadaan keanekaragaman jenis plasma nutfah dan tempat hidup dan kehidupan satwa tertentu; (5) Hutan produksi terbatas adalah kawasan hutan untuk menghasilkan kayu hutan yang hanya dapat dieksploitasi secara terbatas dengan cara tebang pilih serta; (6) Hutan produksi adalah kawasan hutan yang diperuntukkan sebagai kebutuhan perluasan, pengembangan wilayah misalnya transmigrasi pertanian dan perkebunan, industry dan pemukiman dan lain-lain.
            Di dalam hutan-hutan tersebut di atas tidak boleh dilakukan kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi hutan tersebut. Hutan mempunyai fungsi pelindung terhadap tanah dari tetesan hujan yang jatuh dari awan yang mempunyai energi tertentu, karena gerak jatuhnya itu dengan energi tertentu tetesan hujan akan memukul permukaan tanah dan melepaskan butiran tanah sehingga akan terjadi erosi percikan.
            Air hujan yang tidak meresap ke dalam tanah akan mengalir di atas permukaan tanah, aliran air ini mempunyai energi tertentu juga, makin curam dan panjangnya lereng tempat air mengalir makin besar energinya, energi yang ada pada aliran permukaan ini akan mengelupaskan permukaan tanah sehingga terjadi erosi permukaan. Aliran permukaan dapat juga menyebabkan terbentuknya alur permukaan tanah yang disebut dengan erosi alur.
            Jika ada hutan maka tetesan air hujan akan jatuh pada tajuk-tajuk tanaman yang ada di hutan tersebut, terlebih lagi bila tajuk tersebut berlapis-lapis sebagian air hujan tersebut, akan menguap kembali ke udara dan sebagian lagi akan jatuh ke tanah melalui tajuk- tajuk tanaman dari yang teratas sampai ke tajuk tanaman yang terendah, akibatnya energi kinetic air hujan tersebut di patahkan atau diturunkan kekuatannya oleh tajuk- tajuk tanaman yang berlapis tadi, hingga akhirnya air hujan yang jatuh pada tanah dari tajuk yang terndah energinya hanya yang kecil saja sehingga kekuatan pukulan air hujan pada permukaan tanah tidak besar, dengan demikian erosi percikan hanya kecil.
            Sebagian air yang jatuh di tajuk akan mengalir melalui dahan ke batang pokok dan selanjutnya mengalir ke bawah melalui batang pokok sampai ke tanah. Di dalam hutan di atas permukaan tanah terdapat seresah yaitu, daun, dahan dan kayu  yang membusuk. Seresah- seresah tersebut dapat menyerap air dan dapat membuat tanah mejadi gembur dan membuat air mudah meresap ke dalam tanah. Karena penyerapan air oleh seresah dan air meresap ke dalam tanah aliran air permukaan menjadi kecil dengan demikian erosi lapisan dan erosi alur jadi kecil.
            Apabila hutan tidak dipertahankan atau dilestarikan fungsi perlindungan hutan terhadap tanah akan hilang sehingga akan terjadi erosi bahkan longsor seperti yang banyak terjadi sekarang ini bila musim hujan datang. Erosi akan semakin besar dengan besarnya intensitas hujan serta makin curam dan panjangnya lereng. Akibat adanya erosi kesuburan tanah akan berkurang karena lapisan atas sudah terkikis dan terbawa oleh air sehingga akan menurunkan produksi tanaman dan pendapatan petani (Sinukaban, N. 1994).
 USAHA, CARA DAN METODE PELESTARIAN HUTAN
            Sumber masalah kerusakan lingkungan terjadi sebagai akibat dilampauinya  daya dukung lingkungan, yaitu  tekanan penduduk terhadap lahan yang berlebihan. Kerusakan klingkungan hanyalah akibat atau gejala saja , karena itu penanggulangan kerusakan lingkungan itu sendiri hanyalah merupakan penanggulangan yang sistematis, yaitu penanggulangannya harus dilakukan lebih mendasar yang berarti menanggulangi penyebab dari kerusakan lingkungan. Karena itu sebab keruskan lingkungan yang berupa tekanan penduduk terhadap sumber daya alam yang berlebih harus ditangani.
            Usaha, cara, dan metode pelestarian hutan dapat dilakukan dengan mencegah perladangan berpindah yang tidak menggunakan kaidah pelestarian hutan , waspada dan hati- hati terhadap api dan reboisasi lahan gundul serta tebang pilih tanam kembali (Organisasi Komunitas dan Perpustakaan Online Indonesia, 2006).
            Perladangan berpindah sering dilakukan oleh masyarakat yang bermukim di pedesaan. Pengaruhnya terhadap pelestarian hutan tidak akan besar karena mereka dalam melakukan kegiatan pada lahan yang tidak terlalu luas. Cara yang mereka gunakan biasanya masih tradisional dan usaha taninya bersifat subsisten dan mereka tidak menetap . Namun untuk perladangan yang luas perlu dilakukan usaha tani yang memenuhi kaidah-kaidah pelestarian hutan dan harus ada pencagahan perladangan berpindah.
Seringnya terjadi pembakaran hutan pada lahan-lahan perkebunan yang besar memberikan dampak yang buruk pada hutan disekitarnya. Oleh sebab itu perlu dihindari pembukaan lahan baru dengan cara pembakaran hutan. Kebakaran hutan juga dapat terjadi bila tidak hati-hati terhadap api, membuang sisa rokok yang tidak pada tempatnya akan dapat menjadi sumber api, embakar sampah atau sisa tanaman yang ada di ladang tanpa pengawasan dan penjagaan juga dapat menjadi sumber kebakaran.
Biaya yang dikeluarkan untuk reboisasi  dan penghijauan sudah sangat besar namun hasilnya tidak menggembirakan , banyak pohon yang ditanam untuk penghijauan dan reboisasi dimatikan lagi oleh penduduk karena perpindahan ladang dan pembukaan lahan baru, untuk itu salah satu cara yang dapat dilakukan untuk reboisasi adalah dengan sistem tumpang sari, dalam sistem ini peladang diperbolehkan menanam tanaman pangan diantara larikan pohon dengan perjanjian petani memelihara pohon hutan yang ditanam dan setelah kira-kira lima tahun waktu pohon sudah besar petani harus pindah, namun dalam kenyataan petani banyak tidak memelihara pohon atau bahkan mematikan pohon tersebut karena dianggap mengganggu tanaman usaha taninya sehingga tidak jarang mereka menetap di tempat tersebut.
            Kegagalan penghijauan dan reboisasi dapat dimengerti, karena penghijauan dan reboisasi itu pada hakikatnya menurunkan daya dukung lingkungan. Dalam hal penghijauan, pohon ditanam dalam lahan petani yang digarap, pohon itu mengambil ruas tertentu sehingga jumlah luas lahan yang tersedia untuk tanaman petani berkurang. Lagipula pohon itu akan menaungi tanaman pertanian dan akan mengurangi hasil. Oleh sebab itu, petani akan mematikan pohon atau memangkas pohon tersebut untuk mengurangi naungan dan mendapatkan kayu bakar.
            Reboisasi mempunyai efek yang serupa seperti penghijauan yaitu, mengurangi luas lahan yang dapat ditanami oleh petani dan pengurangan produksi oleh naungan pohon. Jadi jelas dari segi ekologi manusia penghijauan dan reboisasi sukar untuk berhasil selama usaha itu mempunyai efek menurunkan daya dukung lingkungan dan menghilangkan atau mengurangi sumber pencaharian penduduk.
 FUNGSI DAN MANFAAT HUTAN
Menurut Wikipedia Ensiklopedia Bebas, 2009 ;Hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan lebat oleh pepohonan dan tumbuhan lainnya. Kawasan-kawasan semacam ini terdapat di wilayah-wilayah yang luas di dunia dan berfungsi sebagai penampung karbon dioksida (carbon dioxide sink), habitat hewan, modulator arus hidrologika, serta pelestari tanah, dan merupakan salah satu aspek biosfer Bumi yang paling penting.
Hutan adalah bentuk kehidupan yang tersebar di seluruh dunia. Kita dapat menemukan hutan baik di daerah tropis maupun daerah beriklim dingin, di dataran rendah maupun di pegunungan, di pulau kecil maupun di benua besar.
Hutan merupakan suatu kumpulan tetumbuhan, terutama pepohonan atau tumbuhan berkayu lain, yang menempati daerah yang cukup luas. Keunggulan yang lebih penting  bagi hutan dari sumberdaya alam lain adalah  merupakan sumber daya alam yang dapat diperbaharui. Sumber-sumber hutan tidak akan kunjung habis dan kering , ia akan selalu ada asalkan diurus dan dijaga sebaik-baiknya.  Pengelolaan sumber kehutanan modern berdasarkan sifat renewable dan potensi serba guna bagi kesejahteraan rakyat sepanjang masa . (Mubyarto, 1985)
Tekanan penduduk  dan ekonomi yang semakin besar mengakibatkan pengambilan hasil hutan semakin intensif, gangguan terhadap hutan semakin besar  sehingga fungsi hutan juga berubah, beberapa fungsi hutan dan manfaatnya bagi manusia dan kehidupan lainnya adalah :
  1. 1.      Penghasil Kayu Bangunan
Di hutan tumbuh beraneka spesies pohon yang menghasilkan kayu dengan berbagai ukuran dan kualitas yang dapat digunakan untuk bahan bangunan dan mempunyai nilai ekonomi yang tinggi.
  1. 2.      Sumber Hasil Hutan Non-Kayu
Tingkat biodiversitas hutan alami sangat tinggi dan memberikan banyak manfaat bagi manusia yang tinggal di sekeliling hutan. Selain kayu bangunan, hutan juga menghasilkan beraneka hasil yang dapat dimanfaatkan sebagai obat-obatan, sayuran dan keperluan rumah tangga lainnya.
  1. 3.      Cadangan Karbon
Salah satu fungsi hutan yang penting adalah sebagai cadangan karbon di alam karena karbon disimpan dalam bentuk biomassa vegetasinya. Alih fungsi/guna lahan hutan mengakibatkan peningkatan emisi kabon dioksida di atmosfer yang berasal dari pembakaran dan peningkatan mineralisasi bahan organik tanah selama pembukaan lahan serta berkurangnya vegetasi sebagai sumber karbon.
  1. 4.      Habitat Bagi Fauna
Hutan merupakan habitat penting bagi aneka flora dan fauna. Konversi hutan menjadi bentuk penggunaan lahan lainnya akan menurunkan populasi flora dan fauna yang sensitif sehingga tingkat keanekaragaman hayati berkurang.
  1. 5.      Sumber Tambang dan Mineral Berharga Lainnya
Di bawah hutan sering terdapat barang mineral berharga yang merupakan bahan tambang yang bermanfaat bagi kebutuhan hidup.
  1. 6.      Lahan
Hutan menempati ruang dalam bumi yang terdiri dari komponen tanah, hidrologi, udara atau atmosfer, iklim yang dinamakan lahan. Lahan sangat bermanfaat untuk kepentingan manusia dan bernilai ekonomi tinggi.
  1. 7.      Hiburan
Hutan digunakan sebagai tempat perburuan dan tempat wisata yang merupakan sumber pendapatan daerah.
 PELESTARIAN HUTAN DAN POTENSI EKONOMI
Nilai ekonomi yang dihasilkan dari masing-masing tipe pemanfaatan sumber daya alam (hasil hutan kayu, non kayu, tambang, perikanan, pertanian, pariwisata, dll) serta nilai ekonomi dari jasa lingkungan yang disediakan oleh kawasan hutan , hendaknya tidak dilihat sebagai nilai-nilai yang terpisah satu sama lain, karena setiap kegiatan pemanfaatan sumber daya alam (kegiatan ekonomi lain) tidak berdiri sendiri, melainkan saling berinteraksi dan saling memberikan dampak satu sama lain. (TFGD (Technical Focus Group Discussion), 2006).
Prinsip-prinsip yang menyangkut faktor pembatas  dan produktivitas  di masa lalu telah menetapkan pokok penerapan ekologi untuk pertanian dan kehutanan, tetapi untuk alasan-alasan yang telah dikemukakan , para ahli pertanian dan kehutanan sekarang harus berfikir  bahwa tanaman dan hutannya mempunyai hasil lain selain dari makanan dan serat, dalam pengertian ekosistem manusia secara keseluruhan.
Komponen-komponen sistem pertanian berinteraksi secara sinergis ketika komponen-komponen itu terlepas dari fungsi utamanya, meningkatkan kondisi-kondisi bagi komponen lain yang berguna di dalam sistem pertanian, misalnya; menciptakan iklim mikro yang cocok bagi komponen lain, menghasilkan senyawa kimia untuk mendorong komponen yang diinginkan atau menekan komponen yang berbahaya (pengaruh alelopatis dari pengeluaran akar atau mulsa)., memproduksi pelapis tanah atau struktur akar untuk meningkatkan konservasi air dan tanah,mengusahakan sistem akar yang dalam untuk meningkatkan daur ulang air dan unsur hara.
Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang keterkaitan setiap komponen pertanian maupun komponen kehidupan membuat mereka lupa bahkan tidak mengetahui sama sekali bahwa hutan sangan mempengaruhi kehidupan disekitarnya.
Manfaat atau fungsi hutan bagi kehidupan manusia secara langsung maupun tidak langsung sangat banyak dan beragam. Hutan tidak saja sebagai sumber kayu dan hasil hutan lainnya yang memberikan manfaat ekonomi. Secara tidak langsung hutan akan memberikan pengaruh pada kehidupan di hilirnya.
Hutan juga mempunyai fungsi perlindungan terhadap tata air. Dengan adanya seresah di lantai hutan dan struktur tanah gembur, air hujan terserap seresah dan masuk ke dalam tanah. Karena itu dalam musim hujan debit maksimum air dapat dikurangi, dengan demikian bahaya banjir berkurang.
Hujan yang jatuh ke bumi baik langsung menjadi aliran maupun tidak langsung melalui vegetasi atau media lainnya akan membentuk siklus aliran air  mulai dari tempat yang tinggi (gunung, pegunungan ) menuju ke tempat yang rendah  baik di permukaan tanah maupun  di dalam tanah yang berakhir di laut.
Sebagian air hujan yang jatuh di permukaan tanah meresap ke dalam tanah dalam bentuk infiltrasi, perkolasi, kapiler.  Aliran air tanah dapat dibedakan menjadi aliran tanah dangkal, aliran tanah dalam, aliran tanah antara dan aliran tanah dasar.  Disebut aliran tanah dasar karena aliran ini merupakan aliran yang mengisi sisten jaringan sungai.  Hal ini dapat di lihat pada musim kemarau aliran ini akan tetap  secara kontinyu apabila kondisi hutan baik (Kodoatie, R.2005). Oleh sebab itu kilta perlu melestarikan hutan.
Banyaknya air hujan yang meresap ke dalam tanah, persediaan air tanah akan bertambah. Sebagian air tanah akan keluar lagi di daerah yang lebih rendah sebagai mata air, dengan bertambahnya cadangan air tanah, mata air serta sumur yang hidup di musim kemarau juga lebih banyak daripada tanpa adanya hutan. Jadi, efek hutan adalah mengurangi resiko kekurangan air dalam musim kemarau.
Air sebagai sumber kehidupan  mempunyai berbagai macam  fungsi . Di sisi lain air juga merupakan bagian dari sumber daya alam . Fungsi air sebagai sumber kehidupan adalah  memenuhi kebutuhan air baku untuk rumah tangga, pertanian, industry , pariwisata, pertahanan, pertambangan, ketenagaan dan perhubungan. Sebagai sumber daya alam air juga harus dilestarikan agar ketersediaan air dipermukaan bumi ini bisa berkesinambungan. Dengan melestarikan hutan berarti kita juga melestarikan ketersediaan air sebagai sumber daya alam.
Banyaknya air yang tersedia di permukaan bumi ini akan sangat membantu kehidupan manusia karena air diantaranya akan banyak memberikan manfaat ekonomi. Di daerah daerah yang pengairannya baik  pertanian tidak lagi bergantung pada hujan , petani dapat merencanakan pola pergiliran tanaman dengan lebih baik.
Daerah-daerah hilir hutan pegunungan masyarakatnya akan merasakan manfaat yang sangat menguntungkan bila pelestarian hutan terjaga, keseimbangan ekosistem dalam hutan akan memelihara tata air di sekitarnya , masyarakat yang ada di dataran rendah bisa memanfaatkan sumberdaya air yang tersedia untuk keperluan hidupnya maupun untuk aktivitas perekonomian.
Secara tidak langsung sumber daya air akan memberikan manfaat ekonomi  pada rumah tangga dan pertanian .  Rumah tangga yang mempunyai industri akan membutuhkan air untuk usahanya, petani dalam berusaha tani juga sangat membutuhkan air, baik untuk penyemprotan maupun untuk kebutuhan tanaman itu sendiri. Tanaman yang kekurangan air pertumbuhannya akan terganggu, pduktivitas akan berkurang bahkan akan terancam mati. Sebaliknya bila sumber air tersedia tanaman akan tumbuh dengan baik dan produksinya akan tinggi.
Selain dari manfaat yang tidak langsung , masyarakat disekitar kawasan hutan juga bisa memanfaatkan hasil hutan langsung dengan tidak secara berlebihan dan tetap berusaha adanya pembaharuan untuk menjaga kelestariannya.  Hasil hutan yang didapatkan bisa untuk konsumsi sendiri atau untuk di jual sehingga dapat menjadi pendapatan tambahan.
Manusia harus ingat bahwa kebutuhan terus meningkat dan berubah dari waktu ke waktu,   untuk dapat mendukung kebutuhan yang meningkat dan berubah itu perlu adanya sumberdaya yang berkesinambungan .  Lingkungan kita merupakan sumberdaya, karena itu harus kita manfaatkan dengan bijaksana agar daya dukung terlanjutkan dapat terpelihara untuk dapat menjamin tingkat hidup yang makin tinggi.
Dari uraian – uraian yang telah disebutkan sebelumnya jelas bahwa banyak manfaat ekonomi yang akan diperoleh bila kita melestarikan hutan.  Selain dari dalam hutan itu sendiri di wilayah sekitar huta dan di daerah hilirnya manfaat ekonomi akan banyak diperoleh.
 PELESTARIAN HUTAN DAN LINGKUNGAN
Ancaman kerusakan hutan dari hari ke hari semakin meningkat, sebagian besar kerusakan hutan adalah karena adanya pembukaan lahan baru yang tidak mengikuti kaidah ekologi atau lingkungan . Banyak sekali hutan dirusak hanya untuk kepentingan tertentu dari individu maupun kelompok atau institusi tanpa ada pertimbangan untuk pelestariannya. Adanya pengembangan wilayah pemukiman, atau daerah pemekaran yang membutuhkan lahan baru untuk pembangunan daerahnya akan mengakibatkan dibukanya hutan. Akibat dari semuanya ini akan  merusak keseimbangan ekosistem lingkungan, hutan yang sudah banyak rusak akan memberi pengaruh buruk pada lingkungan.
Jika hutan kita menjadi gundul atau terbakar, sehingga lingkungan hidup kita rusak, siapa biang keladinya? Penduduk miskin di hutan-hutan dan sekitar hutan menebang hutan negara untuk memperoleh penghasilan untuk makan. Tetapi kayu-kayu yang diperolehnya ditampung calo-calo untuk dijual, dan kemudian dijual lagi untuk ekspor, yang semuanya “demi keuntungan”. Siapa yang paling bersalah dalam proses perusakan lingkungan ini? (Mubyarto, 2004)
 Lingkungan adalah kombinasi antara kondisi fisik yang mencakup keadaan sumber daya alam seperti tanah, air, energi surya, mineral, serta flora dan fauna yang tumbuh di atas tanah maupun di dalam lautan, dengan kelembagaan yang meliputi ciptaan manusia seperti keputusan bagaimana menggunakan lingkungan fisik tersebut. Lingkungan terdiri dari komponen abiotik dan biotik. Komponen abiotik adalah segala yang tidak bernyawa seperti tanah, udara, air, iklim, kelembaban, cahaya, bunyi. Sedangkan komponen biotik adalah segala sesuatu yang bernyawa seperti tumbuhan, hewan, manusia dan mikro-organisme (virus dan bakteri). Lingkungan, di Indonesia sering juga disebut “lingkungan hidup“. Misalnya dalam Undang-Undang no. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, definisi Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia, dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. (Wikipedia Ensiklopidia Bebas Indonesia, 2009)
Dengan pemahaman lingkungan hidup diatas, maka upaya pelestarian lingkungan hidup adalah upaya pelestarian komponen-komponen lingkungan hidup beserta fungsi yang melekat dan interaksi yang terjadi diantara komponen tersebut. Adanya perbedaan fungsi antara komponen dan pemanfaatan dalam pembangunan, maka pelestarian tidak dipahami sebagai pemanfaatan yang dibatasi. Namun pelestarian hendaknya dipahami sebagai pemanfaatan yang memperhatikan fungsi masing-masing komponen dan interaksi antar komponen lingkungan hidup dan pada akhirnya, diharapkan pelestarian lingkungan hidup akan memberikan jaminan eksistensi masing-masing komponen lingkungan hidup.
 Dengan adanya jaminan eksistensi, lingkungan hidup yang lestari dapat diwujudkan. Upaya pelestarian lingkungan hidup yang telah dilakukan oleh banyak pihak selama ini menunjukan banyak keberhasilan dan tidak sedikit yang mengalami hambatan dalam mencapai tujuan yang ingin dicapai dalam masing-masing aspek. Upaya-upaya tersebut lebih terlihat sebagai gerakan yang berdiri sendiri di masing-masing lokasi, kasus dan aspek lingkungan yang dihadapi. Selain itu, upaya pelestarian yang telah dilaksanakan kurang dirasakan manfaat /kegunaan baik secara jangka menengah maupun jangka panjang, hal ini terjadi karena kurangnya kepedulian dan pengetahuan serta informasi yang jelas dan menyeluruh tentang manfaat pelestarian hutan bagi aspek kehidupan yang lainnya dan bagi lingkungan secara luas.
Melestarikan hutan berarti kita melestarikan lingkungan hidup, karena dengan menyelamatkan hutan kita juga menyelamatkan semua komponen kehidupan. Jika kita mengetahui mengenai sesuatu mengenai potensi alam  dan faktor-faktor yang membatasi kita dapat menentukan penggunaan terbaik.  Ekosistem-ekosistem baru yang berkembang yang diciptakan manusia , seperti pertanian padang rumput, gurun pasir yang diairi, penyimpanan-penyimpanan air, pertanian tropika akan bertahan untuk jangka waktu lama hanya jika keseimbangan-keseimbangan material dan energi tercapai antara komponen-komponen biotik dan fisik. Karena itu penting sekali untuk melestarikan hutan.
Melakukan pelestarian hutan sama dengan menyelamatkan ekosistem dari hutan itu sendiri, ekosistem terbentuk oleh komponen hidup dan tak hidup di suatu tempat yang berinteraksi membentuk suatu kesatuan yang teratur.  Keteraturan itu terjadi  oleh adanya arus materi dan energi yang terkendalikan oleh arus informasi antara komponen dalam ekosistem itu. Masing-masing komponen mempunyai fungsi atau relung , selama masing-masing komponen itu melakukan fungsinya dan bekerja sama dengan baik , keteraturan ekosistem itupun terjaga. Keteraturan ekosistem menunjukkan ekosistem tersebut ada dalam suatu keseimbangan tertentu . Keseimbangan itu tidak bersifat statis malainkan dinamis , ia selalu berubah-ubah , kadang-kadang perubahan itu besar dan kadang-kadang kecil. Perubahan itu dapat terjadi secara alamiah maupun sebagai perbuatan manusia. (Soemarwoto, 1983).
Dari uraian – uraian tersebut kita bisa melihat bahwa unsur-unsur yang ada dalam lingkungan hidup tidak secara tersendiri  melainkan secara terintegrasi sebagai komponen yang berkaitan dalam suatu sistem. Wajarlah dengan menyelamatkan hutan kita berarti menyelamatkan lingkungan, hutan yang mempunyai multi fungsi akan menyelamatkan semua komponen kehidupan di bumi ini bila kita melestrikannya. Manfaat pelestarian hutan bagi lingkungan sangat banyak, secara global hutan merupakan paru-paru dunia dan dapat mengurangi pemanasan suhu bumi, mencegah kekeringan saat kemarau dan mencegah banjir dan longsor saat musim hujan.
 KESIMPULAN
  1. Kerusakan hutan terjadi karena aktivitas manusia
  2. Pelestarian hutan bertujuan untuk pengawetan kualitas lingkungan dan menciptakan iklim yang seimbang.
  3. Pelestarian hutan memberikan manfaat ekonomi pada kawasan hutan itu sendiri dan daerah sekitarnya yakni daerah hilir.
  4. Pelestarian hutan  memberikan dampak luas terhadap peningkatan kualitas ekosistem (biotik dan atau fisik) lingkungan di dalam dan luar kawasan hutan.
 UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang sudah memberikan motivasi penulisan ini :
  1. Prof.Ir. Urip Santoso. PhD
  2. Ir. Heru Widiyono, Msi
  3. Deva, Devi, Andin dan Aga
 DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, S. 1980. Pengawetan Tanah dan Air. Departemen Ilmu Tanah. IPB> Bogor.
 Adimihardja, A. 2002. Teknologi Pengelolaan Lahan Kering Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Departemen Pertanian. Bogor.
 Djaenudin. 1994. Kesesuaian Lahan Untuk Tanaman Pertanian dan Tanaman Kehutanan. Laporan Teknis. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor.
 Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. 2003. Pedoman Umum Pelaksanaan Pendayagunaan Sumberdaya Kawasan Transmigrasi. Ditjen Pemberdayaan Sumberdaya Kawasan Transmigrasi. Jakarta.
 Departemen Pertanian. 2006. Peraturan Menteri Pertanian Tentang Pedoman Umum Budidaya Pertanian Pada Lahan Pegunungan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.
 Kodoatie, R.J. 2005. Pengelolaan Sumberdaya Air Terpadu. Andi Offset. Yogyakarta.
 Mubyarto, 1985. Pengantar Ekonomi Pertanian. Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Pengembangan Ekonomi dan Sosial. Jakarta.
 Mubyarto, 2004. Ekonomi Rakyat Dan Reformasi Kebijakan. www.ekonomirakyat.org.
 Morison Guciano, 2009. Ihwal Komitmen Pelestarian Hutan. Harian Kompas.
Odum, E. P.  ? .  Fundamentals Of Ecology. Toppan Company. LTD. Tokyo. Japan.
 Ridker, Ronald. 1982. Sumberdaya Lingkungan dan Pendudk. Pusat Penelitian dan Studi Kependudukan. UGM. Yogyakarta.
 Sandy, 1980. Masalah Tata Guna Lahan, Tata lingkungan di Indonesia. Jurusan Geografi. Univ. Indonesia. Jakarta.
 Soemarwoto, Otto. 1983. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Djambatan. Jakarta.
 Sosrodarsono, S. 1983 . Hidrologi Untuk Pengairan. Pradnya. Paramita. Jakarta.
 Sinukaban , N. 1994 . Membangan Pertanian Menjadi Industri Yang Lestari  Dengan Pertanian Konservasi. IPB . Bogor.
 Sitorus, S. 2004. Evaluasi Sumberdaya Lahan. Tarsito.  Bandung.